Part 8. Pembantu Rasa Majikan

1118 Kata
Bab 8. Pembantu Rasa Majikan Poto Bik Sumi dengan Yona terpampang di layar ponselku. Dengan caption berbahasa Inggris yang artinya, "Dia adalah nyonya terbaik. Nyonyaku yang sebenarnya. Terima kasih banyak Bu, untuk kiriman hadiahnya hari ini. Kangen." Aku mendongak, mencoba menetralisir hati, Yona mulai mendekati Bik Sumi dengan cara sampah murahan. Apa rencananya? *** Setelah bersiap-siap dengan pakaian yang rapi, aku kembali keluar kamar. Sebelum berangkat, kusempatkan masuk ke ruang keluarga lebih dulu, untuk memastikan anak-anak baik-baik semuanya. Di sana, Hamish dan Haura sedang bersantai. Tidak ada Mas Gibran. Suaranya kudengar sedang menemani anak-anak mainan di teras depan. Pandanganku membentur sesuatu di atas meja. Dua bungkusan yang mirip dengan kepunyaan Bi Sumi ada di sana. Keduanya hanya dibedakan oleh warna tas saja. Yang satu berwarna biru dongker yang satunya lagi warna gold. Aku mendekati mereka. Duduk di salah satu sisi sofa. Dadaku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. "Apa itu?" Tanyaku penasaran, menunjuk benda yang masih bersegel di atas meja. Haura dan Hamish menoleh kepadaku. "Tau tuh, Tante Yona ngirimin hadiah." Sahut Hamish. Keningku berkerut. Hadiah dari Yona? Dalam rangka apa dan mengapa? "Alhamdulillah rejeki." Sahutku, yang langsung kususul dengan pertanyaan "Tante Yona sering ngasih hadiah kalian ya?" "Apaan? Seumur-umur baru sekarang kok ngasih hadiah. Makanya belum kami buka." Haura menyahut dengan nada tidak enak. "Takut bom dia." Hamish tergelak. Aku tersenyum. "Males aja sih, selama ini dia gak pernah peduli kok, tiba-tiba ngirim hadiah." Haura kembali bersuara, "pasti ada apa-apanya." Ah, anak-anak cerdas. Aku mendesah. Jika kalian tahu, itu adalah umpan buat manarik ayah kalian kembali, ah… Yona, Yona. Aku menggeleng. Sepertinya, tinggal berjauhan juga tidak menjamin akan bebas dari mahluk satu itu. Tuhan, berikan dia jodoh, agar berhenti mengganggu rumah tangga kami. "Siapa yang nganter ke sini?" Tanyaku lagi penasaran. "Nggak tahu, Bund. Itu tadi Bi Sumi yang ngasihkan." Sahut Haura lagi. "Oh." Kami terdiam beberapa menit. "Bunda mau ke pasar, ada yang mau ikut?" Tanyaku. "Nggak Bund." Sahut mereka hampir bersamaan. "Hamish beliin ketoprak aja ya, Bund." Pesan Hamish. "Kalau ada ya." "Siaap," sahutnya, "makasih ya Bund." Aku bangkit dari dudukku. Menunggu Bi Sumi di teras depan. Sepuluh menit berlalu, hingga tiga puluh menit, belum ada tanda-tanda Bi Sumi datang. Padahal Mas Gibran juga sudah siap berangkat. "Ini orang ngapain sih di dalam, gak keluar-keluar mau diajak ke pasar." Gumamku, sambil menoleh ke dalam. "Udah dibilangin?" Tanya Mas Gibran. "Udah." Tidak tahan dengan lambatnya Bi Sumi, aku pun berniat kembali masuk ke dapur untuk mencarinya. Kurang beberapa langkah aku sampai di pintu dapur, aku mendengar suara Bi Sumi sedang berbicara. "Iya, Bu. Saya juga gak mau diatur-atur sama dia. Emang siapa dia? Boss saya Pak Gibran dan Ibu, bukan dia. Baru masuk rumah ini tapi udah sok berkuasa." Deg! Siapa yang dimaksud Bi Sumi? Sedang bicara dengan siapa dia? Yona? "Iya, jadi dia nikah sama Pak Gibran itu sudah bawa anak, jadi si Rizki itu bukan anak Pak Gibran." Sampai sini, aku mengerti, Bi Sumi sedang membicarakan diriku. Aku tidak jadi masuk ke dapur. Kembali ke teras. Mas Gibran heran melihatku datang lagi sendirian, dan mungkin di wajahku terlihat perubahan yang tidak enak dilihat. Dia memicingkan matanya menatapku. "Ada apa?" Tanyanya. Aku menatapnya. Rasanya kalau tidak ingat pesanan ketoprak Hamish aku memilih kembali ke kamarku dan menenangkan diri di sana. Aku menggeleng. "Gak papa, hayuk antar ke pasar." Sahutku akhirnya. Siapa tahu melihat hijau-hijau di pasar tradisional bisa membuat hati terasa kembali tenang. Mas Gibran berdiri, masuk sebentar untuk mengambil kunci mobil, lalu meneriaki anak-anak, "kalian mau ikut ke pasar atau mainan di rumah?" "Ikuuut." Ketiga anak kami berhamburan masuk mobil. "Rizki mau di depan." Kata anak tujuh tahun itu. "Iya sana." *** "Ibu gimana sih? Ngajak ke pasar, saya terlanjur bersiap-siap kok malah ditinggal?" Protes Bi Sumi ketika kami sudah kembali di rumah. Aku tidak menanggapinya. Yang kulakukan justru langsung berlalu dari dapur. Dalam hati aku juga ingin mengumpat, dasar gak tahu diri! Aku langsung masuk ke ruang baca, ruangan di mana Mas Gibran berada. Sedangkan anak-anak sedang berkumpul menikmati oleh-oleh pesanan masing-masing di depan. "Kamu belum cerita, Dik." Kata Mas Gibran. "Mas gak masalah kalau mendengarnya?" "Kok gitu? Mas kan selalu sedia mendengarmu, Dik." Sahutnya sambil usil. Tanpa diminta lagi, aku langsung menceritakan semua yang sedang terjadi. Dari hadiah yang diterima mereka bertiga, status w******p Bi Sumi, obrolan via telepon Bi Sumi yang sepertinya bicara dengan Yona, sampai saat aku masuk dapur barusan. "Aku harus gimana, Mas?" Tanyaku di ujung ceritaku. Mas Gibran mendesah pendek. "Dengar," ucapnya seraya memegang pundakku lembut, "kamu adalah nyonya di rumah ini. Kamu adalah ratunya. Semua yang ada di rumah ini Mas serahkan urusannya kepadamu. Kamu yang menata. Jadi semua keputusan ada di tanganmu. Kalau kamu tidak nyaman dengan Bi Sumi, kamu juga boleh memutus kerja dengannya. Asal, alasannya jelas." Panjang lebar Mas Gibran memberi pengarahan. "Yang barusan kuceritakan, apakah sudah memenuhi syarat?" Tanyaku. Mas Gibran mengangguk. "Satu, dia tidak mengakui kamu sebagai majikannya, padahal jelas kamu istriku." Mas Gibran melanjutkan. "Kedua, dia menyebarkan informasi yang ada di dalam rumah ini ke luar, itu kesalahan fatal." lanjutnya. Aku menatap kedua mata Mas Gibran. "Ketiga, Mas lihat, dia tidak amanah dengan semua uang belanja selama ini." lanjut Mas Gibran lagi. Kutatap wajahnya lebih dalam lagi, mencari ketulusan dari setiap ucapannya. Benarkah pria ini mendukungku? Aku melihat ketulusan di sana. Ah, maafkan aku Mas, semua kejadian dengan Yona membuatku mulai meragukan cintamu kepadaku. "Kita belum ada bukti,” sahutku. "Kuserahkan kepadamu untuk mencari buktinya,” sahutnya. Aku terdiam. Ah, sekarang yang mengelola uang belanja aku, semoga tidak akan ada lagi drama uang habis sebelum waktunya. "Tidak semudah itu untuk memecat, Bi Sumi." Tiba-tiba sebuah suara muncul tidak jauh dari kami. "Hamish?" Kutelusuri tatapannya. Sejak kapan ia mendengarkan obrolan kami? Dan kemana pemuda ini akan berpihak? "Maaf, Hamish tidak berniat menguping tadi." Ia menjelaskan, "hanya kebetulan mau ambil buku dan melihat kalian di sini." "Tak apa, Hamish." Sahutku. Pemuda dua puluh tahun itu berjalan ke rak buku. "Dia sudah banyak berjasa dalam hidup kita, terutama hidup Hamish dan Haura." Lanjut anak itu. "Yah belum sepuluh tahun sih, karena atas ijin Ayah, Nenek sempat menghentikannya setelah Ibu meninggal dunia dulu." Yang dimaksud Ibu adalah Raihannah. Lalu Hamish melanjutkan, "dan baru mulai bekerja lagi dua bulan sebelum Bunda masuk ke rumah ini enam tahun lalu, pas Nenek sakit itu." Aku menatap wajah Mas Gibran. Dia tidak pernah menceritakan itu kepadaku. Mas Gibran hanya mengedikkan bahu. "Artinya, dia bekerja di sini sekitar tujuh tahunan?" Hamish berjalan ke arah pintu keluar. Di tangannya sudah ada buku yang dia butuhkan. Namun sampai ambang pintu dia kembali berhenti. Dan menatapku dengan tajam, "pikirkan lagi kalau mau memecat dia." Dalam pendengaranku, suaranya itu terdengar sinis, dan seperti ancaman. Aku terduduk lemas di sofa. Apakah Hamish juga akan menjadi musuhku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN