Chandani lalu mengerjap-ngerjapkan matanya, sembari mengatur nafasnya.
“Kenapa kau diam, huh?!” ketus orang itu menatap tajam ke arahnya.
Chandani diam. Dia menjadi takut sekarang. Melihat seseorang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Chandani memundurkan langkahnya ke belakang. Hingga tubuhnya terpojok pada wastaple. Dia berusaha tenang di situasi seperti sekarang ini.
“Eumh … a-aku hanya mengambil air minum, Bu.” Chandani sedikit takut lalu menundukkan kepalanya.
“Selain jelek, kau juga tidak bisa menelaah ucapanku barusan ya?!” ketus orang itu dengan nada tidak suka. Siapa lagi kalau bukan Mama Zhain, Arisha Cantara.
Chandani masih tetap menundukkan kepalanya. Dia hampir meneteskan air matanya saat itu juga. Tubuhnya sudah gemetar.
“Apa kau bisu?? Hahh … ya, aku lupa sesuatu. Kau tidak berpendidikan!” Arisha menyeringai.
“Pantas saja kau tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dan … otakmu ternyata sedikit lamban!” ketus Arisha sinis dengan raut wajah mengejek.
Arisha berjarak dekat dengan Chandani. Dia tahu kalau Chandani takut terhadapnya. Dan itulah keinginan Arisha. Dia akan membuat Chandani takut dan tidak menyetujui acara perjodohan itu.
Dia sadar, dia tidak bisa menentang keputusan yang sudah dibuat oleh Mama mertuanya itu. Apalagi Zhain sudah menyetujuinya. Tapi Arisha tidak akan tinggal diam. Dia akan membuat Chandani takut padanya dan merasa tidak betah tinggal di rumah mereka.
Dia akan melakukan berbagai cara untuk membuat Chandani menolak perjodohan itu. Sebelum Mama mertuanya bertindak lebih jauh, dia pikir dia harus melakukannya seorang diri. Dia tidak akan pernah mau memiliki menantu seperti Chandani yang menurutnya tidak selevel dengan keluarga mereka.
Lama Chandani terdiam dalam posisinya, membuat Arisha kembali membuka suaranya.
“Percuma aku mengeluarkan suara, jika yang kuajak bicara saja pun tidak mengerti bahasa dengan baik! Kasihan sekali putraku, kalau sampai harus memperistri dirimu!” ketusnya menatap sinis ke arah Chandani.
Chandani lalu mendongakkan kepalanya. Perlahan, air matanya menetes jatuh membasahi pipinya.
“Jangan kau keluarkan air mata buaya mu itu dasar bermuka dua!”
Arisha menatap tajam ke arah wanita yang tidak sudi untuk ia terima sebagai menantunya.
“Kau bisa membodohi mertua dan suamiku. Tapi kau tidak akan pernah bisa membodohi aku Chandani! Dan anakku Zhain??”
Dia menyeringai melihat Chandani mulai takut dan sama sekali tidak membantah ucapannya.
“Kau pikir, kau siapa sampai bisa menikah dengan putraku, huh?! Kau tidak selevel dengan kami. Jadi dengarkan aku baik-baik!” ketusnya sambil mengatur nafasnya yang sedikit tersengal.
Mata Chandani masih memerah. Dia tidak tahan dengan situasi seperti ini. Kejadian ini mengingatkan dirinya akan perlakuan Mama angkatnya, Leta Niswari.
Arisha menatap tajam Chandani. Entah kenapa, rasanya dia sangat menggebu ingin mengusir Chandani dari rumah ini.
“Kau harus menolak perjodohan ini, kau mengerti?”
Deg!
Chandani memberanikan diri menatap wanita yang kini melihatnya seperti jijik.
“Sadarkanlah dirimu sendiri Chandani. Anakku seorang dokter spesialis jantung ternama. Dia tidak mungkin menikahi gadis yang asal usulnya tidak jelas seperti dirimu, bukan??”
Deg!
Rasanya sangat sulit sekali baginya menahan air mata yang hendak tumpah.
“Pahamilah aku sebagai seorang Ibu. Jadi, aku minta tolong padamu. Besok kau harus mengatakan kepada mereka kalau kau menolak perjodohan ini. Kau paham dengan bahasaku, Chandani?” tanya Arisha dengan nada pelan yang sedikit terkontrol.
Chandani lalu mengangguk iya seraya mengerti dan akan melakukan keinginan wanita yang ada di hadapannya saat ini. Sejujurnya, dia pun tidak mau menerima perjodohan ini, sebab dia merasa tidak pantas.
Arisha puas dengan jawaban Chandani walau hanya dengan anggukan kepala saja. Dia sangat yakin kalau Chandani akan melakukan apa yang dia pinta.
Setelah itu, Arisha meninggalkan Chandani seorang diri di dapur. Dia lalu berjalan menuju kamarnya.
Chandani mengusap air mata di pipinya. Dia lalu mencuci gelas bekas minumnya tadi. Dia masih sesenggukkan sambil mencuci gelas yang dipegangnya.
Dia lalu melirik ke arah meja dapur. Dia mengambil tissue yang ada disana. Dan mengelap gelas tadi dengan tissue, lalu meletakkan gelas itu kembali ke tempat semula.
Chandani lalu berjalan menuju kamar Eyang Ida. Dia berjalan tanpa melirik kesana kemari. Dia sangat takut sekarang. Dia juga masih memikirkan bagaimana cara dia menolak perjodohan ini dengan cara halus tanpa menyinggung siapa pun terutama Eyang Ida.
…
Tanpa Chandani sadari, dari tadi seseorang sudah memperhatikannya dari kejauhan. Dia adalah Zhain.
Zhain yang juga haus, dia lalu keluar dari kamarnya dengan membawa tupperware kosong yang dia pegang. Saat hendak menuju dapur, dia mendengar suara samar-samar. Ternyata ada Mamanya dan Chandani disana. Dia lalu berjalan menyudut dari ruangan dapur.
Zhain mendengar semua pembicaraan antara Mamanya, Arisha dan Chandani saat mereka sedang di dapur. Zhain tidak percaya dengan ucapan Mamanya itu. Dia mengakui bahwa dia sendiri pun sangat tidak menyetujui perjodohan ini.
Tetapi saat dia melihat kesungguhan Eyangnya, dia yakin kalau Eyangnya tidak main-main dengan ucapannya. Dan Eyangnya pasti tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Zhain sangat mempercayai Eyangnya itu.
Zhain tidak tahu harus berbuat apa. Jika dia menolak, Eyangnya pasti akan sangat kecewa padanya.
Tapi kalau dia menerima perjodohan ini, dia tidak tahu bisa bersikap baik dengan Chandani atau tidak. Dia belum mengenal Chandani dengan baik. Memang dari wajah dan sikapnya, Zhain menilai kalau Chandani adalah sosok gadis lugu dan bersifat sangat rumahan.
Mulai malam itu, Zhain akan belajar untuk menerima Chandani. Dia pikir, dia harus mendekatkan diri dengan Chandani, mengingat kalau Chandani selalu gemetar jika Zhain mendekatinya.
---**---
Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta.,
Pagi Hari.,
Pagi sudah menjemput. Di kediaman Zhakaria Afnan yang jauh dari jalan raya. Pagi hari ini hanya terdengar bunyi burung-burung yang berkicau. Tentu saja hal itu menjadi penyemangat sendiri bagi sang pemilik rumah.
Chandani baru saja selesai menunaikan sholat shubuhnya. Dia lalu duduk di sebelah Ida yang sedang merapikan mukenahnya.
Ida tersenyum menatap Chandani. Lain halnya dengan Chandani, dia malah terlihat gelisah karena masih memikirkan bagaimana caranya dia mengatakan penolakan perjodohan itu.
Dia seharusnya beruntung karena dijodohkan oleh seorang pria mapan berstatus dokter seperti Zhain. Tapi di sisi lain, dia juga sadar diri bahwa dia hanyalah seorang gadis biasa yang tidak berpendidikan tinggi. Bahkan dia hanya seorang gadis yang sebatang kara.
Dia tidak mau keluarga Ida malu karena memiliki menantu seperti dirinya. Apalagi Zhain, dia pasti akan sangat menderita karena ejekan dari teman-temannya atau rekan kerjanya jika sampai mereka tahu bahwa Zhain, seorang dokter spesialis jantung ternama memiliki istri yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Lama Chandani terdiam menatapnya, membuat Ida mengernyitkan dahinya.
“Apa yang sedang kau pikirkan Sayang?” tanya Ida lembut padanya.
“Ahh … tidak apa-apa, Eyang.” Chandani tersenyum kecut, menggelengkan pelan kepalanya.
“Nanti kita akan pergi ke rumah keluarga angkatmu ya, Sayang.” Ida mengusap lembut rambut panjang Chandani.
Chandani lalu menundukkan kepalanya. Dia sangat bingung sekarang.
Dia harus berbuat apa. Apa dia harus mengatakannya sekarang juga mengenai penolakan perjodohan ini. Tapi, dia juga tidak mau melihat wanita senja ini merasa sedih karena keputusannya.
“Dari pada kamu melamun seperti itu, lebih baik kita turun ke bawah sekarang. Eyang akan kenalkan kamu kepada para pekerja di rumah ini,” ucap Ida lalu berdiri dan meletakkan mukenahnya di dekat nakasnya. Dia memegang tangan kanan Chandani.
Chandani mengangguk iya dan menuruti apa yang dikatakan oleh Ida. Sebab dia tidak bisa membantah perkataan orang yang lebih tua darinya.
Yah! Ida sengaja tidur di lantai atas dan tidak tidur di kamarnya yang berada di lantai bawah. Karena dia mau membiasakan Chandani dengan rumah mereka ini.
Mereka menuruni anak tangga. Di pagi hari ini, semua lampu rumah dinyalakan karena hari tentu saja masih gelap. Chandani menatap ke setiap sudut pandangannya.
Sungguh dia baru kali ini melihat rumah semegah ini. Dia tersenyum menatap seisi rumah dengan perabotan yang mahal.
Terdapat banyak kristal-kristal yang dijadikan pajangan di setiap sudut rumah. Guci-guci mahal yang dipajang di atas meja hias berukuran panjang. Lalu matanya tertuju pada sebuah foto berbingkai besar yang dipajang di dinding tepat menghadap ke ruangan tamu. Dia tersenyum menatap foto berbingkai itu.
Ida melirik Chandani dengan wajah bahagia. Dia sengaja membiarkan Chandani menatap foto itu lama.
Tiba-tiba seseorang mendekati mereka dan mengatakan sesuatu.
“Keluarga kami sangat sempurna, bukan?” ucapnya bersuara datar.
Deg!
Chandani terdiam saat itu juga. Jantungnya terasa mau copot, mendengar suara yang berasal dari arah samping kirinya. Dia tidak berani menoleh ke arahnya, karena tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mama Zhain, Arisha.
“Dan keluarga kita akan lebih sempurna dengan kedatangan Chandani,” sambung Ida sambil melirik ke arah Chandani dengan senyuman.
Ida, dia akan terus berusaha menepis semua perkataan menantu satu-satunya itu. Dia tahu, kalau menantunya, Arisha butuh waktu untuk menerima keputusannya ini.
Chandani hanya tersenyum kecut. Matanya lalu beralih pada lantai. Dia menundukkan kepalanya lagi.
“Papa sudah bilang tadi malam, Chandani. Kamu jangan menundukkan kepalamu seperti itu lagi, Sayang. Mengertikan?” ujar Ida lembut mencoba membuat Chandani terbiasa tanpa merasa takut di rumah ini.
Dia mengangguk kecil, walau sedikit gelisah dan tidak nyaman. Chandani tidak tahu harus melakukan apa, sebab ia merasa jika keberadaannya di rumah ini sangatlah tidak pantas.
Arisha merasa sebal melihat sikap Mama mertuanya yang menurutnya terlampau berlebihan kepada orang asing yang baru saja mereka kenal. Dia lalu berjalan menuju dapur.
“Ayo, sekarang kita ke dapur.” Ida masih menggenggam tangan Chandani, dan mengajaknya berjalan ke arah dapur.
…
Dapur.,
Chandani melihat dua pekerja disana, yang dia yakini mereka pasti pembantu rumah tangga di rumah ini. Dan disana juga terdapat Arisha yang sedang melanjutkan acara menyayurnya.
“Biasanya yang selalu menyayur dan memasak di rumah ini, Ica. Mamanya Zhain,” ujar Ida tersenyum pada Chandani.
Chandani hanya tersenyum kecut. Karena Arisha melirik sinis ke arahnya.
“Mama Zhain dipanggil Ica. Maka dari itu kami memanggilmu Chandani saja. Supaya bisa membedakan kamu dan Mama Zhain. Dan nama asli kamu cantik kok kalau dipanggil lengkap,” ucap Ida seraya bercanda kepada Chandani.
Dia tahu, kalau Chandani sangat tegang sekarang.
“Dan Bi Atik, Bi Susi. Kenalkan ini Chandani. Dia calon menantu di rumah kita,” ujar Ida memperkenalkan Chandani kepada mereka.
Kedua asisten rumah tangga itu tersenyum ramah ke arah Chandani. Mereka melihat Chandani dengan tatapan sendu. Wajah Chandani yang terlihat sangat polos dan lugu.
Berbeda dengan Arisha yang tidak menghiraukan pembicaraan di dapur itu. dan Ida memaklumi sikap menantunya yang belum bisa menerima Chandani.
“Bi Atik dan Bi Susi membantu kita di dapur. Sedangkan urusan bersih-bersih rumah, kita sudah pakai jasa kebersihan. Mereka datang setiap hari dan pulang setelah rumah selesai dibersihkan,” ujar Ida seraya menjelaskan kepada Chandani.
Chandani mengangguk mengerti.
“Eyang ke kamar sebentar ya. Ada yang mau Eyang ambil.” Ida tersenyum lalu berjalan ke arah kamar meninggalkan Chandani di dapur bersama dengan mereka.
Dia sengaja ingin memberi ruang dan waktu untuk Chandani agar bisa bersahabat dengan para pekerjanya. Terutama agar dia bisa mengambil hati menantu satu-satunya, Arisha Cantara.
Chandani hanya diam di tempatnya tanpa berani membuka suara atau melakukan apapun yang bisa ia lakukan disana. Meski ia tahu, ada beberapa pekerjaan yang bisa ia lakukan disana.
Bi Atik dan Bi Susi melirik ke arah Chandani. Mereka bingung, apakah mereka pantas menyuruh Chandani atau tidak. Pasalnya majikan mereka, Arisha membiarkan Chandani. Mereka merasa kalau majikan mereka tidak menyukai Chandani.
Saat Bi Atik mengajak Chandani untuk memasak, Arisha memarahinya. Mereka pun semakin yakin, kalau Arisha, majikan mereka tidak menerima kehadiran Chandani di rumah ini.
“Kalian tetaplah memasak, Bi. Jangan lakukan apapun yang tidak aku perintahkan,” ucap Arisha dan dijawab iya oleh Bi Atik dan Bi Susi.
Arisha tega melakukan hal itu supaya membuat Chandani bosan dan lelah berada di rumah ini.
…
Beberapa menit kemudian.,
Arisha sudah selesai menghidangkan makanan di meja makan. Dia tidak mempedulikan apapun yang menurutnya tidak pantas.
Sedangkan Chandani, dia hanya melirik sekilas ke arah mereka. Dia masih diam dalam posisi berdirinya saat ini. Jujur dia merasa pegal karena tidak melakukan apapun.
...
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Semua orang sudah berada di meja makan saat ini.
Zhaka sudah rapi dengan pakaian kantornya. Seperti biasa, mereka akan menikmati sarapan pagi bersama.
Sedangkan Zhain? Jangan tanya bagaimana penampilannya. Dia sungguh terlihat sangat tampan sekali pagi ini.
Jas hitam pekat yang melekat di tubuh atletisnya bisa membuat para wanita bertekuk lutut di hadapannya. Dasi yang sudah rapi, yang dipasangkan sendiri oleh Mamanya, Arisha.
Awalnya Arisha tidak ingin sarapan karena merasa tidak suka berada satu meja makan dengan Chandani. Tetapi karena lirikan tajam dari suaminya, Zhaka. Akhirnya Arisha kembali duduk di samping suaminya.
Lalu Zhain, dia duduk di sebelah Ida. Ida berada di antara Chandani dan Zhain. Mereka makan dalam diam. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka.
Chandani merasa kalau keluarga ini sangat menjunjung tinggi tata krama dalam hal apapun. Dia semakin segan dan merasa tidak pantas jika saja ia menerima perjodohan atas usulan sang Eyang, Ida.
..**..
Chandani merasa tidak enak berada satu meja makan dengan mereka semua. Dia merasa grogi, pasalnya selama ini dia tidak pernah makan satu meja dengan keluarga angkatnya karena itu akan menjadi boomerang di meja makan.
Dan yang terjadi sekarang ini, sama persis dengan yang terjadi di rumah keluarga angkatnya. Dia mulai sedih. Chandani memakan sarapannya dengan tidak selera. Mengingat hidupnya yang sama sekali tidak dibutuhkan dan tidak diinginkan kehadirannya oleh orang lain.
Dia merasa, dimana pun dia berada, pasti akan ada masalah yang terjadi. Dia sendiri tidak tahu. Apa dosa yang telah dia perbuat selama ini sehingga sejak meninggalnya kedua orang tuanya, hidupnya mulai berubah. Bahkan sejak saat itu hingga sekarang, Chandani tidak pernah merasakan lagi hangatnya kasih sayang orang tua dan keluarga yang utuh.
Setelah selesai dari acara sarapan, mereka lalu berbincang sebentar. Ida mulai merencanakan perihal kunjungan mereka ke kediaman keluarga angkat Chandani.
Awalnya Chandani ragu untuk mengatakan niatnya itu karena melihat begitu antusiasnya Ida berbicara di hadapan mereka. Apalagi Zhaka dan Zhain diam mendengar ucapan Ida. Mereka sangat menghormati Ida sebagai yang tertua di rumah ini.
Tapi setelah lama mereka berbincang, Ida menyinggung soal pernikahan dan penyewaan wedding organizer untuk mengurus pernikahan mereka sepenuhnya.
Dan pada saat pembicaraan itu, Arisha melirik tajam ke arahnya seraya memberi kode pada Chandani agar cepat mengatakan hal yang dipinta oleh Arisha.
Zhain yang mengetahui kode dari Mamanya dan paham dengan sifat Mamanya itu, dia lalu mengambil sikap.
“Biar Zhain yang urus semuanya Eyang. Kapan rencana pernikahan kita akan dilaksanakan?” tanya Zhain menatap Chandani seraya meminta persetujuan dari gadis yang akan dia persunting.
Chandani yang ditanya Zhain, dia melongo tak percaya. Bagaimana mungkin Zhain mau menikahinya, padahal mereka sama sekali belum pernah bertegur sapa bahkan belum mengenal satu sama lain.
Arisha terdiam mendengar ucapan putra semata wayangnya itu. Zhaka juga ikut menimpali pembicaraan mereka seraya setuju.
Ida sangat bahagia, karena akhirnya Zhain mau mulai membuka diri untuk menerima kehadiran Chandani. Dia yakin Zhain akan memperlakukan Chandani dengan baik setelah mereka menikah.
Arisha menatap tajam ke arah Chandani. Sangking fokusnya pada pikirannya tentang Chandani, dia tidak sadar kalau semua orang mulai menatapnya.
“Sayang, ada apa dengan mu?” tanya Zhaka heran pada istrinya.
Ida mengerti bahwa menantunya itu berusaha untuk mengontrol emosinya. Tapi Ida berpura-pura tidak tahu itu.
Karena merasa tidak tahan, Arisha tiba-tiba berdiri dari duduknya. Dia lalu keluar dari ruangan makan tanpa permisi kepada mereka semua.
Zhain? Dia melirik ke arah Chandani. Dia memandang Chandani dengan wajah yang sulit diartikan.