Menjalani kehidupan pernikahan hampir dua bulan, Rosy mulai terbiasa dengan rutinitasnya.
Suaminya akan meminta jatahnya di pagi hari, dan mereka akan berangkat ke kantor secara terpisah. Mereka juga akan makan malam bersama dan melakukan obrolan ringan sebelum tidur. Dan hal ini dilakukan hampir setiap harinya, terkecuali hari libur. Baru beberapa waktu ini, Damian mulai mengajaknya untuk menginap ke luar kota.
Kalau dipikir-pikir, kehidupannya cukup normal dan benar-benar tidak seperti bayangannya di awal dulu. Suaminya bahkan tidak pernah memperlakukannya dengan kasar lagi.
Rein pun tampak tidak pernah terlibat masalah selama kembali ke penjara dan Pak Ferry sang pengacara, masih tetap berusaha mengupayakan adanya bukti baru dalam kasus adiknya ini. Menurutnya, ada sesuatu yang aneh namun ia masih belum berani mengungkapkan keraguannya pada Rosy sampai merasa yakin.
Kehidupannya yang cukup lancar beberapa bulan ini, perlahan membuat niatannya untuk bercerai dengan Damian semakin terkikis. Rosy sadar, kalau ia sekarang mulai menginginkan pernikahan yang nyata dengan suaminya.
Menatap kosong laporan keuangan di depannya, wanita itu baru menyadari kalau ia belum membeli gaun yang diminta oleh lelaki itu di awal pernikahan mereka. Ia sama sekali tidak tahu harus membeli pakaian seperti apa, karena belum pernah menghadiri acara-acara khusus atau bergengsi selain undangan pernikahan.
Kata-kata undangan pernikahan, membuat Rosy tersenyum miris. Ia dan Damian hanya menjalani pernikahan di atas sebuah kontrak. Dengan segaris tanda tangan, keduanya telah terikat sebagai suami-isteri yang sah di mata hukum tapi tidak di mata agama.
Mengerjapkan matanya, Rosy mengusap jari manisnya yang kosong. Kepalanya tertunduk, dan menatap tangannya beberapa saat. Ia tidak memiliki impian yang muluk ketika menikah, tapi bukan berarti ia tidak menginginkan pernikahan yang normal dan juga bahagia. Keduanya sama sekali tidak didapatnya dari pernikahannya dengan Damian.
Seandainya saja...
Lamunannya terputus ketika terdengar suara ketukan yang cukup keras dari pintu kantornya.
"Masuk."
Suaranya sedikit serak ketika berbicara. Ia menyadari dirinya sedikit emosional saat ini ketika mengingat nasibnya yang tidak beruntung.
Kepala Mia menongol dari celah pintu. Wajahnya memerah sumringah. Kedua matanya yang bulat tampak bersinar cerah. Sangat jarang melihat ekspresi anak itu yang kelihatan gembira seperti itu, membuat Rosy bertanya-tanya.
"Bu, ada yang mencari. Orangnya ganteng banget."
"Ha? Siapa?"
Tiba-tiba pintu terbuka lebar, menampakkan sosok suaminya yang tinggi besar dan menutupi Mia yang hanya setinggi d*danya.
"Ian?"
Kepala Mia mendongak tinggi dan tampak kekagumannya pada pria dewasa di belakangnya. Ia kembali menoleh pada bosnya. Kedua pipinya terlihat merona bahagia.
"Bapak bule ini yang mencari. Ibu kenal?"
"Bapak bule? Saya bukan bapakmu. Dan dia bukan ibumu, s*tan cilik."
Mendengar kata-kata pria itu, Mia langsung berubah mimik. Kali ini bibirnya cemberut dan kedua matanya yang bulat melotot memandang lelaki di belakangnya.
"Saya kenal, Mia. Kamu boleh kembali ke pekerjaanmu."
"Saya bukan s*tan cilik! Dia ini pacar ibu ya? Menyebalkan sekali!"
"Pacar? Saya bukan pacarnya, saya suam-"
"Mia! Kembali ke posmu, dan tutup pintunya sekarang!"
Bentakan kasar dari Rosy membuat anak malang itu kaget. Dengan sedikit pucat, ia pamit dan segera menutup pintu ruangan bosnya dengan rapat.
Ekspresi Mia membuat Rosy menggigit bibir bawahnya. Ia harus meminta maaf pada anak itu nanti, tadi dia refleks menghentikan suaminya. Entah apa maksud pria itu tadi.
"Menyesal?"
Menatap tajam suaminya, Rosy mendengus.
"Bukan urusan kamu."
Damian terlihat santai memasukkan kedua lengan ke saku celana dan berjalan mendekatinya. Tampak pandangan matanya menyapu ke seluruh ruangan yang tidak terlalu besar. Ia baru pertama kali datang dan memasuki kantor isterinya. Pria itu tampak melihat-lihat berbagai hiasan di dinding yang menampilkan foto dan juga piagam penghargaan.
Sambil melihat-lihat, pria itu berkata enteng pada isterinya.
"Kenapa kamu memotong ucapanku tadi? Aku hanya mau mengklarifikasi, kalau kamu itu isteriku dan bukan pacarku."
"Tidak perlu. Bukannya kamu sendiri yang tidak mau status kita diketahui orang banyak? Untuk apa mengklarifikasinya?"
Kata-kata Rosy, membuat kepala Damian menoleh dan menatapnya.
"Aku pernah bilang bukan, kalau suatu saat aku akan membuka status kita di muka umum. Kalau mau, kamu bisa mengatakan kalau telah menikah sekarang."
Penjelasan suaminya membuat kepala Rosy mendongak. Kedua alisnya terangkat tinggi.
"Kamu mau membukanya sekarang? Kenapa sekarang?"
Mulut pria itu menyeringai. Ia sedikit membungkukkan badannya, mendekati wanita yang masih duduk itu. Kedua lengan jenjangnya menopang tubuhnya di sisi meja.
"Karena, aku ingin membuat seseorang cemburu."
Jawaban yang tidak jelas itu membuat Rosy mengerjapkan matanya. Ia sedikit memundurkan tubuhnya dan mendengus. Ia meletakkan kedua lengannya di atas meja, di samping buku besar yang masih terbuka lebar.
"Omong kosong."
Hatinya kecewa mengetahui, kalau tujuan pria itu mengakuinya hanya karena orang lain. Berusaha menepis rasa sedih di hatinya, Rosy kembali menekuni buku besarnya. Percuma menanggapi orang ini menggunakan hati.
"Sibuk?"
"Tidak juga."
Pria itu menempatkan p*ntatnya pada salah satu sudut meja kerja Rosy dan mengambil buku besar yang tengah dipelajari olehnya. Mata birunya yang tajam terlihat bergerak-gerak cepat ketika membaca deretan angka-angka yang tertera di sana.
"Lumayan juga. Kamu cukup dapat banyak profit di bulan ini."
Dengan santai, suaminya perlahan meletakkan kembali buku itu di hadapan isterinya.
"Mau aku bantu untuk masalah penggajian dan putaran uangnya?"
Menutup buku itu dengan geram, Rosy mendongak dan memandang suaminya yang tampak berekspresi datar dan dingin. Rautnya sedikit angkuh ketika menatap isterinya.
"Mau apa kamu ke sini? Kamu tidak hanya ingin menggangguku saja kan?"
Entah sejak kapan, Rosy mulai berani pada suaminya. Wanita itu menyadari kalau pria itu ternyata tidak sedingin tampangnya. Hal ini membuatnya sedikit demi sedikit menghilangkan ketakutannya ketika berhadapan dengan Damian, meski ia tetap menjaga agar suaminya tidak sampai tersinggung. Bagaimana pun nasib adiknya tetap di tangan pria itu.
Bukannya marah, lelaki itu malah terlihat menikmati pertengkaran kecil ini. Bibir tipisnya perlahan membentuk senyuman yang malas dan menyebalkan.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Damian hampir tidak pernah mengajaknya jalan kemana pun, kecuali saat mereka liburan. Dan itu pun hanya sekedar menginap di sebuah villa dan menghabiskan waktu di sana.
"Kemana?"
"Ke tempat yang biasanya disukai oleh para wanita. Tapi sebelum itu..."
Kata-kata itu membuat Rosy sedikit lengah. Ia tampak masih berfikir ketika dengan kurang ajarnya tangan kiri pria itu yang hangat, terulur dan menyusup ke dalam bajunya.
Meski sedikit kaget, tapi Rosy membiarkan suaminya bertindak sesuka hati. Selain mulai menikmati permainan suaminya, ia juga tidak ingin Damian merasa dirinya sebagai isteri yang tidak tahu diuntung.
"Seksi..."
Lama-lama, Rosy menyukai kata-kata sakti suaminya. Pria itu selalu mengatakan satu kata itu dengan suaranya yang berat tiap kali menyentuh asetnya. Wanita mana pun akan terbujuk rayu dengan suara pria itu yang memang terdengar seksi ketika mengucapkan kata 'seksi'.
Memang s*alan ini orang! Selain ganteng, suaranya juga seksi!
"Hem... Ian..."
Nafas wanita itu mulai terasa cepat. Ia menyukai momen-momen seperti ini, ketika pria itu dengan seenaknya menuntut jatahnya. Di mana pun dan kapan pun. Membalas perlakuan suaminya, tangan Rosy mengarah ke area pribadi Damian dan mengelus-elusnya. Perlahan ia mer*mas-r*mas benda itu lebih kencang.
"Egh... Rose..."
Rosy juga suka suara suaminya yang terdengar lebih berat, saat hasrat pria itu naik. Terlihat pria itu menumpukan tangan kanannya ke atas meja di belakangnya, dan ia menengadahkan kepalanya. Jari-jarinya yang masih berada di dalam baju isterinya terasa mencubit-cubit ujung aset wanita itu dengan lembut.
Pria itu lalu meraih dan menarik kedua lengan atas isterinya agar berdiri di depannya. Masih sambil terduduk di meja, ia membuka kemeja Rosy dan menurunkan bra-nya. Menghirup wangi tubuhnya, suaminya membenamkan wajahnya dalam kelembutan isterinya. Mulutnya aktif di atas dan kedua tangannya bermain-main di area bawah wanita itu.
Tangan Rosy yang masih mengusap senjata suaminya, berhasil membuat benda itu semakin membesar dan mengeras. Ia pun menurunkan reslitingnya dan mengeluarkan benda itu dari sarungnya. Menelan ludahnya, ia mulai mengambil posisi di depan pria itu ketika tiba-tiba kepalanya di tahan oleh Damian.
Sejak kejadian di kamar mandi, Damian sering menghindari isterinya memberikan kepuasan melalui mulutnya. Entah apa yang membuat pria itu berubah, padahal saat itu sangat terlihat kalau suaminya mendapatkan kenikmatan dari cara itu.
Ekspresi lelaki itu penuh h*srat. Mukanya merah dan hidungnya kembang-kempis menahan n*fsunya. Mulutnya setengah terbuka dan mengeluarkan aliran udara panas. Mata birunya terlihat sayu dan berkabut ketika memandang wanita di depannya.
Terpesona, Rosy hanya menurut ketika tubuhnya kembali ditarik berdiri dengan lembut.
"Aku menginginkanmu..."
Suara Damian sangat serak ketika berbicara, menimbulkan g*lenyar di tubuh Rosy.
Aku juga menginginkanmu... S*alan! Aku sudah ketularan!
Pria itu menurunkan celana panjang Rosy dan juga pakaian dalamnya. Ia membalikkan tubuh wanita itu dan dengan perlahan mulai memasuki tubuhnya. Isterinya duduk di pangkuannya dan pria itu memeluk pinggang wanita itu dengan erat. Kepalanya menyender di punggung Rosy ketika ia mulai bergerak dengan konstan di bawahnya.
Pasangan itu terlihat melakukan penyatuan dengan gerakan lambat, dan tampak menikmati prosesnya. Tidak lama, keduanya melenguh puas dan Damian pun menyemburkan benihnya ke dalam tubuh isterinya. Ia masih memeluk erat tubuh Rosy yang berkeringat.
Suaminya yang belum bergerak dan masih memeluk dirinya dengan erat, membuat Rosy menoleh pada pria di belakangnya.
"Ian?"
"Hmm?"
"Ada apa kamu mencariku sampai kesini? Kamu mau mengajakku kemana?"
Pertanyaan isterinya membuat Damian akhirnya melepaskan dirinya. Dengan hati-hati, pria itu mengambil tisu basah dan membersihkan tubuh isterinya dengan lambat, membuat Rosy merona malu ketika berdiri di depan suaminya dengan bagian bawahnya yang polos.
Memastikan pakaian isterinya telah terpasang rapih, Damian baru membersihkan tubuhnya sendiri. Memeriksa tidak ada noda yang tertinggal di meja dan juga baju mereka berdua, pria itu pun membuang sisa tisu ke dalam tong sampah. Setelah itu, barulah ia bangkit berdiri dan menyodorkan tas tangan pada isterinya.
"Kita akan berbelanja."
"Belanja apa?"
Rosy masih terlihat bingung, tapi tetap mengambil tas tangan itu.
"Gaun. Ayo."
Ia akhirnya teringat kalau memang harus membeli gaun untuk menemani suaminya. Melihat uluran tangan Damian, ia pun menyambutnya. Bergandengan tangan, pasangan itu pun akhirnya keluar dari ruangan Rosy yang telah menjadi saksi percintaan mereka siang itu.
Keduanya baru akan menuju pintu keluar ketika Rosy melihat Mia yang tampak bersembunyi di balik pintu dapur. Anak itu terlihat masih takut pada bosnya yang tadi telah memarahinya.
Mer*mas lengan atas suaminya, Rosy menatap pria itu.
"Kamu duluan. Aku mau ketemu anak itu dulu."
"Tapi..."
"Aku cuma akan sebentar. Kamu tunggu saja di mobil, ya."
Meski kelihatan sedikit enggan, tapi Damian akhirnya melepaskan tangan isterinya. Muka pria itu terlihat tidak suka dengan gangguan ini.
"Jangan terlalu lama."
Rosy tersenyum masam melihat ekspresi pria itu. Meninggalkan suaminya, Rosy menghampiri dan langsung menepuk bahu Mia pelan.
"Mia. Maaf tadi membentakmu. Kamu mau memaafkan saya, kan?"
Pernyataan maaf dari Rosy membuat mata bulat Mia membulat, dan sedikit berkaca-kaca.
"Saya kira ibu beneran marah pada saya..."
"Tidak, Mia. Maafkan saya... Nanti akan saya jelaskan ya."
Anak itu tersenyum ragu, dan menganggukkan kepalanya. Keduanya saling berpelukan erat.
"Iya bu."
Ketika melepaskan pelukannya, Rosy mengusap rambut Mia yang bergelombang dan sedikit kecoklatan. Anak ini cantik alami. Mia yang masih berada di depannya, tiba-tiba meneleng ke samping dan tangannya menunjuk pada suatu arah.
"Ibu Rosy. Bukannya itu Pak Handi ya?"
"Hmm?"
Kepala Rosy menoleh dan tampak senyuman muncul di bibirnya. Terlihat ada seorang pria muda yang sedang berbicara dengan suaminya.
"Handi!"
Sapaan itu membuat pria yang bernama Handi tersenyum lebar. Ia langsung menghampiri sosok wanita yang sedang mendekatinya.
"Oci! Akhirnya ketemu lagi."
Keduanya saling berjabat tangan dengan akrab. Sangat terlihat kalau Handi tadinya ingin menc*um pipi Rosy tapi wanita itu sedikit mundur, membuat pria muda itu terkekeh.
Dasar tukang cari kesempatan! Sekali buaya darat, akan tetap jadi buaya!
"Kita sudah lama tidak bertemu. Harusnya kamu membiarkan aku menc*um pipimu."
"Maumu. Kapan kamu datang?"
"Tadi malam. Aku langsung ke sini begitu tahu Cafe-mu masih buka."
"Masih buka dong. Memang kamu berharap Cafe-ku sudah bangkrut?"
Handi tertawa mendengar perkataan wanita di depannya, dan Rosy baru tersadar kalau ia sudah tidak mengacuhkan suaminya. Ia melihat Damian melangkahkan kaki keluar dari Cafe, meninggalkan dirinya dengan Handi. Rosy sedikit panik. Ia takut kalau suaminya marah, meski lelaki itu tidak pernah mengatakannya.
Hidup dengannya selama beberapa bulan ini, membuat Rosy sedikit demi sedikit mulai paham dengan sifat suaminya yang memang cenderung kurang mampu mengungkapkan diri. Ia yang harus lebih peka mengenai keadaan suaminya. Damian bisa dikatakan jarang mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Melihat sosok pria itu yang hanya berdiri di luar Cafe membuat hati Rosy mencelos. Entah apa yang akan dilakukan suaminya nanti. Ia sama sekali tidak bisa memprediksinya.
"Eh, Han. Aku pergi dulu ya. Kapan-kapan, kita ngobrol lagi."
Mencekal pergelangan tangan wanita itu, Handi bukannya membiarkan Rosy pergi. Ia masih rindu pada wanita itu. Selain itu, ia juga ingin mempertahankan harga dirinya sebagai pria yang tidak pernah ditolak oleh wanita. Penolakan perempuan ini beberapa tahun lalu cukup membekas di hatinya, dan membuatnya lebih penasaran lagi.
"Kamu mau kemana, Ci? Kita sudah dua tahun tidak bertemu. Aku masih rindu kamu."
Rosy menggigit bibirnya. Sifat Handi yang keras kepala ini membuatnya tidak begitu menyukai pria itu. Ia sudah menekankan kalau hubungan mereka hanya sebatas teman tapi sepertinya, Handi mengartikan lain. Sepertinya penolakan yang disampaikan secara halus tidak bisa diterima dengan baik oleh pria muda itu.
"Han, lepaskan tanganku. Aku harus pergi sekarang."
Wanita itu mencoba menepiskan lengan Handi yang masih mencekalnya dengan sia-sia.
"Tidak mau! Sudah dua tahun aku menunggu."
Kedua alis Rosy berkerut dalam. Ia mulai meningkatkan kewaspadaannya.
"Apa maksudmu menunggu, Han? Maksud kamu bukan menunggu aku, kan?"
"Katakan. Kamu suka padaku kan, Ci? Kalau tidak, tidak mungkin kamu belum menikah sampai saat ini. Kamu juga menunggu aku pulang, kan?"
Pernyataan Handi membuat alis Rosy terangkat tinggi. Ia mulai merasa emosinya naik, karena Handi mempersepsikan dirinya dengan seenaknya. Untungnya pengunjung Cafe sepi, tapi keributan kecil ini mulai membuat para pegawainya keluar dari ruangan belakang.
"Kamu ini apa-apaan, Han? Jangan seenaknya mengartikan perasaanku padamu. Aku sama sekali tidak menyukaimu sebagai seorang pria. Aku kan sudah pernah bilang, kalau kita ini cuma teman. Tidak lebih. Bagian mana yang kamu masih belum mengerti?"
Sekuat tenaga, Rosy berusaha melepaskan cekalan Handi yang makin lama makin menguat di pergelangannya dan membuat wanita itu mulai meringis.
Kenapa sih, ini orang?
"Han! Lepaskan tanganku!"
"Coba saja kalau bisa."
"Han! Lepaskan kataku!?"
Nada Rosy naik satu oktaf. Wanita itu mulai berniat untuk menendang bagian s*langkangan Handi agar melepaskan pegangannya. Orang ini ternyata adalah pria br*ngsek! Ia baru saja akan mengayunkan kakinya ketika terdengar suara berat suaminya.
"Let her go, you bloody b*stard!"
Rontaan Rosy terhenti ketika ada sesosok tangan besar yang mencengkeram tangan Handi, membuat pria itu terpaksa melepaskan cekalannya dari tangan wanita itu.
"Back off, Rose."
Mendongak, Damian ternyata sudah berada di depannya. Sosoknya yang tinggi menutupi pandangannya dari pria muda yang masih emosi itu. Muka Handi memerah, antara marah dan juga malu karena ditolak terang-terangan untuk kedua kalinya. Apalagi di depan pria lain.
"Siapa kau!? Siapa dia, Ci? Siapa dia yang berani ikut campur!?"
Handi terlihat mulai emosional, dan menunjuk muka Damian dengan jari telunjuknya.
Suaminya tampak terdiam dan tidak menjawab apapun. Ia hanya berdiri kaku dan berada di depan isterinya, tampak melindunginya dari pria yang sedang emosi itu.
Entah apa yang dipikirkannya, Rosy melingkarkan tangannya di lengan besar suaminya dan tangan lainnya menggenggam jari-jemari Damian erat. Sorot matanya tajam menantang Handi yang sedang berdiri dengan mata melotot melihat adegan itu.
"Dia suamiku. Dan kami saling mencintai."
"Oci? Tidak... Kau bohong, kan?"
"Aku bilang, dia suamiku. Apalagi yang mau kau tahu?"
Rosy mengedarkan pandangan ke sekeliling Cafe dan menyadari, kalau semua karyawannya mendengar pengakuannya. Tampak pandangan mereka terlihat sangat kaget. Dalam hatinya, ia berniat untuk mem-brief para pegawainya agar informasi ini tidak sampai keluar dari Cafe.
Melirik cemas pada suaminya, ekspresi pria itu ternyata tidak seperti yang diduganya. Mata Rosy mengerjap cepat karena takut salah lihat. Ia merasa melihat pandangan Damian yang melembut dan ada sedikit senyuman di bibirnya yang tipis.
Damian tersenyum?
Dan kata-kata selanjutnya dari pria itu, membuat jantung Rosy semakin berdetak kencang.
"Yes. She is my beloved wife. What else do you want to know, mate?"