Hari ini Nadhira pergi berbelanja untuk kebutuhan dapur.
Di temani Adam yang mendorong troli di sebelahnya keduanya memilih bahan makanan yang segar untuk di simpan di lemari es satu minggu mendatang.
"Mas mau beli ini untuk Via," tunjuk Adam pada sebuah eskrim.
Nadhira mengangguk, rencananya setelah berbelanja mereka akan menjenguk Ayah Nadhira, jadi mereka juga membeli bingkisan untuk mereka bawa.
"Mas, kalau nanti anakku lahir bakalan kayak siapa ya?"
Adam nampak berpikir "Mungkin seperti kamu, atau aku, bisa juga perpaduan kita berdua, yang pasti kalau cewek bakalan cantik dan cowok bakalan ganteng."
Nadhira tertawa "Benerkan, perpaduan kita berdua ini pasti menghasilkan bibit unggul terbaik."
"Kamu maunya laki-laki atau perempuan, Mas?"
"Hm, laki-laki kayaknya."
"Kenapa laki-laki?"
"Pengen aja, biar Mas ada temennya, masa perempuan terus." Adam tersenyum mendorong trolinya ke arah kasir, sementara Nadhira terdiam di belakangnya.
"Mas Adam ngomong apa sih," gumamnya, lalu tersenyum saat Adam menoleh "Ayo dong Yang, nanti eskrimnya keburu cair." Nadhira melanjutkan langkahnya mengikuti Adam untuk membayar.
Tiba di rumah Galuh mereka di sambut oleh Livia yang memekik senang melihat Adam dan Nadhira, mungkin lebih tepatnya Adam, karena mereka memang akrab.
"Mas Adam!" teriaknya senang. Bocah itu langsung melompat ke arah Adam dan minta di gendong.
"Ih, kangen deh sama Via," ucap Adam mencubit pipi Livia dan menciumi bocah itu.
"Ayah apa kabar?" sapa Nadhira, dia memeluk sang ayah.
"Ayah baik, kalian gimana? gimana rumah barunya?"
"Nyaman kok Yah,"
Elisa muncul setelah beberapa saat membawa nampan berisi minuman. "Lain kali kita kesana kan Mas?" dia meletakan nampan diatas meja.
"Iya, nanti kalau Mas udah gak sibuk," ucap Galih.
"Ayah jangan terlalu cape, nanti sakit gimana." Nampak sekali kekhawatiran di wajah Nadhira.
"Iya, aku juga bilang gitu, tapi Ayah kamu nih lebih mementingkan pekerjaannya."
"Ya, kan lagi rezekinya, bagus Mas banyak orderan."
"Tapi kalau kecapean nanti sakit."
Nadhira menunduk tersenyum melihat perhatian Elisa pada Galuh, lalu dia melihat Adam yang acuh dan memberikan eskrim yang mereka beli untuk Livia.
Nadhira menghela nafasnya, ini sudah benar, seharusnya dia tak perlu mengkhawatirkan apapun antara Adam dan Elisa.
"Gimana kalau minggu depan kita ke rumah mereka Mas, aku kan juga pengen tahu dimana rumah Nadhira."
Baru saja Galuh mengangguk, namun Nadhira menyela "Minggu depan kita jadwal ke rumah Mama Karin, Ma." Karin adalah Mama Adam.
Elisa nampak kecewa "Ya udah lain kali deh."
"Oh, ya, kedatangan kita kemari juga mau memberikan kabar gembira." Nadhira tersenyum dan menoleh ke arah Adam yang mengangguk dan mengusap bahunya, mengizinkan Nadhira untuk memberi tahu kabar gembira tersebut.
"Aku hamil, Yah."
"Oh, ya?" Galuh tersenyum bahagia mendengar kabar baik tersebut, dia bahkan memeluk Nadhira.
Nadhira tersenyum namun saat ini matanya melihat pada Elisa yan mengerutkan keningnya, dan menatap pada Adam, entah apa yang wanita itu pikirkan.
Nadhira beralih pada Adam, pria itu masih mendudukan Livia di pangkuannya, namun matanya tersenyum ke arahnya.
Setelah Galuh melepaskan pelukannya, barulah Nadhira melihat Elisa tersenyum lalu memeluknya "Selamat ya, Nad, akhirnya keinginan kalian tercapai."
Nadhira mengangguk "Makasih, Ma."
"Ayah mau syukuran, Ayah mau bagi- bagi katering buat karyawan di garmen besok, buat calon cucu Ayah, semoga kalian selalu di beri kesehatan dan keselamatan," ucap Galuh antusias, pria paruh baya itu bahkan mengusap perut Nadhira dengan sayang.
***
"Via lagi apa?" Nadhira menghampiri Livia yang asik dengan gambarnya.
"Gambar, Mbak."
Nadhira tersenyum melihat hasil gambar Livia "Gambar Via bagus banget. Ini siapa?" tunjuk Nadhira ada gambar seorang anak yang di gandeng dua orang dewasa di kiri dan kanannya.
"Ini Via, sama Mama lagi jalan- jalan ke pasar malem." Nadhira tersenyum, dia juga melihat sebuah komedi putar di depan ketiga orang itu.
Gambar yang masih belum bisa di katakan sempurna hanya saja Nadhira bisa mengerti maksud dari bentuk itu.
"Jadi ini Mama sama Livia?" Livia mengangguk "Kalau gitu ini pasti Ayah?" tunjuk Nadhira pada gambar pria dewasa yang ada di sebelah Livia.
Livia menggeleng membuat Nadhira mengerutkan keningnya "Terus siapa dong?"
"Mas Adam." bibir polos itu bicara tanpa menyadari jika Nadhira tertegun.
"Mas Adam?" Nadhira bergumam, dia menatap gambar itu sekali lagi, lalu matanya beredar mencari Adam.
Adam mematikan puntung rokoknya ke asbak dan bangkit dari duduknya untuk masuk kembali ke dalam rumah, dia baru saja merokok di halaman belakang rumah seperti biasa, baru saja berbalik Adam melihat Elisa berjalan ke arahnya.
"Nadhira hamil?" ucap Elisa.
Adam mengangguk "Ya."
"Selamat kalau gitu."
Adam kembali mengangguk "Kamu udah mengatakannya tadi."
"Tapi, belum bilang selamat secara langsung sama kamu."
"Itu keinginanku sejak awal menikahi Nadhira," ucap Adam.
Elisa tersenyum "Aku tahu, kamu memang suka anak kecil, terbukti saat kamu juga menerima Livia."
Adam ikut tersenyum.
Elisa menunduk lalu menghela nafasnya "Tapi, aku berharap kamu gak berubah, Dam."
Adam mengerutkan keningnya "Berubah?"
"Perhatian kamu ke Livia." Adam memejamkan matanya kesal.
"Kenapa kamu berpikir begitu?”
"Bagaimana pun kamu menantikan kehadiran anak kalian, aku cuma takut kamu melupakan Livia dan mengabaikannya."
Adam melihat sekitarnya lalu bicara sedikit pelan "Elisa, Livia juga anakku, tapi aku juga gak bisa mengatakannya di depan semua orang. Karena itu aku berjanji untuk selalu ada selagi aku bisa nemenin Livia."
"Bukan itu janji kamu dulu, Dam. Kamu janji untuk selalu ada bersama Livia."
"Karena itu aku berusaha."
"Aku cuma takut saat kamu memiliki anak lain kamu melupakan Livia, karena sekarang pun kamu mulai jarang menemaninya."
"Waktuku juga gak se- efisien itu, El. Makanya aku awalnya gak mau pindah, tapi aku bisa apa saat Nadhira tahu tentang kita." Adam kembali melihat sekitarnya "Aku masih di kasih keberuntungan karena Nadhira gak tahu tentang Livia."
"Terus kenapa kamu gak bilang yang sebenarnya?"
"Kamu gila El, bukan hanya rumah tanggaku yang akan hancur, tapi kamu dan Ayah juga." Elisa menunduk.
"Kamu benar, kita ada di situasi rumit."
"Jangan pernah mengungkit ini lagi El. Kita udah sepakat kan?"
Elisa kembali mengangguk.
Adam mengusap bahu Elisa "Aku gak mau kehilangan Nadhira, El. Lagi pula jalanku dan kamu sudah berbeda, tapi aku akan berusaha agar selalu ada untuk Livia."
Elisa tersenyum "Maaf, barusan aku cuma terbawa perasaan, harusnya aku gak meragukan kamu. Aku tahu sejak awal ini salahku, jadi aku gak bisa berharap lebih."
Keduanya masih asik mengobrol tanpa menyadari jika dari balkon kamar Nadhira memperhatikan keduanya.