Hanya Sebuah Kesalahan

1225 Kata
Aaron terperangah mendapat tamparan dari Joyce sambil memegang sebelah pipinya. "Joyce ... kau ...." "Kenapa? Kau heran aku bisa memukulmu, huh?" Joyce menatapnya dengan tatapan penuh marah dan napasnya yang terdengar memburu. Pasalnya, selama ini Joyce selalu bersikap lembut pada Aaron, bahkan jika sedang kesal padanya, Joyce hanya memilih untuk mendiamkannya, tidak pernah memaki apalagi memukulnya. Sampai akhirnya hatinya kembali luluh karena sikap romantis yang Aaron tunjukkan padanya, selalu berhasil meluluhkan hatinya. "Joyce, aku mohon maafkan aku. Aku sungguh sangat mencintaimu, Joyce. Aku menyesal telah mengkhianati cinta kita. Please, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita," mohon Aaron menatapnya penuh harap. Air mata Joyce mengalir di kedua pipinya tanpa permisi, "Kau pikir bisa semudah itu untuk aku memaafkan mu, Aaron? Setelah aku melihat dengan mataku sendiri apa yang kau lakukan dengan Allen, manajer sekaligus sahabatku sendiri, yang sudah aku anggap seperti adik bagiku. Kau sungguh tak memiliki hati jika memaksaku untuk kembali padamu!" "Tapi, Joyce. Cintaku padamu itu nyata, maka dari itu aku tak melakukannya padamu karena kau hanya ingin melakukannya di malam pertama pernikahan kita nanti. Aku selalu menghargai keinginanmu. Karena itulah aku melampiaskannya pada Allen. Aku tidak pernah sedikit pun mencintainya, Joyce," balas Aaron. Joyce tersenyum getir dengan air mata yang tak hentinya mengalir, "Menghargai kau bilang? Jika kau menghargai aku, kau tidak akan mengkhianati hubungan kita, Aaron. Kau tidak akan menghancurkan perasaanku seperti ini. Sakit, Aaron ... hatiku sangat sakit menerima semua kenyataan ini!" "Ya, aku tahu! Aku sangat tahu aku salah, Joyce. Tapi, tolong pertimbangkan hubungan kita selama ini. Kedua keluarga kita sudah saling mengenal dan menjalin hubungan dengan baik selama ini. Tolong jangan buat mereka kecewa dengan keputusanmu yang egois seperti ini!" "Apa?" Napas Joyce terdengar semakin memburu, "Kau bilang aku egois, huh?" "Ya! Kau hanya mementingkan perasaanmu sendiri, Joyce. Bersikaplah realistis. Kau hanya perlu menganggap semua yang kau lihat kemarin tidak pernah terjadi," tutur Aaron dengan entengnya, hingga membuat emosi Joyce semakin bergejolak. Joyce mencoba mengatur napasnya perlahan sambil memegangi dadanya yang semakin terasa sesak. "Sekarang juga kau pergi dari hadapanku, Aaron!" titahnya sambil memejamkan matanya dan menunjuk pintu ruangan itu. "Tidak, Joyce. Aku ...." "Pergi!" jerit Joyce dengan wajahnya yang sudah bersimbah air mata, hingga suaranya yang nyaring menggema di ruangan itu. Untung saja ruangannya kedap suara. Namun, bagi Luke yang tengah berdiri di depan pintu itu, terdengar samar jeritan Joyce yang membuatnya langsung bergegas membuka pintunya dan berdiri di hadapan Joyce, mencoba melindunginya dari Aaron. "Cepat keluarkan dia dari sini, Bryan!" titahnya pada sang bodyguard dengan posisi memunggungi kedua pria itu. Luke langsung menarik kasar tubuh Aaron. Namun, langsung ditepis kasar oleh Aaron hingga tubuhnya sedikit terhuyung. "Joyce, aku belum selesai bicara," katanya sambil meraih pergelangan tangan Joyce. "Jangan sentuh aku!" teriaknya lagi seraya menghempaskan kasar tangannya. "Mulai sekarang, kita hanya akan berakting sebagai kekasih di depan umum karena kita masih terikat kontrak dengan beberapa perusahaan. Setelah kontrak-kontrak itu selesai, aku tidak akan pernah menerima pekerjaan yang melibatkanmu lagi!" tegasnya. "Tidak, Joyce! Kita ...." "Bryan, tutup pintunya!" titah Joyce pada sang bodyguard. Luke pun menurut dan menutup pintunya, lalu berdiri di sisi Joyce. Takut jika pria itu menyakitinya. Joyce menatap sambil mengulas senyum sinisnya pada Aaron, lalu menarik kerah baju Luke dan menyambar bibirnya dengan kasar di hadapan pria yang telah mengkhianatinya itu. Dengan penuh amarah, Aaron mendorong kasar tubuh Luke hingga punggung pria itu terbentur dinding. "Apa-apaan kau, Joyce! Bisa-bisanya kau mencium seorang bodyguard! Di mana akal sehatmu, huh?" hardiknya pada Joyce dengan tatapan penuh amarah, membuat Joyce tersenyum miring sambil mendekati Luke, dan mengalungkan lengannya pada leher sang bodyguard. "Kau saja bisa melakukan lebih dari ini bersama manajerku! Kenapa aku tidak bisa, huh?" balasnya, lalu kembali menyambar