Membuka sikunya, Harry pun menoleh pada Ratu yang ada di belakangnya. "Kau mau bergandengan denganku?"
"Eh?"
"Ayo kita berkeliling perusahaan ini dengan bergandengan tangan."
"Pak ... ayo kita jalan se-per-ti bi-a-sa." Ratu menjawab dengan penuh penekanan pada kata 'seperti biasa'.
"Baiklah," jawab Harry tanpa embel-embel yang lainnya.
Ratu pun menekan tombol lift agar pintunya terbuka. Lalu mempersilakan Harry masuk terlebih dahulu. "Silakan, Pak." Ratu membuka telapak tangannya dan menunjuk ke dalam lift saat mempersilakan pada Harry.
"Terima kasih, Nona Ratu." Harry menjawab Ratu dengan nada yang sangat tenang.
Namun kalimat itu sangat mengganggu pendengaran Ratu. Mengapa bos muda itu selalu memanggilnya Nona. Jika orang lain mendengar bisa membuat salah paham.
Apalagi Harry hendak mengajaknya berkeliling-keliling perusahaan ini.
"Pak," panggil Ratu ketika mereka berdua sedang berada dalam lift.
"Iya, Nona?"
"Bisakah anda berhenti memanggil saya dengan sebutan Nona?" pinta Ratu perlahan dan hati-hati.
"Kau ingin kupanggil seperti apa? Mbak? Kakak?" sahut Harry tanpa menoleh.
"Panggil nama saya saja cukup, Pak."
"Kenapa kau tak mau kupanggil Nona?"
"Emm ... Itu ... Orang bisa salah paham bila mendengarnya, Pak."
"Hanya itu? Baiklah! Aku akan memanggil namamu saja bila di depan orang lain."
"Terima kasih sudah mengerti, Pak."
"Tapi aku akan memanggilmu sesukaku bila kita hanya berdua." Senyum jahil Harry terbentuk. Ia melirik melalui sudut matanya bagaimana ekspresi Ratu menahan kesal. Selalu tersenyum meski sedang marah.
Ting
Lift terbuka, mereka berdua pun keluar. Banyak orang berlalu lalang di lantai dasar. Mereka tersenyum dengan sedikit menunduk untuk memberi penghormatan.
"Pak Harry!"
Seorang wanita mengenakan blouse berwarna maroon menyapa Bos baru dari Ratu.
"Selamat pagi, Pak." Wanita itu berusaha menyalami Harry.
Menyambut uluran tangan tersebut, namun dengan sekejap Harry menariknya. "Selamat pagi juga. Emmm ...?" Harry memicingkan matanya pada Ratu, seakan menanyakan identitas dari kedua orang yang menyapanya.
"Ibu Laras, direktur personalia, Pak." Ratu menerangkan pada bos nya. "Dan yang di sebelahnya adalah, Sinta, sekretaris dari ibu Laras."
Harry pun mengangguk-angguk. "Oou. Kalau begitu ... selamat pagi, ibu Laras dan selamat pagi juga untuk Sinta." Harry tersenyum menyapa keduanya.
"Senang bertemu dengan anda, Pak!" Sinta mengulurkan tangannya.
"Ya, nice to meet you too!" jawab Harry santai tanpa membalas uluran tangan Sinta.
"Ratu! Ayo kita lanjutkan tour kita!"
"Baik, Pak!"
"Ratu ...!" Harry mengulurkan telapak tangan ke belakang melalui pundaknya.
Ratu mengerti, dia menyodorkan selembar tisu basah. "Ini, Pak!"
"Hand sanitizer dulu, Ratu!" protes Harry pada sekretarisnya itu.
"Ah iya! Maaf, Pak!"
"Dirinya sendiri, bila tersentuh orang lain merasa risih. Padahal sendirinya yang suka sembarangan menyentuh orang," gerutu Ratu yang tentu saja hanya dalam hati.
Ratu membuka tutup hand sanitizer dan menuangkan sedikit isinya untuk Harry.
"Ratu, kantin untuk karyawan ada di sebelah mana?" Harry tiba-tiba menanyakan kantin.
"Ada sesuatu yang ingin anda pesan dari kantin, Pak? Saya akan melakukan untuk anda."
"Waaah, kamu manis banget sih, Ratu!"
Ratu terdiam, ia lupa jika kepada Harry, ia tak perlu menunjukkan kepatuhan yang teramat sangat. Karena bos muda nya ini pasti akan salah paham dan akan selalu memelintir niat baik Ratu.
"Ada espresso double shot juga di kantin karyawan, Pak."
"Aku tidak suka espresso yang dijual di kantin itu."
Ratu terdiam, mencoba untuk tidak menanyakan alasan dari atasannya.
"Kopi yang digunakannya kebanyakan Arabika. Mungkin komposisinya dua puluh banding delapan puluh untuk Robusta dan Arabikanya. Aku tidak suka. Kalau hanya espresso, kau bisa buatkan untukku sendiri. Aku suka espresso buatanmu." Harry menjelaskan alasannya tanpa diminta oleh Ratu.
"Baik, Pak." Ratu tidak berkomentar, meski dalam hatinya merasa heran. Mengapa Harry bisa tau bagaimana rasa espresso di kantin karyawan?
"Ada menu lain yang bisa kau tawarkan padaku?"
Ratu terdiam, tidak ada yang istimewa di kantin karyawan untuk orang sekelas CEO. Bahkan seorang Sonya Fatmala, sepanjang perjalanan karir Ratu sebagai sekretarisnya, wanita direktur pemasaran itu tidak pernah makan ataupun sekedar memesan makanan di kantin karyawan.
"Menurut saya, tidak ada, Pak."
Harry mengerutkan dahinya.
"Maksudnya, tidak akan ada menu di kantin yang sesuai dengan selera anda, Pak."
"Kau merendahkan seleraku, Nona?"
Lagi-lagi Harry memanggilnya Nona. "Maaf, Pak." Merendahkan bagaimana yang dimaksud bos mudanya? Ratu mati-matian menahan umpatannya. Yang ada justru ia sedang meninggikan bosnya itu. "Saya akan pesankan kepiting asam manis dari restoran milik salah satu hotel bintang lima, Pak."
"Aku sudah bosan dengan kepiting!"
Bukan tanpa alasan Ratu menawarkan menu kepiting untuk Harry, itu karena hasil stalking Ratu pada profil bos mudanya itu. Yang dikatakan bahwa Harry menyukai kepiting asam manis.
"Baiklah kalau begitu. Apa ada menu lain yang anda inginkan?" tanya Ratu.
"Aku mau makan makanan dari kantin karyawan!" ujar Harry sekali lagi dengan lebih tegas. "Apa kau mengerti maksudku, Nona?"
Ratu mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Jus wortel, tomat dan seledri. Tanpa s**u, tanpa gula."
Ratu terkejut dengan apa yang dikatakan bosnya.
"Ayo, Nona Ratu! Nggak! Pake! Lama!"
*
Seringai Harry tercipta saat melihat Ratu sedang kebingungan. Pasalnya, Harry tau bahwa minuman yang ia pesan itu adalah kesukaan Ratu sendiri.
Sekarang ia telah kembali ke ruangannya. Menunggu Ratu kembali membawa pesanannya.
"Nona Ratu!" Harry tersenyum seorang diri sambil menyebut nama sekretarisnya. "Asal kau tau, aku sudah sepuluh langkah lebih depan darimu."
Pria itu tersenyum seorang diri sambil mengusap-usap dagunya yang mulus tanpa jenggot.
*
Sementara itu di kantin karyawan milik perusahaan Global Chem.
"Hai ,Bi, aku pesan jus wortel, tomat, seledri-!" teriak Ratu pada penjaga kantin yang terpotong.
"Tanpa s**u tanpa gula, kan? Saya sudah hapal kalau Bu Ratu yang pesan," ujar bibi kantin yang memotong perkataan Ratu.
Ratu tersenyum lebar memperlihatkan sederet giginya.
Saat itu kantin masih sepi karena belum jam istirahat.
"Kok tumben Bu Ratu yang ke sini sendiri? Nggak suruh mang ujang atau OB lainnya?" tanya bibi kantin sambil membuat pesanan Ratu.
"Ah, mereka sedang bekerja, Bi. Saya nggak enak nyuruhnya."
"Oh, iya. Ini kan belum jam istirahat. Bu Ratu tumben udah beli minum jus masih pagi?"
Ratu hanya tersenyum tidak berniat untuk menjawab.
"Masa' bu Sonya mau sama jus seledri?" gurau ibu kantin itu lagi.
Ratu terkekeh kecil, namun masih tak menjawab. Ia biarkan saja ibu kantin itu dengan segala prasangkanya. Sonya memang tak menyukai seledri baik itu untik makanan apalagi dibuat minuman.
Sepertinya mereka masih belum tahu, jika Ratu sekarang sudah tidak bekerja lagi pada Sonya, melainkan pada Harry, sang CEO pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
"Wah! Wah! Sudah jadi sekretaris CEO masih aja jajan di kantin! Memang ya? Kalau memang cikal bakalnya dari orang kampung, nggak akan berubah meski setinggi apapun dia terbang. Tetep aja kampungan?" Wanita yang beberapa menit lalu berpapasan dengan Ratu kini bertemu lagi. Namun kali ini, aura pertemuan mereka tidak sama seperti sebelumnya.
"Bu Sinta mau pesen jus juga?" tawar ibu kantin pada wanita itu.
Sementara Ratu adalah Ratu, yang tidak akan mudah terpancing pada omongan murahan dari seseorang yang selalu iri padanya. Dia hanya akan tersenyum, tak berniat membalas.
"Ih, saya nggak level beli makanan di sini!" jawab Sinta sinis.
Sang ibu kantin tak menggubris jawaban sinis dari Sinta, karena ia sudah tau akan seperti apa respon dari Sinta padanya. Ia hanya tersenyum sambil memonyongkan bibirnya seakan mengejek pada sekretaris direktur personalia tersebut.
"Heh, Ratu! Kamu tuh, nggak tahu diri ya! Udah delapan tahun kerja sama bu Sonya, eh pasa ada CEO baru main embat aja!" Perempuan itu melipat tangan dan memasang wajah angkuh di depan Ratu. "Seandainya bu Sonya nggak kenal dekat sama kamu! Kamu tuh nggak akan pernah jadi sekretaris direktur tau! Dasar sekretaris pengkhianat!"
Sinta berjalan meninggalkan kantin. Ia sengaja menubrukkan bahunya pada bahu Ratu.
Namun yang terjadi adalah ...
Grep
Ratu menangkap bahu Sinta yang hendak menabraknya. "Selain mulut yang tidak bisa berfungsi dengan baik, ternyata matamu juga bermasalah ya?"
Bruk!
"Aaaw!" jerit Sinta karena hampir tersungkur. Dia berusaha menstabilkan kembali posisi berdirinya. "Awas kamu Ratu! Sampai mati aku dendam sama kamu!"
Ratu membuang mukanya, lalu .... "Inhale ... exhale ...."
*
Bersambung~