Luke yang tengah menyetir mobil Joyce pun meliriknya di spion karena mendengar suara wanita itu yang nampak terkejut.
“No, Joyce! I’m serious! Dan yang lebih gilanya lagi, mereka berdua telah memfitnahku mencuri jam tangan Aaron, dan melaporkannya pada Tuan Victor. Jadi, Tuan Victor memecat ku secara sepihak tanpa mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu.”
"b***h!” umpat Joyce, lalu mendengus kesal. Ia tiba-tiba terpikir mobil yang tadi ia duga mobil Aaron. “Baiklah, Richard. Aku rasa sebentar lagi aku akan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri kelakuan menjijikan mereka berdua,” lanjut Joyce kemudian mengakhiri panggilannya.
“Bryan, siapa yang merekrut mu? Allen or Aaron?” lanjutnya bertanya.
“Hum? A-aku ...."
Suara Luke tercekat di tenggorokan, bingung harus menjawab apa.
"Apa tuan Victor yang merekrutmu?" tanya Joyce memastikan.
"I-iya, Nona!" jawab Luke asal.
“Okay! Good! Putar balik mobilnya, kita kembali ke apartemen sekarang!” titahnya pada sang bodyguard.
Akhirnya Luke bisa menghela napas lega, Joyce tidak akan mencurigai penyamarannya.
Setelah mendengar semua penjelasan Richard, membuat Joyce langsung terpikir pada mobil Aaron yang tadi terparkir di basemen.
Joyce meminta Bryan untuk segera memutar balik mobilnya kembali ke apartemen, karena ingin memastikan apa benar dugaannya bahwa itu salah satu koleksi mobil Aaron.
Pasalnya, Aaron memiliki beberapa mobil sport yang sengaja dikoleksinya, hingga ia pun tak hafal mana saja mobil milik tunangannya itu. Belum lagi, pria itu cepat bosan pada mobil lamanya dan sering mengganti mobilnya dengan keluaran terbaru.
Setelah tiba di basemen, wanita itu menghampiri mobil berwarna biru metalik itu. Dan benar saja, ternyata itu salah satu koleksi mobil Aaron. Ia baru mengingatnya, Aaron pernah menjemputnya ke lokasi shooting menggunakan mobil sport Porche Cayman GT4 tersebut.
Napas Joyce semakin memburu setelah mendapati kebohongan Aaron padanya, padahal pria itu tidak bisa ikut berkunjung ke rumah orang tua Joyce dengan alasan masih shooting.
Akan tetapi, ternyata saat ini Aaron benar-benar tengah membohonginya.
Joyce berlari menuju lift dan kembali naik ke unit apartemennya. Bryan pun berlari mengekorinya.
Ketika membuka pintu, Joyce mendapati sepatu kets putih pria di rak sepatu, yang ia yakini adalah salah satu sepatu milik Aaron.
Dengan air mata yang terus mengalir di wajah cantiknya tanpa permisi, Joyce mengepalkan tangannya kuat-kuat saat tiba-tiba mendengar suara desahan dan lenguhan mereka berdua yang terdengar begitu menyakitkan di telinganya, terlebih di hatinya.
Diusapnya kasar wajahnya dan mulai melangkahkan kakinya menuju sumber suara.
Dibungkamnya mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, agar mereka tak mendengar suara isak tangisnya.
Hati Joyce benar-benar hancur saat melihat pria yang dicintainya itu ternyata sedang bergumul di atas ranjang dengan manajer sekaligus sahabatnya sendiri.
Seluruh darahnya terasa mendidih yang mengakibatkan rasa sakit dari ujung kaki hingga pucuk kepalanya. Dadanya benar-benar terasa seperti terhimpit dan terasa begitu menyesakkan.
"Eungh." Suara lenguhan Allen dan erangan Aaron yang bersahutan terdengar begitu menggema di dalam apartemennya, membuat hati Joyce terasa sakit seperti luka sayat yang disiram alkohol, amat sangat perih dan menyakitkan.
Joyce mencoba mengatur napasnya yang memburu, setelah agak tenang, aktris cantik itu memberanikan diri berdiri di depan pintu sambil bersandar pada rangka pintu kamar Allen.
Aaron terlihat sedang menjelajahi leher jenjang nan putih milik Allen dan menyesapnya, meninggalkan beberapa jejak kepemilikan di sana.
Mendengar suara teriakan di antara desahan dan lenguhan dari gadis yang berada di bawah kungkungannya itu, Aaron pun segera melesakkan pusakanya ke lubang segitiga bermuda milik Allen.
Pria itu terus mempercepat gerakannya dengan sangat brutal, wanita yang berada di bawah kungkungannya itu pun sampai menjerit-jerit dibuatnya, hingga menghantarkan mereka pada puncak kenikmatan dan mencapai klimaks bersama.
Selama permainan gilanya, mereka benar-benar diselimuti kabut ga*rah dan suara desahan dan lenguhan mereka yang saling bersahutan sungguh memenuhi seluruh ruangan apartemen Joyce.
Setelah mereka mencapai klimaksnya, barulah Joyce bertepuk tangan, menerbitkan senyuman sinis di wajah cantiknya, setelah menghapus air matanya.
Prok ... Prok ... Prok ...
Mendengar suara orang bertepuk tangan, mereka berdua pun terbelalak, dan sontak menatap ke arah pintu kamar yang sejak tadi terbuka lebar karena tak ditutup oleh Aaron.
Joyce menyilangkan kedua lengannya di d**a sambil bersandar pada rangka pintu kamar Allen yang terbuka.
Saking bergejolaknya hasrat mereka berdua, mereka sampai tidak menyadari jika Joyce sedang menyaksikan permainan mereka sejak sepuluh menit yang lalu. Setelah Joyce bertepuk tangan, barulah mereka menyadari kehadirannya.
“Joyce!” pekik Aaron dan Allen serempak. Mereka terbelalak menatap Joyce yang sedang menyeringai sambil menghapus air matanya yang mengalir tanpa henti.
Sontak, Aaron pun bangkit dari atas tubuh Allen dan berlari menghampiri Joyce, dia sampai tidak sadar jika tubuhnya masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun.
“Sweetheart, aku bisa menjelaskan semuanya padamu,” ucap Aaron menangkup wajah Joyce, namun dengan cepat Joyce menepis tangannya dengan kasar.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu itu! Cepat kalian tutupi tubuh menjijikan kalian itu, ada yang harus aku bicarakan dengan kalian berdua!” tegas Joyce dan berlalu pergi ke kamarnya terlebih dahulu, lalu mengunci pintunya agar Aaron tak menyusulnya.
Di dalam kamarnya, Joyce duduk di atas lantai yang dingin di tepi ranjang, menangis terisak seraya memeluk dirinya sendiri. Dia benar-benar tak habis pikir pada Aaron dan Allen yang begitu teganya melakukan pengkhianatan ini kepadanya.
Padahal, walau pun ia tak pernah mau menyerahkan tubuhnya pada Aaron, tapi dia begitu tulus mencintai pria itu.
Joyce dan Aaron sudah menjalin hubungan sejak mereka masih belum terkenal seperti sekarang.
Bahkan, ketika karir Aaron tak kunjung naik, Joyce memohon kepada perusahaan yang ingin mengontraknya agar turut mengontrak Aaron untuk menjadi pasangannya pada iklan yang akan dibintanginya. Karena itulah karir Aaron meroket setinggi langit karena chemistry-nya dengan Joyce yang dapat menarik hati para penggemar. Dan berhasil menjadi aktor terpopuler satu tahun belakangan ini.
Joyce menumpahkan semua tangisnya sambil meremas baju di dadanya hingga napasnya tersengal.
Setelah memakai pakaiannya, Aaron terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Joyce yang sengaja dikunci oleh sang empunya kamar.
“Joyce! Tolong buka pintunya, Joyce! Aku bisa menjelaskan semuanya padamu. Please, dengarkan aku!” Aaron terus berusaha membujuk Joyce di depan pintu kamarnya.
Sedangkan Allen, setelah memakai pakaiannya, ia hanya duduk di sofa dengan tubuhnya yang gemetar dan jantung yang bergemuruh seraya menundukkan pandangannya.
Wanita itu kini benar-benar ketakutan karena Joyce sudah mengetahui pengkhianatan yang dilakukannya.
Rasa bersalahnya pada Joyce menyelimuti hatinya. Karena walaupun Joyce sering bersikap ketus padanya, tapi Joyce sangat berjasa dalam hidupnya.
Joyce pernah membiayai rumah sakit ayahnya ketika ayahnya harus di operasi karena mengidap tumor otak. Jika Joyce tidak membiayainya saat itu, mungkin nyawa ayahnya tidak dapat tertolong, dan sekarang pasti ia sudah tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini. Karena yang dimilikinya hanyalah seorang ayah, sedangkan ibunya sudah meninggal sejak dirinya masih taman kanak-kanak.
Setelah menghabiskan waktu selama tiga puluh menit di dalam kamarnya, Joyce akhirnya membuka pintu itu.
Ceklek ...
“Sweetheart, akhirnya kau keluar,” ucap Aaron seraya memeluk erat tubuh Joyce.
Joyce hanya diam tak bergeming sedikit pun, tak membalas pelukan itu ataupun menolaknya. Ia hanya mengepalkan kedua telapak tangan yang menggantung di kedua sisi pahanya dengan kedua matanya yang terpejam.
Gadis itu mencoba merasakan pelukan hangat dari pria yang dicintainya itu, karena bagi Joyce, ini adalah pelukan terakhir dari Aaron untuknya.
Joyce melepaskan tangan Aaron yang melingkari tubuhnya.
“Duduk!” titahnya pada Aaron sambil menunjuk sofa dengan dagunya.
Aaron pun menurut pada Joyce dan duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa yang diduduki Allen.
“Kenapa berjauhan? Tadi saja kalian berpelukan, berciuman, bahkan ...."
Joyce mencibirnya seraya tersenyum smirk, lalu duduk di sofa single. Namun, Aaron menyela perkataannya.
“Sweetheart, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku dan dia ....”
“Stop it!” sela Joyce seraya mengangkat sebelah telapak tangannya, “biarkan aku yang bicara. Kalian hanya perlu mendengarkan dan menjawab pertanyaanku," lanjutnya menatap Aaron dan Allen bergantian.
“Aku minta kalian jawab bersamaan pertanyaanku ini ... sejak kapan kalian bermain di belakangku?” tanya Joyce dengan tegas. Namun, netranya yang mulai mengembun.