Chandani's LL 13. Doubt

2579 Kata
Chandani mengangguk iya dan hendak berjalan keluar kamar. Tapi dia menghentikan langkah kakinya. Dia lalu berbalik menghadap Mama mertuanya lagi dengan ragu-ragu.             Arisha diam menatapnya dengan wajah tidak suka. “Apa lagi? Jangan kau pikir, kau ada hak untuk bertanya padaku! Karena aku tidak akan pernah sudi untuk menjawab pertanyaanmu, apapun itu!” ketus Arisha menatapnya tajam.             Chandani membuka suaranya dengan tubuh bergemetar. “Bu? Chandani tahu posisi Chandani di rumah ini. Dan apapun yang Ibu lakukan pada Chandani, Chandani tetap menghormati Ibu sebagai Ibu mertua Chandani. Chandani tetap menyayangi kalian seperti keluarga Chandani sendiri,” ucapnya pelan dengan menundukkan kepalanya ke bawah.             Hati Arisha nyeri, seketika jantungnya berdegup kencang. Seakan dia ingin menangis mendengar ucapan menantunya barusan. “Chandani tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, Bu. Dan ... hidup dan nafas Chandani saat ini hingga ke depannya, akan Chandani berikan hanya untuk keluarga ini.”             Dia masih berusaha tegar mengucapkan semua rasa sakit di hatinya. “Bu? Tolong izinkan Chandani untuk mengurus keluarga ini hingga akhir hayat Chandani, Bu,” ucapnya masih memilin ujung bajunya. “Chandani berjanji … tidak akan membuat kalian kecewa terhadap Chandani,” sambungnya lagi.             Arisha berbalik membelakangi Chandani. Dia tidak mau Chandani melihat air matanya yang sudah berada di sudut matanya. Dia sendiri pun tidak tahu, kenapa rasanya sangat sakit sekali mendengar ucapan menantunya itu. “Chandani permisi, Bu. Jika Ibu perlu sesuatu, Ibu bisa panggil Chandani.” Suara Chandani begitu lembut dan sopan, dia lalu keluar dari kamar Mama mertuanya. Ceklek!             Arisha lalu melihat pintu kamarnya dari balik cermin. Menantunya sudah keluar dari kamarnya. Dia lalu duduk di depan cermin.  Dia mengatur nafasnya.             Air mata mulai menetes di pipi kirinya. Dia meneguk salivanya dengan susah payah. Memegang dadanya dengan tangan kanannya. Dia lalu memejamkan matanya. Dia pun menangis sejadi-jadinya. ‘Kenapa kau beri takdir seperti ini pada putraku, ya Allah ya Tuhanku? Kenapa harus dia yang menjadi menantuku. Kenapa harus gadis seperti dia?’ bathinnya sambil menangis.             Setelah hampir 20 menit dia menangis dan merenungi segala kesalahan yang telah dia lakukan pada menantunya, Chandani. Dia lalu pergi ke kamar mandi dan mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. *** Kamar Zhain dan Chandani.,             Chandani memandang meja riasnya dengan pandangan kosong. Saat ini hatinya benar-benar gelisah. Ingin sekali rasanya dia mengaduh pada Sang Kuasa, tetapi dia sedang menstruasi, sehingga dia belum bisa menunaikan ibadah sholatnya.             Dia berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. ...             Chandani sedang berada di balkon kamarnya, menatap luasnya hamparan taman di sekitar rumah ini. Sesekali dia menyapa dan tersenyum ramah kepada beberapa pelayan yang ada dibawah sana. Para pelayan pun membalas sapaan dan senyuman dari majikan baru mereka itu. Walaupun mereka belum mengenali majikan baru mereka itu, tetapi mereka tahu kalau majikan baru mereka itu berhati tulus dan baik.             Chandani memandang ke arah langit biru diatasnya, menghirup nafasnya dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Dia membayangkan sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia. Disayangi oleh suami dan mertuanya. Memiliki anak-anak yang lucu dan pintar, sholeh dan sholehah. Mengurus keluarga kecilnya, dari mulai bangun pagi menyiapkan sarapan hingga malam hari menidurkan anak dan suaminya. Semua adalah impian Chandani sedari dulu. Tapi apakah itu akan terwujud atau tidak, dia hanya bisa berdoa dan memohon kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk rumah tangga barunya. Tokk... Tokk... Tokk...             Chandani menoleh ke arah pintu kamarnya. Dia lalu berjalan masuk ke dalam dan membuka pintu kamarnya. Ceklek... “Permisi, Non? Ini ada kiriman dari Den Zhain. Katanya untuk Nona. Dan Den Zhain berpesan, Nona segera membukanya,” ucap Pak Lias memberikan sebuah tas plastik yang berisi kotak di dalamnya.             Chandani menerimanya sambil tersenyum. “Eyang sudah pulang, Pak?” tanya Chandani padanya. “Sudah, Non. Beliau sedang ada di kamarnya sekarang. Apa ada yang perlu saya sampaikan pada Beliau, Non?” tanya Pak Lias lagi pada majikan barunya itu. “Eumh … tidak ada, Pak. Bapak istirahatlah. Bapak pasti Lelah,” ujar Chandani sambil tersenyum dan diangguki iya oleh supir pribadi keluarga Zhakaria Afnan itu. “Kalau begitu saya permisi dulu, Non. Kalau ada perlu sesuatu, jangan sungkan memanggil dan menyuruh saya ya, Non.” Pak Lias membalas senyuman Nona Mudanya, sambil sedikit menundukkan kepala.             Dia hendak berlalu dari hadapan menantu baru di rumah ini. “Iya, Pak.” Chandani membalasnya dengan senyuman tipis, kemudian dia masuk kembali ke dalam, menutup pintu kamarnya.             Chandani berjalan, dan duduk di sofa empuknya yang ada disana. ‘Apa, ya? Bikin penasaran saja kamu, Mas. Ini hadiah ya?’ bathin Chandani mengeluarkan isi dari kantungan plastik itu.             Dia lalu membuka isinya. ‘Kotak ponsel? Iphone? Apa ini benar untukku?’ bathinnya bertanya-tanya.             Dia lalu mengambil ponsel di dalamnya. ‘Ini pasti mahal. Kenapa Mas Zhain beli ponsel yang semahal ini? Ini gimana cara pakainya ya?’ bathin Chandani mulai mengotak atik ponselnya. Dddrrrttt… Zhain is calling… ‘Mas Zhain? Nomor ponselnya sudah di simpan di ponsel ini ya?’ bathinnya lalu menggeser warna hijau di layar ponselnya.             Dengan ragu dia menjawab panggilan dari suaminya itu. “Assalamu’alaikum, Mas?” jawab Chandani grogi. “Wa’alaikumsalam. Apa ponselnya baru sampai ke kamu?” “Ehh ... eh iya, Mas. Tadi Pak Lias baru kasih ke aku, Mas.”             Chandani sedikit kikuk. “Kenapa lama sekali angkat telpon dari Mas? Kamu lagi apa?” “Maaf ya, Mas. Aku baru belajar pakai ponselnya. Tadi sempat bingung gimana cara angkat panggilan dari Mas. Dan aku lagi duduk aja di kamar saja, Mas.”             Dia tersenyum kecut. Tutt... Tutt... Tutt... Ceklek… “Ya sudah biar Mas ajari sekarang,” ujar Zhain lalu menutup pintu kamar mereka tanpa menguncinya rapat.             Chandani mengernyitkan keningnya, lalu menoleh ke arah pintu kamarnya. Suaminya sudah berada di kamar mereka sekarang. Dia seketika menegang dan spontan beranjak dari posisi duduknya.             Zhain tersenyum dan berjalan ke arah istrinya. Dia menghela panjang napasnya saat tahu istrinya berekspresi sama.             Chandani memperhatikan suaminya. Pria ini sungguh tampan sekali. Jas kantornya yang masih rapi. Tubuhnya yang tinggi serta otot yang terlihat jelas dari luar jas hitam pekatnya itu. Tubuh suaminya benar-benar perfeksionis, pikirnya.             Zhain lalu duduk di sofa dekat istrinya yang masih berdiri diam menatapnya. Dia sedikit terkekeh karena istrinya seperti sedang menatap seorang dewa. “Chandani??” sapa Zhain sengaja menyentuh tangan kanan istrinya, supaya istrinya tersadar dari lamunannya. “Ehh … i-iya, Mas. Ma-maaf, Mas.” Chandani tersadar lalu duduk disamping suaminya.             Dia mulai grogi sekarang. Pasalnya, dia belum pernah duduk berdua dengan seorang pria sebelumnya. Sekarang, dia sedang berduaan dengan seorang pria yang tak lain adalah suaminya sendiri. “Kenapa, Chandani?” tanya Zhain lagi sengaja menggoda istrinya yang polos itu. “Hah? Eng-enggak apa-apa kok, Mas.” Dia tersenyum kecut menggelengkan cepat kepalanya, lalu menyibakkan rambutnya disela telinga kanannya.             Chandani membuka suaranya lagi. “Eumh … Mas, Mas bilang tadi pagi kalau Mas ada jadwal operasi siang ini?” tanya Chandani seraya mengingatkan suaminya itu.             Dia pikir, mungkin suaminya bisa lupa dengan jadwal operasinya. Sebagai seorang istri, tidak ada salahnya jika ia mengingatkan hal itu. “Oh, iya. Tadi sewaktu Mas masih di kantor, pihak Rumah Sakit menelepon Mas. Mereka bilang kalau pasiennya sudah meninggal karena serangan jantung mendadak. Dan karena memang keadaan pasien yang sudah sangat lemah. Jadi, mereka tidak bisa menolongnya walau jantungnya sudah di pompa berulang-ulang kali. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Jadi, mereka menyuruh Mas untuk tidak datang ke Rumah Sakit.” Zhain menjelaskan panjang lebar kepada istri satu-satunya itu.             Chandani mengangguk iya dan mulai salah tingkah. Karena sedari tadi suaminya masih terus menatapnya.             Zhain memperhatikan gerak-gerik istrinya itu. “Kamu tidak perlu grogi atau tidak enak begitu sama, Mas. Aku ini suami mu. Katakan apa yang kau inginkan. Apa yang kau suka dan tidak suka,” ucap Zhain menatap lekat manik mata istrinya dari arah samping kirinya.             Chandani hanya bisa diam karena tatapan dari suaminya, Zhain. Jantungnya mulai tak karuan sekarang. Dia tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan saat ini. “Dan Mas mau kita saling bicara satu sama lain. Maksud Mas, kita harus lebih sering berkomunikasi supaya bisa lebih dekat dan saling mengenal satu sama lain,” ujar Zhain sungguh-sungguh.             Ingin sekali rasanya dia menyentuh wajah sendu dan mulus istrinya itu. Tapi dia tidak mau terburu-buru. Dia takut jika istrinya merasa terkejut dan tidak nyaman berada di dekatnya. “I-iya Mas.” Chandani menjawabnya singkat. Karena dia sendiri pun tidak tahu ingin membahas apa lagi.             Zhain bingung harus membuka topik pembicaraan apa lagi. Tapi sedetik kemudian, dia mulai menyadari bahwa pipi istrinya berwarna merah dan seperti ada bekas telapak tangan di pipi kanan dan kirinya. “Dek, kenapa pipi kamu??” tanya Zhain khawatir lalu tanpa sadar dia menyentuh kedua pipi istirnya itu.             Chandani menegang mendapat perlakuan tiba-tiba dari suaminya itu. Dia tahu kalau suaminya pasti melihat bekas merah di pipinya. Padahal sebelum suaminya pulang, dia sudah mengompres wajahnya, tetapi wajah merah di pipinya juga tidak hilang.             Sejujurnya dia sangat bahagia karena perhatian dari suaminya itu, walaupun mereka belum saling mengenal satu sama lain. “Ah itu, Mas. Mung-mungkin karena cuaca dingin ya, Mas.” Chandani menjawabnya asal sambil salah tingkah.             Zhain hanya diam dan tak merespon. “Apa AC di kamar kita terlalu dingin??” tanya Zhain lagi sengaja untuk melihat kebohongan di mata istrinya.             Zhain tahu kalau istrinya sedang berbohong. Dia yakin merah di pipi istrinya itu seperti bekas tamparan. Pikirannya langsung tertuju pada Mamanya. Tapi apakah mungkin Mamanya setega itu menampar istrinya? Dan apa alasannya? Nafasnya memburu. Emosinya mulai meradang.             Dia memang belum sepenuhnya memberi hati untuk istrinya. Tapi, setidaknya dia mulai belajar untuk menerima istrinya dan memperlakukan istrinya dengan baik. “Dengar, Chandani. Mas tidak suka dibohongi. Bisa jawab pertanyaan Mas dengan jujur?” tanya Zhain dengan wajah serius kepada istrinya.             Chandani hanya diam sambil memilin-milin ujung bajunya. Dia bingung harus jawab apa. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, kalau Mamanya lah yang menampar dirinya habis-habisan.             Diam istrinya itu semakin membuat Zhain yakin, kalau Mamanya lah yang sudah membuat merah wajah istrinya itu. Tapi sekuat apakah tamparan itu hingga merah di pipi istrinya sangat terlihat jelas. Dan apa salah istrinya, sampai Mamanya menamparnya hingga seperti ini. ‘Apa Mama menampar istriku? Tapi apa salah istriku, Ma?’ bathin Zhain seraya bertanya-tanya sendiri.             Ingin sekali dia meminta penjelasan dari Mamanya itu. Tapi disisi lain, Mamanya pasti tidak akan mau mengakuinya. Satu-satunya jalan, dia harus mengetahui kebenarannya dari istrinya sendiri.             Zhain mengangkat dagu istrinya dengan jari telunjuknya dan mengarahkannya tepat di hadapannya.             Mereka saling berhadapan sekarang. “Hey? Mas ini suami mu, bukan?” tanya Zhain pada Chandani.             Chandani mengangguk iya. Matanya mulai memerah sekarang, suaminya pasti bisa melihat itu.             Zhain merasa seperti mengintimidasi istrinya. Dia tidak tega, tapi dia harus bertanya pada istrinya supaya tahu kebenarannya. “Bisa jawab pertanyaan suami mu ini dengan jujur?” tanya Zhain lagi menatap manik mata istrinya. Chandani tidak merespon, dia hanya diam meremas-remas kedua tangannya dan memandang suaminya dengan matanya yang mulai berair dan siap untuk menitihkan air matanya. “Siapa yang menampar pipimu ini?” tanya Zhain lembut, mengelus pelan pipi istrinya.             Chandani masih diam sambil terus berusaha meredakan air mata di pelupuk matanya.             Zhain kembali mencecar istrinya dengan satu pertanyaan lagi. “Apa Mama yang menamparmu?” tanya Zhain dengan suara sepelan mungkin.             Air mata Chandani mulai menetes di pipi kanannya. Dia tidak tahu kenapa, air mata itu semakin deras. Hingga Chandani sesenggukan.             Zhain langsung sigap menghapusnya. Dan membawanya ke dalam pelukannya. “Sudah-sudah, jangan menangis. Mas mohon berhentilah menangis,” ujar Zhain memeluk lembut istrinya sembari mengelus pelan punggung istrinya. ‘Apa salah istriku, Ma? Kenapa Mama jadi sekasar ini? Aku sungguh tidak percaya ini, Ma.’             Zhain masih memeluk erat istrinya. Mengelus pelan punggungnya. ‘Mas minta maaf. Mas janji, ini tidak akan terulang lagi.’             Diam-diam dia menghirup aroma wangi di ceruk leher sang istri. Rambut hitamnya mengeluarkan aroma wangi khas lavender. Zhain sadar, di bawah sana mulai menegang, karena perlakuannya sendiri terhadap istrinya. Dia membathin dan merutuki kebodohannya. ... Beberapa menit kemudian.,             Setelah tangisan istrinya mereda. Dia lalu membenarkan anakkan rambut istrinya. “Sudah tenang, hmm?” tanya Zhain lembut pada istrinya.             Chandani hanya mengangguk iya.             Zhain bingung harus apa sekarang. Dia lalu mencari topik pembicaraan lain untuk mengalihkan perasaan tidak enak istrinya itu. “Sini … Mas ajari cara pakainya,” ucap Zhain lalu mengambil ponsel milik istrinya itu. “Itu sungguh untukku, Mas?” tanya Chandani memastikan pada suaminya. Dia pikir, dia tidak perlu memikirkan masalah yang telah terjadi.             Zhain menatap istrinya sekilas sambil tersenyum. “Iya, Dek. Ini buat kamu. Semua nomor ponsel keluarga kita sudah ada disini. Termasuk keluarga angkat kamu. Jadi kalau kamu rindu mereka. Kamu bisa hubungi mereka. Dan tarif telponmu sudah Mas sambungkan ke rekening Mas. Jadi kamu bebas menelepon mereka kapan pun,” jawab Zhain lalu memainkan ponsel milik istrinya.             Zhain mendekatkan duduknya semakin dekat dengan sang istri. Ia menyadari kalau istrinya, Chandani semakin grogi sekarang. Dia berpura-pura tidak tahu kalau istrinya mulai tidak nyaman dan berkeringat dingin. Zhain pikir, istrinya harus terbiasa dengan sikapnya ini supaya mereka bisa semakin dekat satu sama lain.             Chandani membuka suaranya untuk menghilangkan rasa canggungnya. “Mas? Apa Papa Dipta sudah tahu nomor ponsel baruku ini?” tanyanya pada suaminya.             Zhain mengangguk iya. “Mas sudah menghubungi mereka lewat ponselmu. Mereka pasti menyimpan nomor baru mu ini,” jawab Zhain.             Mereka kembali diam. Tidak ada satupun yang berani membuka suara.             Zhain lalu menampakkan layar ponsel istrinya di hadapan istrinya itu. Dia lalu mengajari istrinya cara memainkan ponsel baru itu. Blaa… Blaa... Blaa... Blaa… Blaa... Blaa… ... Beberapa menit kemudian.,             Kini mereka bingung ingin membahas apa lagi. Zhain sudah kehabisan akal untuk memulai topik pembicaraan baru.             Chandani, istrinya pun hanya diam. Sangat terlihat kegugupan di wajahnya. Dan Zhain paham itu.             Mereka saling bertatapan saat ini. Bingung harus melakukan apa setelah mengajari istrinya cara memainkan ponsel barunya itu. Zhain memegang pipi mulus istrinya.             Jantung Chandani berdegup kencang. Nafasnya seperti susah untuk diatur. Dia hanya diam saja mendapat perlakuan manis dari suaminya. Antara bahagia dan tidak nyaman. Pasalnya baru kali ini dia disentuh oleh seorang pria. Pria itu adalah suaminya sendiri. “Apa Mas boleh melakukannya?” tanya Zhain ragu kepada istrinya.             Dia pikir, dia harus meminta izin terlebih dahulu kepada istrinya sebelum mengecup bibir mungil istrinya yang merah alami itu. Walaupun sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu karena mereka sudah sah sebagai suami istri.             Tapi Zhain sangat menghargai istrinya dan haknya untuk menolak apapun yang dia tidak suka.             Awalnya Chandani ragu, lalu kemudian dia mengangguk iya. Karena Chandani pikir, suaminya berhak melakukan ini atas tubuh mereka yang sudah saling halal.             Zhain menghela nafasnya pelan. Dia memberanikan tangannya untuk memegang tengkuk istrinya. Zhain mengelusnya pelan hingga sang empunya meremang.             Mata Zhain lalu tertuju pada bibir ranum dan merah istrinya itu. Bibir yang sejak awal mereka bertemu, selalu menjadi fokus utamanya.             Chandani menelan ludahnya dengan susah payah. Sengatan listrik seakan sedang menjalar di tubuhnya saat ini.             Zhain mendekatkan wajahnya ke arah istrinya. Perlahan, dia mencium bibir mungil istrinya. “Hmmphhtt …” Chandani meremas-remas kedua tangannya tanpa berani membalas pangutan sang suami. ...             Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari luar pintu yang tidak mereka kunci dengan rapat. Orang itu menghelas nafasnya panjang, lalu menutup kembali pintu kamar dengan perlahan tanpa menimbulkan suara. *** *** -Chandani Oyuri- Aku tahu Ya Allah Ya Tuhanku Kau tidak akan memberi cobaan melewati batas kemampuan hamba Mu Beri aku kekuatan untuk melindungi keluargaku Beri aku kekuatan untuk memelihara rumah tanggaku di atas tangan Mu Beri aku kekuatan untuk bisa menembus kelembutan hati ibu mertuaku Luluhkan hatinya untukku Luluhkan hatinya untukku Luluhkan hatinya untukku Aku berharap dan berdoa hanya kepada Mu Doaku, dari seorang anak yatim piatu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN