Esoknya, Rosy telah duduk di salah satu ruangan meeting yang ada di kantor Haliman. Ia baru mengetahui kalau Damian Bale adalah salah satu karyawan yang bekerja di sana. Ia juga baru sadar, kalau adiknya ternyata telah menerima bantuan beasiswa dari yayasan keluarga pria itu selama ini. Rosy tadinya mengira kalau keduanya tidak berhubungan, dan hanya kebetulan memiliki nama yang sama.
Menutup matanya, Rosy menyadari kalau nasib dia dan adiknya, ternyata melingkar erat dengan keluarga Haliman. Pertama dengan yayasan Haliman, kedua dengan Ariana Haliman dan sekarang bahkan nama Damian Bale pun telah masuk ke dalamnya.
Ia mer*mas kedua tangannya kencang dan matanya berair, saat mengingat kembali adiknya yang masih tergolek lemah di rumah sakit.
Kuatlah, Rose. Kau pasti bisa!
Mendengar pintu ruangan yang terbuka di belakangnya, Rosy menoleh dengan cepat dan menarik nafas tajam saat melihat pria yang sedang berdiri di depannya.
Damian Bale adalah seorang pria yang tinggi. Wajahnya terpahat sempurna, dengan kedua mata tajam yang berwarna biru tua. Hidungnya mancung dan lurus, dihiasi dengan sepasang bibir yang cukup tipis dan tidak pernah terlihat tersenyum. Rambutnya lurus, tebal dan berwarna hitam. Tampak bayang-bayang gelap bakal janggut yang menghiasi dagunya yang tegas, meski pria itu sudah mencukurnya habis.
Setiap kali melihat pria itu di pengadilan, Rosy selalu merasa takut. Tidak pernah sekali pun ia menganggap Damian Bale adalah seorang pria yang tampan. Aura pria itu terlalu menakutkan baginya untuk dapat menganggapnya tampan.
Mereka hanya beberapa kali bersitatap dan tidak pernah saling berbicara. Tapi Rosy dapat merasakan tatapan pria itu yang seolah men*lanjanginya. Damian selalu memandangnya dengan tajam dan juga buas, membuatnya merasa sangat tidak nyaman berada di sekeliling pria itu. Dan sekarang, untuk pertama kalinya wanita itu akan berbicara dengan pria yang penuh dengan aura intimidasi ini.
Tubuh Rosy sedikit gemetar ketika berdiri dan menghadap pria itu.
"Se- Selamat siang Pak Damian. Saya-"
Damian melewatinya dan menyebarkan wangi kayu dari parfum yang digunakannya. Pria itu menarik kursi yang ada di ujung meja. Dengan tidak sopan, dia membanting b*kongnya keras di sana. Dia juga menumpangkan salah satu kakinya asal dan menyenderkan punggungnya dengan santai. Tampangnya benar-benar menyebalkan.
"Kata pengacara Ferry, kau ingin bertemu? Tidak usah basa-basi. Katakan apa maumu?"
Suara pria itu sangat berat dan dalam, membuat getaran di sepanjang tulang punggung Rosy. Dan ternyata, pria itu fasih berbahasa. Hampir tidak ada jejak, kalau dia adalah orang asing.
Rosy menggertakan gigi dan mengepalkan kedua tangannya, mengumpulkan keberaniannya. Wanita itu berusaha mengatur emosinya yang terasa mulai naik ke permukaan. Ia sangat sadar, kalau dia adalah pihak yang lemah di sini. Ia harus sangat berhati-hati.
"Mengenai kasus adik saya. Apakah Anda bisa memberikan sedikit keringanan baginya?"
"Keringanan? Keringanan apa maksudmu?"
"Peristiwa pemukulan adik saya di penjara. Apakah Anda ada kaitannya?"
Tampak pria itu terlihat santai dengan posenya. Ia menggoyang-goyangkan kakinya.
"Menurutmu? Itu adalah penjaraku, bukan?"
Lelaki ini benar-benar menyebalkan, membuat Rosy tidak bisa mengatakan apapun untuk membalas kata-katanya.
Salah satu alis pria itu naik. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyuman licik. Kepalanya mendongak dan menantang wanita di depannya.
"Apa tawaranmu?"
Tawaran?
Rosy mengerjapkan kedua matanya dan menelan ludahnya. Apa yang bisa ia tawarkan pada pria itu agar mau membantu adiknya? Melihat dari jabatan pria di depannya dan juga cerita dari sang dokter kemarin, sepertinya kemungkinan tawaran secara finansial akan diterimanya sebagai sebuah hinaan. Orang ini tidak butuh uang.
Saat wanita itu masih terlihat berfikir, mata biru Damian terlihat bergerak menelusuri tubuh wanita itu dari bawah ke atas. Sejenak, tatapannya berhenti di d*da wanita di depannya dan baru kemudian mengarah ke wajahnya. Kepalanya sedikit meneleng.
Wanita di depannya mengenakan pakaian yang sangat sopan. Rosy memakai kemeja lengan panjang dan juga celana kantor yang cukup panjang. Lekuk tubuhnya tersembunyi di balik pakaian formalnya. Rambut panjangnya ia ikat rapih di balik punggungnya, dan make-up yang dipakainya pun cukup netral untuk suasana kantor. Tidak ada yang berlebih dari dirinya.
Damian perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan pelan ke belakang Rosy. Tinggi pria itu terlihat menjulang di belakang wanita itu, yang tampak masih larut dalam pikirannya. Perempuan itu sama sekali tidak menyadari tatapan lapar dan buas, dari lelaki yang saat ini berdiri di belakangnya. Cuping hidung lelaki itu terlihat mengembang.
Tanpa diduga, tangan kiri Damian dengan keras menampar pipi b*kong Rosy yang padat dan dengan cepat mencengkeramnya. Dan sebelum wanita itu sadar dengan apa yang terjadi, tangan besar pria itu naik mengusap perutnya kasar dan menangkup salah satu d*danya. Lelaki itu mer*masnya dengan kuat.
"Lumayan juga."
Suara berat pria itu menyadarkan Rosy dari kekagetannya dan dengan amarah yang amat sangat, wanita itu berbalik dan melayangkan tangan kanannya ke pipi Damian. Tapi sebelum tangannya dapat menyentuh pipi pria tinggi itu, pergelangannya telah dicekal dengan sangat kuat yang ia yakin akan meninggalkan bekas nantinya.
"Apa yang Anda lakukan!?"
Terlihat senyum sinis di bibir pria itu. Tatapannya terlihat meremehkan.
"Justru apa yang sedang kau lakukan? Saya hanya memeriksa barang yang kau jual. Tapi kalau kau tidak mau menjualnya, maka silahkan keluar dari sini!"
Dengan kasar, Damian menghempaskan tangan Rosy dan membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. Ia hampir saja jatuh, untungnya tangannya masih sempat meraih meja meeting untuk menahan tubuhnya. Menoleh pada lelaki yang masih berdiri itu, kedua mata Rosy menyorot tajam dan penuh kebencian.
"Jual? Saya tidak bermaksud menjual apapun pada Anda!"
Rosy berteriak marah pada pria itu. Mukanya memerah. Wanita itu merasa amat marah dan terhina dengan perlakuan Damian padanya.
Terkekeh, Damian menatap wanita itu dan melipat kedua lengannya di d*danya. Matanya dengan kurang ajar menelusuri tubuhnya dari atas ke bawah.
"Kau benar. Kau memang tidak bisa menjual apapun padaku. Yang bisa kau lakukan adalah menyerahkan apa yang kau punya padaku, kalau kau mau menyelamatkan adikmu."
Kata-kata Damian menyadarkan ada dimana posisi Rosy saat ini, di mata lelaki itu. Hal ini membuatnya terdiam dan tubuhnya bergetar hebat. Gigi-gigi dalam mulutnya bergemeletuk. Kedua matanya kembali memerah dan kali ini, mulai berkaca-kaca.
Apakah ini yang harus dikorbankannya untuk masa depan adiknya?
Melihat wanita di depannya terdiam, tangan kiri Damian dengan lancang kembali mengarah ke d*da perempuan di depannya dan kali ini, terasa tidak ada penolakan dari wanita itu meski tubuhnya bergetar. Pria itu mer*mas asetnya kencang, membuat Rosy mengeluarkan suara rintihan pendek karena kaget dan juga sakit.
Damian sedikit mengendurkan cengkeramannya dan kepalanya menunduk. Mulutnya berada tepat di telinga Rosy dan dia meniupkan nafas yang panas.
"Kembalilah besok kalau kau sudah selesai berfikir. Di jam dan tempat yang sama. Kita akan bertemu saat kau sudah siap untuk bernegosiasi bisnis."
Rosy merasakan kulitnya meremang ketika hidung mancung pria itu terasa menggosok kulit lehernya. Meski tidak menyentuhnya langsung, tapi wanita itu bisa merasakan bulu-bulu halus di wajah Damian mengenai kulitnya.
"Kau tahu harus mengambil keputusan apa."
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, Damian menjauhkan dirinya dan segera keluar dari ruangan meeting. Pria itu meninggalkan Rosy yang masih membeku di tempatnya.
Ditinggalkan sendirian, Rosy mulai merasakan denyutan nyeri di pengelangan tangan dan juga d*danya. Rasa sakit mulai datang di kedua area itu, menandakan akan adanya lebam di sana. Ia juga merasakan kepalanya pening dan nafasnya terasa sesak. Kondisnya ini membuatnya terpaksa duduk kembali di kursinya dan menundukkan kepalanya dalam.
Jika bisa memilih, Rosy memilih untuk pergi jauh dan sama sekali tidak mau terlibat dengan lelaki itu. Tapi ketika mengingat kembali situasi adiknya yang menyedihkan di rumah sakit, ia tidak akan setega itu untuk meninggalkan adiknya begitu saja. Adiknya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa dari dirinya.
Saat ini, Rosy sama sekali tidak tahu harus mengambil keputusan apa dan mengadu kepada siapa. Ia tidak memiliki satu pun orang sebagai tempatnya bersandar saat ada masalah.
Merasa kehadirannya tidak ada gunanya lagi, Rosy pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Cafe-nya. Saat ini, ia membutuhkan waktu untuk memikirkan dengan matang keputusan yang akan diberikannya nanti. Karena apapun keputusannya, hal itu akan berpengaruh secara langsung untuk masa depan adiknya.
Malam itu, Rosy pun akhirnya mengambil keputusan setelah mendapatkan kembali telepon dari rumah sakit. Rein ternyata mengalami pemukulan lagi. Tulang rusuknya patah, dan tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Tapi Rosy tahu engan pasti, siapa dalang di balik peristiwa itu.
Di waktu dan lokasi yang sama seperti sebelumnya, akhirnya dua orang itu kembali bertemu. Pria itu ternyata mengajaknya untuk bertemu di ruangan kantor pribadinya, yang membuat keduanya dapat dengan bebas berbicara dan bernegosiasi.
Jari-jemarinya yang kuat menyodorkan sebuah dokumen yang cukup tebal di atas meja.
"Ini penawaran yang cukup murah hati dari saya. Bacalah lebih dulu."
Menelan ludahnya, Rosy pun akhirnya meraih dokumen itu dan mulai membacanya. Setelah kejadian tadi malam, nyali wanita itu jauh lebih menciut karena telah menyadari sampai sejauh mana pria di depannya akan melakukan hal yang dapat menyakiti adiknya.
Damian tampak menikmati ketika mengamati perubahan raut wajah wanita di depannya, yang tadinya ingin tahu menjadi terkejut, dan akhirnya berubah menjadi pucat. Saat selesai membacanya, tangan wanita itu terlihat gemetar ketika meletakkannya kembali di meja.
Menyembunyikan senyum puas di wajahnya, pria itu menyenderkan tubuhnya di kursinya.
"Jadi, apa jawabanmu?"