bibir tipis Luke. Sengaja membuat pria itu merasakan bagaimana sakitnya melihat orang yang dicintainya bermesraan dengan orang lain. "Kau benar-benar sudah gila, Joyce," gerutu Aaron. Kesal melihat tingkah Joyce, Aaron pergi meninggalkan ruangan itu sambil membanting pintunya dengan keras, hingga membuat beberapa staf dan kru yang melewati lorong ruangan make up itu menatapnya heran. "Damn! Kenapa ciuman ini membuatku candu?" batin Joyce yang mulai menikmati balasan ciuman dari Luke. Menyadari Aaron telah pergi, Joyce tersadar, dan segera melepaskan bibirnya yang saling bertaut. "Sorry!" ucapnya pada Luke sambil menyeka bibirnya dari pertukaran saliva mereka. "Kau bisa keluar sekarang," titahnya sambil memunggungi pria itu, wajahnya memerah karena jantungnya yang mendadak terasa berdebar saat berciuman tadi. "Aku rasa ada sesuatu yang perlu kita bahas," jawab Luke yang membuat jantungnya semakin bergemuruh. Ia tahu pasti pria yang ia yakini bernama Bryan itu pasti ingin membahas tentang kejadian tadi malam. "Aku tidak memiliki banyak waktu. Aku harus mengganti kostumku sekarang, karena satu jam lagi ada shooting iklan," sahut Joyce mengalihkan topik. Luke hanya tersenyum menatap bayangan Joyce dengan wajahnya yang bersemu merah, yang terpantul pada cermin di hadapan Joyce. Pria itu tahu jika Joyce malu untuk membahasnya. Ia hanya mengangguk dan keluar dari ruangan itu. Joyce mengembuskan napasnya panjang setelah Luke menutup pintunya. "Bagaimana jika dia membahas tentang apa yang terjadi tadi malam? Apa yang harus aku katakan? Aku tidak mungkin terus menghindarinya," gerutunya sambil berpikir keras. "Apa aku pecat saja dia? Tapi, jika aku pecat, bagaimana jika ternyata dia memiliki rekaman tadi malam? Bisa hancur karirku," lanjutnya terus menggerutu. "Lagi pula, hanya dia yang berada di sisiku sekarang. Aku belum sempat mencari orang untuk menggantikan posisi Allen." Wanita itu terus saja berbicara sendiri sambil menggigiti ujung-ujung kukunya dan mondar-mandir di dalam ruangan itu. Tok ... Tok ... Tok ... "Joyce, apa kami sudah bisa masuk sekarang?" tanya penata busana dan penata rias yang akan membantunya melepaskan gaun pengantin tanpa lengan berwarna putih yang memiliki ekor sepanjang tiga meter itu. "Ya! Masuk!" sahut Joyce. Kedua wanita itu pun masuk ke dalam ruangan itu dan membantu Joyce untuk melepaskan gaunnya. Vio, seorang asisten penata busana, menghela napas panjangnya. "Sayang sekali jika kau melepaskan gaun ini. Gaun ini semakin indah dan elegan jika terpasang di tubuhmu seperti ini, Joyce," katanya yang membuat Joyce hanya tersenyum tipis. "Bukankah tidak lama lagi kau akan menikah dengan Aaron? Bagaimana jika memakai gaun ini saja?" timpal Ola, salah satu staf yang dari C & A, Co. Joyce menatap bayangan dirinya di cermin, lalu tersenyum getir dengan kedua netranya yang mengembun. Pernikahan yang selama ini sudah sangat ia nantikan, sirna sudah. Jangankan untuk menikah dengan Aaron. Untuk menikah dengan pria lain saja sudah tidak terpikirkan di benaknya. Melihat raut wajah Joyce yang menyendu, kedua wanita itu tak berani lagi berkata apa pun. Hanya fokus melanjutkan pekerjaannya. Usai berganti pakaian, Joyce melanjutkan pekerjaannya di tempat lain. Sepanjang hari, ia terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan pengganti Allen. Karena ia tidak ingin jika tuan Victor yang mencarikan manajer untuknya. Setelah selesai dengan semua pekerjaannya, Joyce meminta bodyguardnya untuk segera kembali ke apartemen. Tiba di apartemen, Joyce langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. Namun, dengan cepat Luke menahannya dengan mencekal pergelangan tangannya. "Tunggu!" ucapnya. Joyce langsung memejamkan matanya tanpa menoleh pada Luke, ia tahu pasti bodyguardnya itu ingin membahas tentang kejadian tadi malam. "Ada apa?" tanyanya dengan nada ketus. "Ada yang harus kita bahas tentang kejadian tadi malam, Joyce," jawab Luke dengan sikapnya yang tegas. "Apa lagi yang harus dibahas? Bukankah sudah jelas yang kita lakukan hanyalah sebuah kesalahan? Kita melakukan itu karena kita sedang mabuk," balas Joyce yang masih enggan menatap Luke. Berpura-pura sibuk menatap layar ponselnya. "Mungkin kau memang sedang mabuk. Tapi, tidak dengan aku!" sahut Luke yang membuat Joyce membelalakkan kedua matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN