Bab 8 - Good memory makes good reaction.

1491 Kata
Setelah berhasil menenangkan hatinya dan membersihkan tubuhnya, Rosy memutuskan untuk memasak sedikit makan malam. Melihat isi kulkas yang seadanya, ia pun menyiapkan makanan sederhana. Duduk di meja makan, wanita itu merasakan keheningan dalam rumah ini. Meski tidak terlalu besar, namun tetap saja ia merasa suasananya sangat sepi. Berbeda jauh kalau ia menginap di Cafe miliknya. Ia masih bisa mendengar hingar-bingar lalu lintas sampai tengah malam. Teringat kembali pada adiknya, membuat Rosy menghela nafas berat. Tidak semangat, wanita itu mengaduk-aduk makanannya. Ia baru saja akan menyuapkan makan malamnya ketika salah satu pintu terbuka, memperlihatkan sosok Damian yang keluar dari sana. Pria itu menatap dirinya sebentar dan pandangannya beralih ke meja makan yang telah tersaji beberapa lauk. Perlahan, pria itu menghampirinya dan duduk di kursi seberangnya. Matanya tampak fokus pada lauk-pauk sederhana yang terpampang di depannya. Melihat suaminya masih terdiam, membuat Rosy gatal untuk bertanya. "Anda mau makan?" Tanpa memandangnya, kepala suaminya mengangguk. Wanita itu akhirnya berdiri dan mengambilkan piring bersih, juga segelas air putih hangat untuk pria itu. Tadinya Rosy berniat meletakkan begitu saja piring makan itu di dekat Damian tapi melihat sosok pria itu yang tampak tertarik dengan makanan di depannya, membuatnya terpanggil untuk dapat melayani suaminya dengan baik. Lagi-lagi, lelaki itu berhasil membangkitkan naluri alaminya sebagai seorang wanita. "Anda mau yang mana?" Kepala Damian mendongak dan sorot matanya terlihat kaget. Pria itu menatap isterinya beberapa saat, dan dengan perlahan mengarahkan tangannya menunjuk makanan yang ingin disantapnya. Rosy merasa pria itu berubah seperti seorang anak kecil saat ini. "Itu. Dan itu." Dengan sabar, Rosy melayani suaminya. Ia teringat ketika merawat adiknya dulu. Selisih umurnya dengan sang adik cukup jauh, membuatnya terbiasa berperan menjadi seorang ibu di usianya yang cukup dini. Kedua orang tua mereka meninggal mendadak karena kecelakaan pesawat saat usia Rosy baru menginjak 20 tahun. Saat itu, ia harus pontang-panting menyelesaikan kuliahnya. Belum lagi pekerjaan part-time yang cukup menguras energinya karena dilakukan di malam hari. Ia juga harus bisa membagi waktu mengurus adiknya yang baru beranjak remaja ketika itu. Sungguh waktu-waktu yang sangat berat bagi Rosy tapi ia puas, ketika adiknya akhirnya berhasil mendapat beasiswa. Kilasan ingatan tentang masa depan adiknya yang suram, membuat wajah wanita itu muram. "Kau tidurlah lebih dulu. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini." Kedua mata Rosy mengerjap, tersadar dari lamunannya. Mendongak, ia melihat Damian telah selesai makan. Piring pria itu bersih dan tampak tatapan pria itu yang sedikit berbeda. Mengangguk, wanita itu bangkit dari duduknya dan akan mengambil piring kotor suaminya. "Kau bereskan saja meja ini. Aku akan mencuci piring." Dia mau cuci piring? Orang ini? Lagi-lagi Damian mengejutkan wanita itu. Semakin Rosy menghabiskan waktu dengan pria di depannya, semakin ia tidak mengenali seorang Damian Bale. Hal yang ditampilkan suaminya, sama sekali berbeda jauh dengan bayangannya. Rosy memandang punggung lebar suaminya yang terlihat tangkas menangani piring-piring kotor. Pria itu sudah jelas sangat terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan siapapun di rumah ini. Kalau begitu, untuk apa dia mencari seorang isteri? Tentu saja untuk memuaskan n*fsu b*jatnya, t*lol! Dan kau bahkan bukan isteri sahnya! Kau hanya menandatangani surat perjanjian dengannya! Kapan pun, di mana pun, dia akan bisa menendangmu seperti anj*ng ke jalanan! Wanita itu memaki dirinya sendiri. Berusaha mengingatkan dirinya mengenai posisinya yang sebenarnya di mata suaminya. Tidak ada gunanya untuk lebih mengenal orang ini. Selesai menyimpan makanan sisa di dalam kulkas, Rosy menoleh pada suaminya. Ia terkejut ketika melihat bahwa pria itu ternyata sedang memandangi dirinya intens. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berdehem kecil. "Kalau begitu, saya duluan ke kamar. Selamat malam." "Apa kau akan memasak tiap malam?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Rosy urung membalikkan badannya. Ia menatap suaminya yang balik menatapnya dengan datar. Wanita itu tidak bisa membaca ekspresinya. "Anda mau saya memasak makan malam tiap hari?" Suaminya mengangguk. "Kau keberatan?" Kembali suaminya menyerahkan keputusan di tangan wanita itu, membuat Rosy bertanya-tanya mengenai intensi suaminya. Ia melihat raut muka pria itu yang terlihat sedikit tegang saat menunggu jawabannya. Memikirkannya sejenak, Rosy tadinya ingin menolak permintaan itu. Tapi setelah dipikir kembali, ia merasa tidak ada salahnya memasak untuk suaminya. Dulu saat masih tinggal di apartemen, Rosy juga memilih untuk memasak makan malamnya sendiri dibanding beli di restoran atau membawa pulang makanan dari Cafe-nya. "Tidak. Saya akan memasak untuk Anda. Tapi mungkin di akhir bulan saya akan pulang sedikit terlambat, jadi saya tidak bisa memasak." "Kenapa?" "Setiap tanggal 24 sampai akhir bulan, Cafe saya akan tutup buku dan mempersiapkan gaji karyawan. Saya masih bisa pulang sebelum jam 19.00, tapi mungkin tidak akan punya waktu untuk memasak sebelum Anda pulang." Suaminya menggangguk mendengar penjelasannya. Tampangnya masih tidak terbaca, tapi cukup terlihat rautnya yang jauh lebih rileks dibandingkan tadi. "Tidak masalah. Sekarang, tidurlah." Malas berbasa-basi, Rosy pun akhirnya balas mengangguk menjawab suaminya. "Baik. Kalau begitu, selamat malam." Sampai di kamarnya, Rosy menyenderkan tubuhnya ke pintu kamar yang tertutup. Ia memikirkan hubungannya dengan suaminya selama dua hari ini. Meski kaku, tapi ia merasakan percakapan antara dia dan Damian cukup normal. Dengan kedua mata yang tertutup, wanita itu berdoa agar ia dapat menjalani kehidupan pernikahan sementara ini dengan lancar dan tanpa hambatan apapun. Tujuannya hanya satu, agar adiknya selamat selama menjalani masa hukumannya. Ia sudah berkonsultasi dengan pengacaranya, dan mereka sedang mengusahakan adanya bukti baru namun memang butuh waktu. Hal ini membuat adiknya terpaksa harus mendekam dulu di penjara. Mereka berdua harus banyak bersabar saat ini. Kembali dari ruang ganti, Rosy mengenakan kaos dan celana tidur yang santai bergambar teddy bear. Ia sama sekali tidak memiliki baju tidur seksi dan juga tidak menyukainya. Ia juga telah melepas bra-nya di kamar ganti tadi. Menyusup ke dalam selimut, wanita itu langsung tidur dengan mudahnya. Pikiran dan fisiknya terasa lelah serta tegang selama dua hari ini, membuatnya membutuhkan waktu istirahat. Suasana yang cukup nyaman saat ini, membuatnya merasa rileks untuk dapat tertidur. Tengah malam, Rosy tiba-tiba terbangun dan melihat suasana kamar yang telah gelap dan remang-remang. Melirik jam tangannya di meja, ternyata jarum sudah berada di angka dua. Merapatkan selimut di tubuhnya, Rosy baru akan mencoba tidur kembali ketika ia merasakan gesekan di kaki dan juga punggungnya. Sedikit menoleh, ia melihat Damian sedang tertidur di belakangnya. Pria itu menempelkan kepalanya di punggungnya, dan salah satu kakinya menimpa kaki Rosy di dalam selimut. Suaminya terlihat dan terasa tidak mengenakan apapun di balik selimutnya, karena Rosy dapat merasakan kulit telanjang pria itu yang menggesek tubuhnya sendiri. Dia tidur tidak pakai baju? Meski sedikit aneh dengan kelakuan suaminya, tapi Rosy akhirnya membalikkan kepalanya membelakangi pria itu. Tubuhnya meremang, merasakan gesekan bulu-bulu halus Damian yang menyentuh kulit telanjangnya. Merasa gatal dengan alunan nafas hangat pria itu di punggungnya, tubuh Rosy beringsut menjauh. Tapi tidak lama, kepala suaminya mendekat lagi dan kembali menempelkannya di punggung isterinya. Dan itu terjadi beberapa kali. Semakin dia menjauh, orang ini malah semakin mendekat dan menempel lebih erat. Menghela nafas, akhirnya wanita itu menyerah dan membiarkan posisi suaminya. Meski tidak dipeluk, namun kehangatan dari tubuh pria di belakangnya lama-lama membuatnya cukup nyaman di balik selimut terutama karena aliran udara dingin dari AC yang cukup kencang. Hal ini membuat kedua mata Rosy semakin berat dan perlahan, ia kembali masuk ke dunia mimpi mengikuti jejak pria di belakangnya. Keesokan harinya, ia terbangun karena rasa basah dan juga geli di area d*danya. Membuka mata, ia melihat suaminya yang tengah menikmati 'sarapan' paginya. Celana tidur Rosy sudah menghilang entah kemana, menyisakan pakaian dalamnya. Baru kali ini, ia melihat tubuh suaminya dengan lebih jelas. Tubuh bagian atas pria itu ternyata terbentuk dengan sangat indah. Otot-ototnya terlihat liat dan d*da pria itu mulus tanpa bulu, kecuali kedua lengannya yang tampak ditumbuhi bulu-bulu halus. Mata Rosy memandang takjub ketika tangan besar suaminya tampak memainkan kedua asetnya yang memang berukuran cukup besar. Jari-jari pria itu yang terlihat kuat dan berurat, sangat berlawanan dengan benda lembut dan kenyal yang sedang disentuhnya. Ketika suaminya sedikit bangkit dari posisinya, selimut pria itu turun dan sekilas Rosy melihat sekelebatan benda berukuran cukup panjang di antara kedua kaki suaminya. Merasa malu, wanita itu mengalihkan pandangannya dan menutup kedua matanya rapat. Pipinya merona. Ya ampun! Pantesan sakit kemarin! Matanya membelalak lebar sebelum akhirnya menutup kembali, saat merasakan senjata suaminya mulai memasuki dirinya dengan perlahan. Kembali merasakan sensasi yang luar biasa ini, kedua tangan Rosy refleks mencengkeram pinggang Damian dan mer*masnya kuat. "Egh..." Pelan-pelan... Pelan-pelan... Pinggul keduanya menempel sempurna, dan tidak lama suaminya pun mulai menggerakkan tubuhnya secara perlahan. Awalnya lambat, tapi lama-lama temponya menjadi semakin cepat. Tidak sabar, pinggul Rosy pun menyambut gerakan suaminya dan keduanya bergerak secara berirama. Masing-masing ingin meraih dan mencapai sesuatu. Jari-jari Rosy naik ke punggung Damian dan sedikit mencakarnya ketika ia akhirnya mendapat pelepasan yang sempurna, diikuti oleh suaminya yang tidak lama langsung menyemburkan benihnya yang hangat ke dalam tubuh isterinya. Tubuh keduanya bergetar hebat. Pasangan itu tampak terengah-engah dan merasa puas dapat merasakan kenikmatan di pagi hari. Keduanya masih saling memeluk erat dan tidak melepaskan. Di dalam pelukan suaminya, Rosy sedikit tersenyum dan menutup matanya. Ia merasa malu. Hmm... Ternyata menyenangkan juga, melakukannya pagi-pagi begini. Ia menyadari, kalau ia ternyata mulai dapat menikmati kehadiran pria itu dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN