Pernikahan mereka sudah dilangsungkan, dan seperti janji Bisma, tidak ada yang berubah pada hubungan, dan juga aktifitas mereka. Semua masih tetap sama seperti biasanya. Mala dengan kuliahnya, Bisma dengan pekerjaannya. Mereka hampir tidak pernah bertemu, meski tinggal dalam satu rumah yang sama.
Perubahan hanya terjadi pada kebiasaan Bisma, ia tidak lagi ke luar malam untuk bersenang-senang seperti biasanya. Ia mulai merubah gaya hidupnya, karena harapan besar akan segera mendapatkan buah hati yang sangat diinginkannya. Meski tidak memperlihatkan perhatian secara terang-terangan pada keadaan Mala, namun Bisma selalu memantau Mala lewat Bik Anin, asisten rumah tangganya. Bisma tahu, wanita hamil biasanya banyak yang diinginkannya. Dan ia juga tahu, kalau perasaan wanita hamil lebih sensitif dari biasanya. Karena itulah, sebisa mungkin ia tidak menunjukan diri di depan Mala, karena Bisma tahu, sejak malam itu, Mala membencinya.
Bisma berharap, tidak ada kendala apapun pada kesehatan Mala juga kesehatan kandungannya, sampai dimana nanti masa persalinan tiba.
***
Pagi ini, Bisma merasa ada yang berbeda pada perasaan, dan tubuhnya. Ia merasa sangat malas untuk membuka mata, apa lagi bangun dari berbaringnya. Bisma memijit keningnya, perutnya terasa mual dengan tiba-tiba. Ia mencoba mengingat apa yang sudah dimakannya semalam, sehingga menyebabkan kepalanya terasa pusing, dan perutnya terasa mual. Tapi Bisma tidak menemukan jawabannya.
Dengan gerakan malas, Bisma turun dari atas ranjang, ia menuju jendela kamar, dibuka tirainya perlahan. Matahari belum begitu terang, masih bersembunyi di balik bayang malam.
Bisma beranjak ke kamar mandi, tapi ia merasa malas untuk mandi, akhirnya ia hanya mencuci muka, dan menggosok giginya saja.
Bisma kembali ke dalam kamar, ia menekan bel untuk memanggil asisten rumah tangga, ia meminta agar sarapan, dan koran pagi di antar ke kamar seperti biasanya. Setelah itu Bisma duduk di sofa, dinyalakan televisi yang menempel di dinding kamar. Punggungnya bersandar ke sandaran sofa, jemarinya kembali memijit kening. Matanya dipejamkan, perutnya terasa sangat tidak nyaman, namun ia berusaha menahan rasa mualnya.
Suara ketukan di pintu membuatnya bangkit dari duduk. Bisma membuka pintu, dan membiarkan Bik Anin yang membawa sarapan, dan koran pagi masuk ke dalam kamar.
"Dia sudah bangun?"
"Belum, Tuan."
"Awasi terus dia, tanyakan apa yang diinginkan, atau dibutuhkannya."
"Baik, Tuan."
"Terimakasih, Bik."
"Sama-sama, Tuan, saya permisi."
"Ya."
Bisma menghirup teh hangat, dan ingin menyuap sarapan. Tapi belum lagi nasi goreng menyentuh bibir, rasa mualnya semakin menjadi-jadi saja. Bahkan ia hampir tak mampu menahan muntahan dari mulutnya. Untungnya ia sempat berlari ke kamar mandi, dan memuntahkan apa yang sudah ia makan semalam. Bisma menatap wajahnya di cermin. Gurat diujung matanya memperlihatkan bahwa usianya tak lagi muda. Meski jika dipandang sekilas orang akan mengira usianya baru 30, atau 35 tahun, namun kenyataannya usianya sudah 45 tahun. Usia yang sudah terlalu tua untuk memiliki anak balita. Harusnya, cuculah yang ia harapkan diusia tuanya. Cucu dari Bagas, dan Mala. Tapi, pada kenyataan, dirinya yang menghamili Mala. Mala memgandung, dan akan melahirkan anaknya.
***
Mala bersiap untuk ke kampus, ia turun dari lantai atas menuju ruang makan untuk sarapan. Mala sangat bersyukur, karena kehamilannya yang sudah memasuki bulan kedua, tidak menghambat aktifitasnya. Ia tidak merasakan ngidam seperti yang sering diceritakan orang-orang. Ia tidak merasakan pusing, atau mual, dan rasa malas berlebihan di pagi hari. Ia tidak terpengaruh oleh aroma apapun yang mampir ke penciumannya. Semua terasa biasa saja.
'Mungkin dia tahu aku tidak menginginkannya, sehingga dia tidak ingin menyusahkanku'
Mala tiba di dasar tangga, saat ia melihat Priska datang dari dapur dengan membawa nampan berisi mangkok di tangannya.
"Mala, apa kabar?" Sapa Priska yang merupakan asisten pribadi Bisma.
"Baik, Tante."
"Syukurlah, aku ke atas dulu ya. Boss lagi kurang enak badan katanya, dia minta dibawakan bubur ayam untuk sarapan. Sudah seperti orang ngidam saja."
"Ooh ...." Mala hanya ber ooh saja, ia terkejut mendengar apa yang dikatakan Priska tentang Bisma.
"Aku ke atas ya."
"Silahkan, Tante." Mala menganggukan kepala, dan berusaha mengukir senyum di bibir untuk Priska.
Priska meneruskan langkah menaiki tangga. Bisma memang tidak menceritakan perihal hubungannya dengan Mala. Karena sesuai permintaan Mala, hanya orang di rumahnya, dan orang yang ikut terlibat dalam pernikahan merekalah, yang boleh tahu soal status mereka.
Mala juga melanjutkan niatnya untuk sarapan di ruang makan, sebelum ia pergi kuliah. Tapi ucapan Priska tentang permintaan Bisma yang seperti orang mengidam, terus mengganggu pikirannya.
'Apa mungkin dia yang mengidam? Apa bisa begitu, aku yang hamil tidak merasakan apapun, tapi justru dia yang merasakannya. Hmmm, baguslah kalau begitu, anak ini aku pertahankan atas kemauannya, bukan karena keinginanku, mungkin karena itulah dia yang lebih pantas untuk merasakan betapa tidak nyamannya ngidam'
Mala berusaha untuk tidak perlu memikirkan masalah ngidam, yang sepertinya sedang di rasakan Bisma. Yang penting Bisma tidak mengingkari kesepakatan yang sudah mereka sepakati.
Sementara itu di kamar Bisma, Bisma yang sudah memaksakan diri untuk mandi, dan sudah terlihat berpakaian rapi tengah menyantap bubur ayam yang dibawakan Priska untuknya.
"Besok mau dibawakan lagi, Boss?" Tanya Priska menggoda, karena melihat Bisma memakan bubur sampai tandas tanpa sisa.
"Boleh juga." sahut Bisma.
"Tadi aku bertemu Mala di bawah, wajahnya terlihat sedikit pucat, apa dia baik-baik saja?" Tanya Priska. Bisma menganggukan kepala, kemarin dokter Emiliana sudah memeriksa Mala. Dan sudah memberikan vitamin untuknya.
"Aku sudah meminta dokter memeriksanya kemarin, dia tidak apa-apa"
"Dokter Amir?"
"Hmmm ...." Bisma hanya bergumam saja, tidak mengiyakan, tidak juga mengatakan bukan.
"Bersiaplah Boss, aku tunggu di bawah ya" Priska bangun dari duduknya, diambilnya mangkok bekas bubur, diletakan di atas nampan. Lalu dibawa ke luar dari kamar Bisma.
Bisma menghela napas, ia menatap punggung asisten pribadinya, yang sudah bekerja selama 15 tahun bersamanya. Priska bukan orang lain baginya, mereka masih terikat hubungan keluarga. Suami Priska meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan putra putri mereka yang masih balita. Karena itulah, saat Priska meminta pekerjaan pada Bisma, Bisma langsung menerima sebagai staff di kantor, lalu berlanjut menjadi asisten pribadinya.
Bisma segera bersiap, untuk pergi ke kantor. Badannya terasa cukup nyaman setelah menghabiskan semangkok bubur ayam. Yang tidak bisa dipahami Bisma, kenapa ia tiba-tiba menjadi seperti ini. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal aneh seperti yang dialaminya pagi ini.
BERSAMBUNG
No target.
update kembali setelah kontrak turun.