Part 1. Mancing Emosi
BAB 1. Mancing Emosi
"Mas kenapa sih, harus ke rumah Yona mulu? Aku gak suka ya, kalau Mas terus-menerus datang ke rumah mantan istri Mas itu!"
"Mau gimana lagi Dik, namanya juga urusan anak."
Mas Gibran suamiku, orangnya memang tidak enakan, sehingga setiap kali mantan istrinya menyuruh dia datang ke rumahnya, selalu tidak bisa menolak. Hingga suatu hari, aku menemukan pesan di whatsappnya.
"Ayah, Mama nyuruh Ayah ke sini. Seperti biasa, sendirian, tidak boleh ngajak siapa-siapa."
Emosi aku dibuatnya. Bagaimana tidak? Mantan istri suamiku itu sungguh tidak punya malu, setiap hari ada saja cara dia membuat agar suamiku datang ke rumahnya. Bahkan terkadang suka membuat Mas Gibran seperti lupa jalan pulang ketika pergi sholat maghrib atau isya di masjid dekat rumah. Masjid yang jarak tempuhnya hanya sekitar seratus meter itu, yang biasanya hanya memakan waktu tidak lebih dari lima menit untuk ditempuh dengan jalan kaki, bagi Mas Gibran terkadang bisa menjadi selama satu jam! Bayangkan coba, siapa yang tidak kesal?
Tahu apa alasannya?
"Tadi dicegat Novita, Yona nyuruh Mas ke sana sebentar." Begitu Mas Gibran menjelaskan acapkali kutanyai keterlambatannya pulang dari masjid.
Sejak mengetahui ayahnya kembali ke Surabaya, hampir setiap hari Novita, anak suamiku dari pernikahan pertamanya itu, datang ke rumah kami. Tepatnya rumah ibu mertuaku. Anak 15 tahun itu selalu berbisik ke telinga Mas Gibran, menyampaikan pesan ibunya, "Mama menyuruh ayah datang ke rumah."
Pada akhirnya tetap saja aku tahu, karena Mas Gibran selalu cerita kepadaku meskipun anaknya itu sudah berbisik-bisik di telinganya. Lagian pasti ketahuan, karena setelah itu Mas Gibran langsung merapikan diri untuk pergi bersama anaknya itu ke rumah mantan istrinya.
Pernah satu kali Mas Gibran meminta pendapatku soal penampilannya "Mas pake begini pantes gak, Dik?"
"Pantes kelihatan keren." Sahutku. Aku tidak tahu kalau malam itu dia akan bertemu mantan istrinya. Kukira hanya mengantar Novita les saja. Setelah pulang Mas Gibran cerita tentang pembicaraannya dengan Yona, saat itu aku tidak marah, namun itu menjadi senjata buatku memojokkannya setiap kali aku kesal.
"Oh, jadi berdandan minta pendapatku hanya untuk nemuin mantan?" Cibirku. Yang lagi-lagi hanya disambut tawa oleh Mas Gibran.
"Nggak gitu juga sih, tujuannya kan nganter Novita. Tapi Yona memintaku mampir sebentar." Kata Mas Gibran. Aku menahan diri meskipun dalam hati mengumpat, "dasar ganjen!
Yona, mantan istri suamiku itu, selalu berusaha mengajak bertemu mantan suaminya ini, dengan memanfaatkan Novita, anak mereka. Seperti malam ini, lagi-lagi dia pulang setelah satu jam kegiatan di masjid usai.
"Ngapain lagi dia?" tanyaku pada Mas Gibran yang langsung cerita sepulang mampir dari rumah Yona, yang menyebabkannya pulang terlambat dari biasanya.
"Membahas sekolah Novita." sahut Mas Gibran.
"Kenapa dengan sekolahnya?" Aku penasaran.
"Ya seputar rencana nanti kalau dia masuk SMA mau minta sekolah di mana?" sahutnya datar.
"Udah gitu aja?" Aku takjub dengan sikapnya. Benar-benar polos.
"Apaan sih, Dik?" Tanyanya. Mungkin dia mulai merasa tidak enak, terintimidasi.
"Mas tidak merasa ada yang salah gitu? Tidak merasa janggal gitu?" kejarku.
"Apanya yang salah?"
"Mas, Novita baru naik kelas dua SMP dua hari yang lalu kan? Masih menunggu dua tahun lagi untuk masuk SMA?"
"Iya, buat persiapan aja." sahutnya masih saja polos. Ck, aku menggeleng.
"Terlalu dini lah itu. Kirain enam bulan lagi lulus SMP, waktunya bicarain mau SMA di mana. Masih dua tahun udah ngajak ngebahas. Alasan aja itu mah!" kesal aku merepet.
"Apaan sih, Dik? Gitu amat kamu." Mas Gibran seperti tidak terima dengan omelanku.
"Ya iyalah," aku kesal, "alasan aja itu mah ngebahas sekolah Novita. Aslinya dia yang pengen ketemu sama Mas. Kangen sama Mas!"
"Hahaha, kamu cemburu ya?" Mas Gibran menggodaku.
"Gak!" bantahku. "Yonanya aja yang gak tahu diri!"
"Ah ngaku aja. Kamu cemburu." Mas Gibran memainkan matanya sambil senyum-senyum menggodaku,
“Lihatlah Nak, ibumu cemburu." Lanjutnya sambil berjongkok di depan Nadira anak kami.
"Ish…" cibirku makin kesal.
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali Yona seperti ingin menggoda suamiku. Apa yang dia lakukan saat ini, hanya mengingatkanku sewaktu kami masih di Jakarta dulu. Saat itu Yona mengirimi suamiku pesan di tengah malam. Di atas jam 12 malam, sekadar bertanya, "Mas apa kabar?"
Awalnya Mas Gibran tidak menanggapinya. Namun malam berikutnya dia kembali mengirimi pesan, "apakah mas bisa pulang ke Surabaya jika sewaktu-waktu saya minta bantuan tanda tangan? Aku mau membeli tanah di daerah kota, mau minta bantuan Mas untuk tanda tangan."
Hah? Mau beli tanah, ngapain ngubungin mantan suaminya untuk tanda tangan? Setelah berpisah selama 11 tahun? Jelas aku curiga! Untung suamiku type setia dan jujur. Juta tulus mencintaiku sepenuhnya, sehingga dia menceritakan pesan tersebut kepadaku sebelum membalasnya.
"Mas jawab aja, gak bisa. Ada-ada aja. Dia dia sendiri yang mau beli tanah, ngapain Mas yang suruh tanda tangan? Aneh!" Gerutuku saat itu.
Kemudian Mas Gibran menjawab pesan tersebut, dengan jawaban yang sangat memuaskan bagiku. "Maaf Mbak, saya tidak bisa".
Bagiku, menyebut wanita itu dengan panggilan "Mbak" itu sudah membuktikan bahwa Mas Gibran sudah tidak berminat kepadanya. Sudah menganggap Yona sebagai orang lain. Lagi pula, Mas Gibran juga masih terikat kerja sama membangun bisnis dengan temannya. Mana bisa mau seenaknya pulang kampung? Biarpun itu bisnis sendiri, kedua belah pihak tetap wajib dan sepakat untuk mengikuti dan mematuhi SOP perusahaan yang mereka rancang dan sepakati bersama. Jadi tidak bisa semaunya.
Padahal Yona masih memiliki kerabat lain, kenapa coba memilih mantan suami yang sudah lama berpisah dan tidak ada komunikasi untuk tanda tangan pembelian tanahnya? Aku menilai itu hanya akal-akalan saja, padahal dia aslinya hanya ingin memulai komunikasi lagi dengan suamiku. Huh, dasar!
Tidak lama kemudian, perusahaan yang dibangun Mas Gibran dan temannya mengalami kebangkrutan. Saat itu kondisi memang sedang pailit di mana-mana, banyak perusahaan yang dijual dan gulung tikar, termasuk bisnis Mas Gibran. Mau tidak mau, kami kembali ke Surabaya, dan memulai bisnis baru, sekaligus ikut mengelola bisnis keluarga yang selama ini sudah berjalan dan besar. Akhirnya kami memutuskan menetap di kota Pahlawan tersebut, dan terpaksa tinggal menumpang di rumah mertuaku sementara waktu, yang jarak rumahnya lumayan dekat dengan rumah mantan istri suamiku itu.
Kami menumpang bukan karena tidak memiliki rumah. Suamiku memiliki rumah bertingkat di daerah Gresik yang saat ini di huni oleh tiga anak asuh kami. Sementara dari Jakarta, aku juga membawa satu anak asuh lagi, dan dua anak kandung kami, jadi total anak yang akan tinggal bersama kami adalah enam. Untuk itu kami perlu memperluas rumah agar layak dihuni oleh anak-anak, pengasuh, dan pembantu kami.
Hari ini adalah bulan kedua kami berada di Surabaya. Aku masih harus terus menahan diri menghadapi Yona, karena kami masih tinggal di rumah mertuaku. Renovasi rumah kami belum selesai.
Seperti pagi ini, saat aku membeli seikat kacang panjang, dan sekilo telur, kulihat Yona datang dan memilih-milih daging sapi.
"Ini tuh buat makan Novita. Dia mah gak suka kalau makan gak pakai daging!" Serunya. Aku cuek, toh dia tidak bicara kepadaku. "Kasihan dia, kalau main ke tempat ayahnya cuma dikasih makan pakai sayur kacang dan dadar telur. Murahan dan membosankan."
Aku pura-pura tidak mendengar ucapan Yona. Sekali lagi, dia bukan bicara kepadaku, jadi aku merasa tidak ada kepentingan untuk menyahut. Aku justru berbicara kepada ibu pemilik warung.
"Saya sudah, Bu. Berapa total belanjaan saya?"
"Telur dua puluh empat ribu, dan kacang panjang tiga ribu." Sahut ibu pemilik warung. Kukeluarkan uang lima puluh ribuan. Begitu menerima kembalian aku langsung pamit pulang.
"Dasar gak ada akhlak!" Baru beberapa langkah aku berjalan, ada suara sumbang yang sedikit ditekan. Suara Yona. Dadaku bergemuruh, yakin kalimat itu ditujukan kepadaku. Kakiku terasa berat, hatiku berkecamuk antara ingin berhenti dan berbalik badan kepadanya, lalu mencabik-cabik mulutnya, juga sisi damai hatiku yang menyuruh untuk mengabaikan dan melanjutkan langkah pulang. Hatiku bimbang, gaplok mulut dia dulu atau tidak?