Bab 7

1066 Kata
"Aku akan mencoba menutup mata dan telinga aku, dan tetap percaya sama kamu, tentu saja selama kamu juga menanamkan kepercayaan itu." Adam tertegun, lalu terkekeh "Kamu ngomong apa sih, ya, iyalah kamu harus percaya, aku gak akan mengkhianati kamu." Adam menggenggam tangan Nadhira "Sejak kita menikah, cuma kamu cinta matiku." "Jadi, sebelum menikah siapa? Elisa?" Adam mengerutkan keningnya "Kok, Elisa?" "Ya, dia kan mantan kamu, kamu sampai jadi penguntit loh." Adam menghela nafasnya "Aku gak membicarakan waktu dulu, tapi untuk sekarang dan selamanya hanya kamu." Nadhira tersenyum. Seharusnya begitu. Nadhira menyandarkan kepalanya di bahu Adam, sementara Adam memberikan kecupan di pucuk kepalanya. Tak peduli dengan masa lalu, biarlah semuanya berjalan ke depan, karena yang dia miliki adalah masa depan Adam. "Harusnya aku bilang ini sejak dua minggu lalu." Adam diam mendengarkan. "Tapi, meski rasanya gak se- istimewa sejak awal, aku tahu aku juga harus kasih tahu kamu, Mas." Adam mulai mendengarkan dengan serius dan mendorong pelan bahu Nadhira, menatap dengan penasaran "Apa?" "Awalnya aku mau kasih kejutan, tapi, justru aku yang terkejut dengan apa yang aku dengar." "Kejutan yang aku kira bisa buat kamu bahagia." Adam meremas bahu Nadhira dengan pelan, nampak sekali raut khawatir di wajahnya. "Sayang." Nadhira menghela nafasnya, "Aku gak bermaksud menyembunyikannya, aku hanya memerlukan waktu untuk mengobati hatiku dengan kenyataan itu." "Sayang maaf-" "Mas, aku hamil." akhirnya kata itu terucap. Nadhira melihat wajah Adam tertegun, pria itu sepertinya benar-benar terkejut, hingga dia bicara dengan tergagap. "Kamu, ka-mu ha.. mil?" Nadhira mengangguk. "Astaga, sayang." Adam menarik Nadhira ke pelukannya, lalu kembali melepasnya "Ini, beneran kan?" Adam menangkup pipi Nadhira. Nadhira kembali mengangguk "Kamu tahu Mas bahagia, bahagia sekali." Adam menciumi seluruh wajah Nadhira lalu kembali memeluknya. "Mas, aku sudah mengatakan semuanya, tak ada rahasia, aku harap kamu juga selalu begitu." Nadhira bisa merasakan tubuh Adam menjadi kaku "Aku juga mau gak ada kebohongan dari kamu." Adam mengeratkan pelukannya. "Aku janji, kamu adalah segalanya buat Aku, Nad. Yang aku mau kita selalu bahagia." Nadhira memejamkan matanya merasakan ketulusan Adam. *** Adam membuka matanya saat suasana terasa sudah hening, hanya hembusan nafas Nadhira yang terlelap, dan terdengar jelas di antara sunyinya malam. "Maaf, sayang." Adam mengusap lembut wajah cantik istrinya. Sungguh, bukan maksudnya membuat kebohongan, Adam hanya takut saat kebohongannya terbongkar, maka Nadhira akan meninggalkannya, hal yang paling Adam takuti adalah Nadhira meninggalkannya. "Mas, mohon maafin Mas, sayang. Mas janji ini kebohongan terakhir." Satu kebohongan besar yang dia sembunyikan sejak menikah dengan Nadhira, Adam harap rahasia itu akan terkubur bahkan hingga dia tutup usia. Tapi, Adam tak tahu, untuk menyembunyikan kebohongan besarnya, ada kebohongan- kebohongan kecil yang lambat laun menjadi kebohongan besar lainnya, yang akan membuat Nadhira membencinya. **** Di pagi hari Nadhira terbangun saat hari sudah sedikit terang, dia sampai terjengit saat melihat jam di dinding "Ya ampun, aku kesiangan," ucapnya dengan segera bangkit dan menggelung rambutnya, dia belum memasak untuk Adam. "Mas," panggilnya saat tak menemukan Adam di dalam kamar, pria itu bahkan tak ada di kamar mandi. Nadhira keluar kamar lalu turun ke lantai satu untuk menuju dapur. "Mas, aku kira kamu udah berangkat. Kok kamu gak bangunin aku, jadi kesiangan kan. Aku belum siapin sarapan." Nadhira mencecar Adam dimana pria itu duduk di kursi makan sambil mengaduk kopinya. Adam tersenyum mengulurkan tangannya ke arah Nadhira "Duduk sini." Nadhira menyambut dan duduk di sebelah Adam. "Aku udah siapin sarapan," ucapnya menunjuk meja makan. "Kamu yang buat?" Nadhira melihat sandwich isi sayuran dan telur urak- arik di atas meja. "Hum." Nadhira tersenyum lalu mengecup pipi Adam "Manis banget sih suamiku." Adam tersenyum dan mengecup tangan Nadhira di genggamannya. "Kamu nyenyak banget tidurnya, Mas jadi gak tega bangunin, ya udah Mas buat sarapan seadanya, yang Mas bisa, gak tahu enak apa enggak." "Jadi, Mas berusaha keras? pasti enak." Nadhira menggigit sandwichnya. Saat ini ponsel Adam di sebelahnya bergetar, hingga Adam melepas genggaman tangan Nadhira membuat Nadhira mengeryit, pria itu bangkit dan membawa ponselnya "Sebentar ya, Sayang, Mas angkat telepon dulu," ucapnya sebelum pergi. Nadhira memperhatikan kemana Adam pergi, dan pria itu nampak bicara, namun Nadhira tak bisa mendengar apa yang pria itu bicarakan karena jarak yang terlalu jauh, hingga beberapa saat kemudian Adam kembali. "Ada apa Pak Santos nelpon pagi- pagi, Mas?" tanya Nadhira, sekilas dia memang melihat nama Pak Santos di layar ponsel Adam tadi. "Gak papa, cuma masalah kerjaan, mas berangkat dulu ya, abisin sarapannya." "Loh kopinya belum diminum?" "Iya, Mas takut telat." Adam berjongkok di depan Nadhira lalu mengusap perut Nadhira "Baik- baik sama Mama ya, Papa berangkat dulu." "Iya, Papa." Nadhira menjawab Adam dengan suara kecil. Adam terkekeh lalu mengecup dahi Nadhira. "Ngomong- ngomong, kamu gak merasakan ngidam?" Nadhira mengerutkan keningnya "Hm, mungkin belum, cuma kadang tiba-tiba mual aja, tapi gak terlalu parah kok." Adam mengangguk "Ya, udah, kasih tahu aku kalau kamu ngerasain sesuatu yang mengganggu, ya!" Nadhira mengangguk "Malam ini Mas usahain pulang tepat waktu, biar bisa nemenin kalian." Adam masih mengusap permukaan perut Nadhira, lalu mengecupnya. "Gak perlu antar, abisin makannya." Nadhira tersenyum melihat kepergian Adam, hingga pria itu menghilang di balik pintu, barulah Nadhira melanjutkan makannya. Adam menepikan mobilnya saat ponselnya kembali berdering, dengan menghela nafasnya sedikit kesal, Adam menerima panggilan tersebut. "Apa perkataanku tadi gak kamu denger, El. Aku bilang jangan hubungi aku dulu." "Aku belum selesai ngomong, Dam. Kenapa kamu matiin?" Adam memejamkan matanya "Aku lagi dirumah, dan hubunganku dengan Nadhira baru membaik, aku gak mau dia salah paham dan marah lagi." "Dia gak akan terus salah paham kalau kamu ngomong yang sebenarnya, Dam. Kenapa gak ngomong yang sebenarnya sih, Dam." "Kamu gila?!" Adam meremas rambutnya frustasi "Akan jadi apa rumah tanggaku kalau Nadhira tahu." "Kamu egois, Dam. Kamu cuma memikirkan perasaan Nadhira dan diri kamu sendiri, kamu gak mikirin perasaan aku? bagaimana dengan kami, Dam?" "Kalau aku gak mikirin, aku gak akan bertanggung jawab sampai sekarang, El. Tapi apa? aku justru menempatkan rumah tanggaku di ujung tanduk, aku bahkan berbohong sama Nadhira kalau aku lembur kemarin demi nemenin kamu dan Livia." "Aku gak bermaksud, Dam. Tapi tolong berikan hak yang sama..." "Hak apa lagi sih El?" "Kamu bahkan gak dengerin aku sampai selesai, Dam. Dan asal kamu tahu aku juga gak mau di posisi ini, aku juga gak mau menyakiti Nadhira, bagaimana pun Nadhira anak sambungku, kamu pikir cuma rumah tangga kamu yang akan hancur kalau Nadira tahu, aku juga punya keluarga, Dam." Adam menghela nafasnya "Maaf, aku gak bermaksud marah." "Aku cuma minta satu hal, penuhi janji kamu, jangan hanya jadi pengecut!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN