Kebersamaan

1760 Kata
"Wah kok keren banget ini nyanyinya. Mama jadi pengen liatin kalian tampil nanti." Mama Owie menghampiri kami ketika sedang latihan hari ini. Kali ini latihan ketiga yang kami lakukan. Aku sudah mengenal tante Rani ketika bertemu pas latihan kedua Selasa kemarin. Tante Rani ternyata cantik banget, orangnya asik dan baik. Tapi aku belum ketemu papanya Owie, katanya sih dokter dan jadwalnya sibuk banget. Namanya dr. Aris Pratomo. Beliau Ahli bedah syaraf dan menjadi direktur di Rumah Sakit milik keluarganya. "Datang aja tante ... kan ngadain acaranya juga di vila tante." "Ah kamu ini ... ntar tante malu-maluin deh tua sendiri disana." Tante Rani menyahut sambil tersenyum geli. " Tante nggak kelihatan tua kok ... cantik dan awet muda. Aku suka lihat tante." ucapku. Aku tidak bermaksud memuji berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. " Bisa ajaa Priska ... tante jadi ge er deh. " Kami tertawa bersama. "Yaudah lanjut ya, tante mau pergi sama eyangnya Owie dulu." ucap tante Rani pamit pergi. "Hati-hati dijalan ma," sahut Owie. Kami pun melanjutkan latihan. Sebenarnya ini sudah cukup latihannya karena begitu cepat kami menyesuaikan satu sama lain. Bukti nya tante Rani mengeluarkan pujiannya tadi. "Nanti kostumnya apa ya Wie?" "Kita samaan warna aja, kamu punya baju warna apa yang bisa dipake manggung? " "Hmm.. apa ya.. mama maksa aku beli baju baru sih ... nggak tau deh nanti warna apa , kamu mau warna apa?" aku balik bertanya. Aku sekarang sudah terbiasa ber 'aku kamu' walau tidak ada Ana. Di sekolah juga sudah begitu. "Terserah kamu aja Pris. Aku ngikutin deh." "Kalo boleh milih aku suka warna Maroon." "Kamu suka banget warna Maroon?" "Eh nggak Wie ... maksudku Maroon itu warnanya nggak mencolok seperti merah tapi tetap bisa menarik perhatian orang gitu, bener nggak sih? " aku minta pendapatnya. "Iya kayak kamu." "Lah ... kenapa kayak aku?" "Nggak kenapa-kenapa. Maroon oke, aku punya kemeja warna mirip ... agak muda sih tapi cocok," ucapnya agak misterius. " Wokkehh deh kalo gitu, kostum beres ... latihan beres ... masih ada sebulan kita lanjut latihan atau nanti aja pas udah dekat acaranya?" "Tetap aja latihan selasa kamis " Jawab Owie. "Meminimalisir kegagalan ya?" "Iya, semoga aja nanti lancar acara kita." "Aamiin," sahutku bersemangat. Lalu kami melanjutkan latihan lagi hingga pukul lima sore di saat hujan mulai turun. "Kamu pulang aku anter aja Pris ... hujannya deres." "Nggak usah Wie, aku naik taksi online aja." "Jangan ... aku anter, tunggu sebentar aku mandi dulu ya, jangan sampe kabur lagi," ucapnya lalu meninggalkanku di ruang tengah rumahnya ini. Lha ... emang siapa yang mau kabur? Waktu dua kali latihan sebelumnya Owie selalu menawarkan mengantarkanku pulang. Yang pertama gagal karena aku menghilang pulang disaat dia terima telepon yang menurutku kelamaan. Yang kedua karena Owie tiba-tiba sakit kepala pas selesai latihan. Baru hari ini aku diantar karena hujan mulai deras dan agak gelap. Owie di sekolah yang selalu hemat bicara, ternyata beda kalo di luar sekolah. Kami bisa ngobrol panjang lebar hingga membicarakan tentang keluarga masing-masing. "Mama kamu pulang jam berapa?" tanya Owie membuka pembicaraan ketika kami baru saja meninggalkan rumahnya dengan Mini Cooper hitamnya. "Normalnya sih habis maghrib mama sampe rumah. Tapi kadang ada tugas keluar atau lembur atau hujan begini biasanya extra macet, bisa-bisa jam delapan sampe rumah," jawabku. "Trus kamu sendirian di rumah?" "Iya." "Emang berani?" tanyanya yang aku lihat disertai senyum tipis mungkin bermaksud menggangguku. "Berani ... tapi nggak keluar kamar sampe mama pulang," jawabku sambil tertawa. "Itu namanya takut dong." "Takut dikiiit, tapi harus berani dong soalnya mau gimana lagi?" "Nanti aku temenin sampe mama kamu pulang." Boleh selamanya aja nggak? Swear aku nggak akan enak buat nolak ...hehe. "Aku nggak apa-apa kok, mama pulang normal sepertinya. Soalnya dari tadi nggak nelpon ngasih tahu bakal pulang telat." Baru aja aku bicara begitu, telpon ku berbunyi dan menampilkan nama mama di layar hapeku. "Ya ma," jawabku ketika panggilan tersambung. "Dimana dek?" "Aku dijalan pulang ma ... ini dianter Owie soalnya hujan." "O gitu ... mama pulang telat ya, ini ada ulang tahun pak Handoyo temen kantor mama, kami diajak makan malam bersama, kamu nggak apa-apa kan? Owienya bisa minta tolong tungguin sampe mama pulang gak atau minta temenin Wendy?" "Emang mama pulang jam berapa?" "Mungkin jam sepuluh " "Wah lama banget." sahutku sambil melihat ke arah Owie dan dia balas menatapku ketika kami berhenti dilampu merah. "Ini habis maghrib baru mau jalan ke restonya dek ... mama nggak enak kalo nggak datang soalnya kan ini atasan mama langsung, harusnya makan-makannya besok jumat, tapi karena ini hujan deras dan macet dimana - mana jadi temen-temen mama usul mau makan-makan hari ini yang dekat kantor aja sambil nunggu macet," jelas mama. "Owh gitu ...nanti aku coba telpon Wendy deh ma." "Oke sayang ... hati-hati di rumah ... maafin mama ya." "Iya nggak apa- apa kok , bye ma. " "Bye sayang." Lalu kami memutuskan sambungan telepon. "Kenapa?" tanya Owie. "Mama pulang agak malam katanya. Aku mau telpon Wendy buat nemenin." "Hujan begini kasihan Wendy ... biar aku aja nemenin kamu," ucap Owie. "Tapi nanti kamu pulang kemaleman Wie." "Emang mama kamu mau pulang jam berapa?" "Mungkin jam sepuluh katanya" "Jam sepuluh nggak akan kemaleman ... nanti aku kabarin mama bilang aku telat pulang." "Hmm gitu ya ... beneran nggak apa-apa?" "Iya beneran." "Eh ... kita cari makan dulu yuk, kan nanti sampai malam," ucap Owie lagi. "Hujan-hujan begini kita bisa mampir dimana biar nggak kehujanan? paling bisanya take away aja." "Ya ke Mal dekat sini aja, kan bisa parkir di basement." "Tapi ganti baju dulu ya, masak aku pake seragam," jawabku. "Kamu bawa baju ganti?" "Bawa, selalu ada baju ganti komplit di tas. Soalnya kan aku hampir nggak pernah langsung pulang dari sekolah karena latihan dan bimbel, jadi standby baju ganti." "Bagus...well prepare itu namanya," jawabnya senang. * Akhirnya kami mampir ke mal Gancit untuk makan sore menjelang malam. Aku juga sudah mengabarkan mama kalo aku mampir dulu ke sini sama Owie. Restaurant Jepang jadi pilihan Owie untuk makan malam. Suasana mal tidak terlalu ramai karena selain jamnya tanggung, hujan deras juga salah satu faktor penyebabnya. Mungkin orang malas ke mal. "Kamu nggak mau ramen? Sushi aja cukup?" tanya Owie ketika kami akan memesan makanan. "Aku sih suka ramen, tapi takut nggak cukup perutnya. Sushi aja deh yang pasti bikin kenyang." "Hujan begini kan enaknya yang hangat juga." "Minumnya ocha hangat aja kalo gitu," jawabku lagi. Akhirnya Owie memesan dua porsi sushi dengan varian berbeda dan satu ramen dengan minuman dua ocha hangat. "Minggu lalu kamu jadi jalan sama Nandi?" tanya Owie. Aku mengernyitkan dahi memasang muka heran. "Kok kamu tahu?" "Lho kan Nandi bilang mau jalan malam mingguan sama kamu dan Wendy." Aku menepok jidat. "Oalah..sampe lupa aku. Iya jadi di traktir Nandi nonton dan makan malam disini" "Kalian dekat banget ya?" "Iya ... cuma kalo nginep Nandi belum boleh sama kita walau dia sering maksa ... tetap aja lain gender," jawabku. "Enak ya punya teman dekat." "Kamu lebih komplit punya best friend si Ario trus punya pacar juga ... sedangkan aku bertiga ya bertiga aja," ucapku sambil nyengir-ngengir miris. Owie hanya tersenyum tipis. Nggak tahu sebenarnya dia niat senyum apa nggak. Untung saja pesanan kami datang, jadi kami tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat rasa aneh didada, antara nyesek sama sok bahagia tuh suka berbatas tipis. Owie meminta mangkok ekstra, dia tetap ngotot memaksa sku makan ramen yang di pesannya, akhirnya aku ikut menikmati ramen bagi dua dengan Owie. "Suka nggak?" Tanya Owie ketika aku baru saja menghabiskan ramen bagianku. "Suka." "Mau lagi?" "Nggak, lain kali aja ... ini sushi belum disentuh," jawabku. Kami menghabiskan waktu satu jam di Gancit dan sebelum meninggalkan mal Owie mampir membeli lagi beberapa cemilan dengan alasan dari pada bengong mendingan ngunyah katanya. "Kamu nggak takut jalan berdua sama aku?" tanyaku ketika kami sudah melewati meja kasir dan menuju ke lift untuk turun ke basement. "Takut apaan?" "Ya bisa aja kan kita ketemu Luna atau temen Luna disini. Nanti dia bisa salah mengira." Owie hanya tersenyum sambil kami memasuki Lift. "Jawab dong, jangan cuma di senyumin aja." Owie melihat kearahku dengan mata yang berbeda. Ge er nggak sih kalo di bilang dengan tatapan Cinta? Bisa-bisa aku di bilang gila benerean sama Wendy. "Ngapain aku harus takut?" "Ya kan jalan berdua sama cewek tanpa dia ketahui, dia cuma tahu kita latihan ... eh malah nyasar sampe di mal" "Biarin aja, bukan urusan dia jugakan?" Oke baiiikkklah...kalo dia ngamuk juga bukan urusan saya ya Pak Owie. Aku cuma bisa balas dengan senyuman jawaban Owie tadi. Jalanan masih macet dan hujan masih turun dengan intensitas sedang ketika kami meninggalkan mal tadi. "Giliran kamu nganter aku eh malah macet banget Wie ... maaf ya," ucapku dengan nada penyesalan. "Kalo macet ada temennya nggak apa-apa ... kalo aku sendirian baru garing ... santai aja, jangan feeling guilty gitu dong, aku seneng-seneng aja macet begini." "Ada sih orang malah seneng macet-macetan." "Iya ada ... aku, soalnya nggak lagi ditunggu orang, nggak terburu-buru mengejar sesuatu, udara sejuk, perut kenyang trus ada temen ngobrolnya ... trus apa alasan aku buat komplen, nggak ada kan? Mari kita nikmati kemacetan ini," ucapnya sambil tersenyum. "Alhamdulillah, paling nggak aku nggak merasa bersalah karena kemacetan ini." "Ini berapa jauh lagi ke rumah kamu? Aku kan belum pernah." "Sebenarnya nggak terlalu jauh, kalo kata Google maps dalam tiga puluh lima menit kita udah sampe. Biasanya sih kalo jalanan lancar lima belas menit juga sampe rumah." "Kamu kasih tahu jalannya ya." "Iya ntar aku kasih tahu, ini masih lurus aja.". Sebelum jam delapan malam kami sudah tiba di rumahku. Suasana gelap gulita karena tadi bu Salma pasti tidak menghidupkan lampu karena biasanya sebelum Maghrib aku sudah sampai di rumah. Bu Salma ini asisten rumah tangga yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumah kami tapi tidak menginap. Jadi hanya datang jam tujuh pagi hingga jam sepuluh saja karena hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa memasak. "Nggak ada pembantu di rumah?" tanya Owie ketika aku mau turun membuka pagar. "Nggak ada, cuma pulang pergi aja". "Aku aja yang buka, masih hujan" ucapnya sambil mengambil jaket nya dikursi belakang. Aku tidak mau berdebat, karena Owie pasti tetap akan turun membuka pagar. Setelah memarkirkan mobil di carport, Kami turun bersama dan Owie menyalakan lampu hapenya untuk menerangi langkahku hingga membuka pintu rumah. "Aku mandi dulu ya." "Yaudah, aku tunggu aja sini," jawabnya sambil duduk di sofa ruang tengah. "Kalo mau nyalain tv, itu remote di rak." "Nggak usah, aku main hape aja ... udah sana mandi, pakai air hangat biar enak badannya." Astaga..nggak usah detail juga kali ... udah kayak merhatiin pacar deh. #eh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN