Ketemu lagi

1878 Kata
Mayang tidak mengira kalau putra Lily adalah lelaki yang sangat menarik hingga beberapa wanita harus memandanginya secara terus menerus ketika dia berjalan menuju tempat mereka duduk. “Mayang, kenalkan dia adalah putraku namanya Andrey, kebetulan dia mempunyai travel wisata yang sudah memiliki cukup nama,” kata Lily memperkenalkan mereka. Tatapan pria bernama Andrey sangat tajam seperti mencurigai sikap Mayang hingga dia balas menatapnya dengan berani. Mayang dan Andrey saling berpandangan membuat Lily tersenyum meskipun dia tidak tahu sebenarnya apa yang mereka rasakan berdua. “Terima kasih Mayang kau sudah menemaniku dan sampaikan salamku untuk Pak Allen,” kata Lily sebelum memasuki mobilnya. “Sama-sama Bu. Akan saya sampaikan salamnya.” Setelah Lily pergi, Mayang kembali ke dalam lobby sambil mengeluarkan ponselnya untuk memanggil Ali karena sopirnya itu kembali pergi begitu tahu Mayang menemani Lily kembali di dalam mall. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi sopirnya tetapi Ali belum juga menjawab sampai ada panggilan masuk ke ponselnya. Erwin. "Halo Mayang, kau ada dimana?” “Aku sedang di mall. Ada apa?” tanya Mayang dengan kening berkerut. Mendapat telepon dari seorang Erwin Hadinata adalah sebuah kejutan yang tidak pernah dia bayangkan. Tidak mungkin, kan, seorang Erwin memerlukan pertemuan kedua setelah kemarin mereka bertemu tanpa sengaja. “Mall mana? Bisa ketemu ga.” Erwin mau ngajak ketemuan? Yakin kalau dia benar-benar mau ketemuan? Apa dia sedang bermimpi? Tidak Mayang tidak bermimpi dan dia memang benar sudah mendengar tawaran dari Erwin. Tapi apa perlunya mereka bertemu? “Mayang…kamu masih dengar suara aku, kan?” “Iya aku masih dengar kok. Mendadak sekali, ada apa sih?” “Nanti aku cerita. Gimana, bisa ketemuan kan?” “Kau tau dari caramu membuatku sangat penasaran. Ya sudah, kalau mau ketemu kamu datang ke sini saja. Aku tunggu tapi gak pake lama,” kata Mayang setelah diam sebentar. Setelah menyebutkan nama mall tempat dia berada, Mayang masih memikirkan kenapa Erwin meneleponnya sementara dia bukan siapa-siapanya. Teman? Mayang yakin masih banyak teman wanita yang dimiliki oleh Erwin apabila dia bermaksud mencari teman untuk ngopi karena Mayang sendiri sangat yakin kalau dirinya bukan teman ngobrol yang cukup menyenangkan. “Oke, aku akan segera ke sana nanti aku akan telepon balik kalau sudah sampe,” sahut Erwin mengembalikan pikiran Mayang yang sempat traveling. Di tempat yang berbeda, Erwin segera memasukkan ponselnya ke saku jas-nya dan bicara pada seorang lelaki yang duduk di sampingnya. “Jerry, aku tinggal dulu, ya. Ada pertemuan maha penting yang harus aku selesaikan,” katanya. Tidak perlu menunggu jawaban dari Jerry atau beberapa orang yang bersamanya karena Erwin langsung pergi, tidak peduli kalau sikapnya tersebut membuat seorang wanita tersinggung dan tidak menyukainya. “Erwin, kapan kita ketemuan lagi?” tanya Kakay yang tidak rela Erwin pergi begitu saja. “Aku belum tahu, kalian atur jadwal saja siapa tahu aku bisa datang,” jawab Erwin yang melanjutkan langkahnya kembali. Erwin adalah lelaki yang selalu menepati janji, tentu saja selama dia memiliki waktu tersebut, tetapi kalau tidak…Erwin pasti akan mengatakannya jauh-jauh hari. Sikap seperti itulah yang membuat Erwin selalu dianggap sebagai teman yang baik dan tidak jarang membuat dia sering dimanfaatkan. Di tempat yang berbeda, Mayang belum juga selesai memikirkan tujuan Erwin yang mendesak untuk bertemu. Tidak mungkin lelaki yang memiliki kesibukan luar biasa bisa mengajaknya bertemu tanpa ada rencana sebelumnya. Mayang lalu memutuskan untuk menghubungi Ali kembali, kali ini dia akan mengatakan bahwa dia tidak pulang bersama dengan sopirnya. Untunglah ketika Mayang menelepon Ali, sopirnya langsung menjawab pada panggilan pertama, tidak seperti sebelumnya. “Halo Li. Aku ada janji dengan teman lebih dulu. Jadi kau bisa pulang sekarang,” beritahu Mayang pada sopirnya. “Ibu ga mau di tunggu lalu bagaimana nanti ibu pulangnya?” “Aku bisa naik taxi nanti,” jawab Mayang memastikan dirinya bisa mendapatkan kendaraan dengan mudah. “Baiklah. Kalau begitu saya langsung pulang ya Bu. Tapi kalau nanti ibu perlu bantuan, ibu bisa hubungi saya.” “Iya. Aku pasti telepon kamu kalau ada masalah atau gak ada taxi yang bisa aku sewa. Pokoknya doa-in aja gak ada gangguan yang bikin kamu keluar lagi,” jawab Mayang tertawa. “Atau mobil saya tinggal di sini saja gimana?” kata Ali menawarkan. “Ga perlu. Kamu bawa saja pulang mobilnya.” Berpikir kalau Erwin memerlukan waktu untuk tiba di tempatnya berada, Mayang memutuskan untuk berkeliling pertokoan, berharap ada yang bisa dia beli sesuai dengan kebutuhannya. Pada saat yang bersamaan, setelah Erwin pergi, Jerry yang menjadi teman sekaligus asistennya Erwin di kantor menjadi sasaran pertanyaan 2 orang wanita yang sebelumnya bersama mereka menikmati cooffe. “Sebenarnya Erwin mau kemana sih Jer, sepertinya penting sekali,” kata Kakay yang sejak tadi sibuk mencari perhatian pada Erwin. “Aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu apa saja yang dia lakukan. Bukan hakku untuk mengetahui semua urusannya,” jawab Jerry sembari memanggil pelayan café. “Tapi kamu, kan, asistennya, masa ga tahu sih,” kata Kakay mendesak. “Aku boleh tanya gak, kalau kau pergi kemana-kemana, apa pelayan kau tahu?” “Pelayanku? Buat apa dia tahu urusan majikannya,” jawab Kakay ketus. “Lalu apa bedanya aku. Erwin adalah majikan aku jadi terserah dia mau kemana,” jawab Jerry tenang. Mendengar jawaban Jerry yang tidak terduga membuat Kakay kesal. Dia sudah bersusah payah untuk bisa tampil yang terbaik di depan lelaki yang ketampanan dan kegagahannya sudah sangat dikenal oleh kaum hawa, tetapi…Erwin justru pergi begitu saja, tidak peduli kalau dia sudah bekerja keras menarik perhatiannya. Di mall. Mayang sudah membeli beberapa barang dan ia melihat ponselnya untuk memastikan kalau tidak ada telepon atau pesan yang masuk sebagai tanda Erwin sudah tiba sehingga ia memutuskan untuk memasuki gerai khusus cosmetic. "Silahkan masuk Kaka, Kaka bisa lihat-lihat terlebih dulu,” sapa karyawan gerai tersebut. Tanpa diminta, karyawan tersebut memberikan penjelasan pada Mayang tentang kelebihan produk yang dijual di gerai mereka. Semuanya mengenai kelebihan yang dimiliki sama sekali tidak menyebutkan kekurangannya hingga Mayang hanya bisa tersenyum kecil. “Lalu apa kekurangan dari setiap produk yang ada di sini?” tanya Mayang begitu karyawan toko berhenti menjelaskan. Tidak siap mendengar pertanyaan tersebut, membuat karyawan toko tergagap. Dia tidak mempersiapkan untuk mencari tahu apa kekurangan dari produk yang mereka jual. “Saya yakin tidak ada kekurangan pada setiap produk yang kami jual di sini. Kami hanya menjual barang-barang terbaik jadi tidak mungkin ada kekurangannya.” Mayang hanya mengangguk hingga dia sendiri tidak yakin dengan penjelasan dari karyawan toko hingga matanya tertuju pada beberapa produk. “Terima kasih ya Kak. Lalu bagaimana dengan produk ini? Terus terag saya belum pernah memakai priduk seperti itu,” kata Mayang Wajah karyawan yang sebelumnya tidak bersemangat karena Mayang tidak tertarik mendengar penjelasannya tiba-tiba kembali berseri apalagi Mayang menunjukkan minatnya pada produk cosmetic paripurna. Terbayang sudah berapa besar komisi yang akan dia terima bila Mayang membelinya. Namun, Mayang masih berpikir apakah ia harus membelinya atau tidak, karena ia tidak terlalu membutuhkan perlengkapan perang yang lengkap untuk membuatnya terlihat berbeda. “Berikan kakak ini paket perawatan wajah dan tubuh dari produk terbaik!" perintah seorang lelaki dari arah belakang Mayang. Tidak percaya dengan pendengarannya, Mayang segera berbalik dan melihat Erwin berdiri di belakangnya dengan tawa tertahan di mulutnya. “Eh, sejak kapan kamu ada di sini, padahal aku sejak tadi sudah periksa ponselku,” katanya setelah terkejutnya hilang. “Aku tadi mau telepon kamu, lalu aku melihatmu masuk ke gerai ini. Jadi kenapa aku harus telepon kalau aku sudah bisa melihatmu,” katanya. Tengah mereka bertegur sapa, karyawan toko kembali bertanya pada Erwin untuk memastikan barang yang akan dibeli oleh Erwin. “Permisi Kak, untuk paket yang tadi dipesan adalah untuk tubuh dan wajah. Apa ada pesanan lain?” “Kau mau pesan apa lagi?” tanya Erwin pada Mayang. “Tidak ada.” “Cukup yang tadi saja,” kata Erwin pada karyawan toko. Setelah yakin tidak ada lagi yang dipesan, Erwin segera menuju kasir untuk membayar pesanannya. “Ini.” Erwin menyerahkan tas belanja yang baru dia dapat dari kasir pada Mayang yang menatapnya tidak tertarik. “Kenapa dikasih ke aku? Kan kamu yang beli. Terus terang aku tidak begitu tertarik,” jawab Mayang menolak pemberian Erwin. “Loh, memangnya kamu tidak dengar yang aku katakan pada penjual tadi? Aku tahu kamu wanita yang cantik, tetapi setiap wanita juga wajib untuk mempercantik diri dan merawat tubuhnya,” jawab Erwin membuat Mayang tertawa. “Maksudmu, aku tidak pandai merawat diri?” “Kamu pandai, tetapi akan lebih baik lagi kalau kamu juga pandai menyenangkan orang,” jawab Erwin dengan mengerling. “Menyenangkan orang, buat apa. Ga ada urusan.” “Menyenangkan orang juga kan ibadah May. Masa kamu tidak mau sih. Contoh paling mudah adalah bagaimana kalau kamu menerima pemberianku ini. Mau ya,” kata Erwin membujuk membuat Mayang tertawa. “Apaan sih. Lagian kamu langsung beli saja, eh tapi tunggu dulu…bukankah yang kamu pegang itu produk perusahaanmu sendiri? Jadi kenapa kau harus membelinya?” “Aku tadi kan sudah bilang menyenangkan orang juga itu ibadah. Bisa jadi karyawan tadi belum mendapatkan komisi penjualan. Jadi kau mau ya.” “Baiklah, tapi aku akan membayarnya,” jawab Mayang tertawa. “Berarti aku ga jadi ibadah dong.” “Tahu ah, pikir aja sendiri.” Tidak pernah Erwin melihat Mayang tertawa lepas dan berbicara dengan suaranya yang ketus tapi manja. Gila…dia sepertinya sudah mulai gila, mana ada ketus tapi manja atau memang ada hanya dia saja yang tidak pernah tahu. Mayang memperhatikan wajah Erwin yang saat ini seperti sedang berpikir keras. Entah apa yang dia pikirkan hingga wajahnya begitu serius. Eh engga, wajah Erwin tidak serius, ada kesan nakal di dalam tatapannya membuat Mayang bertanya-tanya di dalam hatinya. Wajah Erwin tiba-tiba menyeringai menyadari tatapan Mayang, “Ada apa, apakah kamu sudah menjadi pengagum rahasiaku?" goda Erwin membuat Mayang tertawa. Dalam hatinya ia meringis, apa begitu sulit membuat kulit wajah Mayang merona? Mayang terlihat tidak terpengaruh dengan pujian yang dia berikan tetap datar dan kadang tidak tersentuh emosi. “Aku yakin kau sudah memiliki pengagum rahasia yang bejibun jadi tidak perlu tambahan orang lagi,” sahut Mayang menerima goodie bag yang sejak tadi berada di tangan Erwin. “Mayang, kamu sudah makan belum?” tanya Erwin begitu mereka keluar dari gerai cosmetic. "Jangan bilang kamu mau ketemu denganku cuma buat ngajak aku makan. Aku sudah makan tadi,” sahut Mayang. “Sama siapa, eh kamu di sini tadi sama siapa, kamu ga kerja?” “Aku tadi nemenin tamu dari daerah, dan dia tadi ada ketemu dengan pengelola gedung lalu kami makan siang di sini.” “Jadi tawaranku ngajak makan kamu ga berarti?” “Gak,” jawab Mayang singkat. Walaupun mereka tidak berhubungan lama waktu sekolah, tetapi berbicara dengan Erwin memang membuat Mayang memiliki sikap manja yang sudah lama terpendam tanpa dia sadari. “Kalau kamu tidak bersedia, bagaimana kalau kita cari tempat untuk bicara, ada yang perlu aku bicarakan denganmu sekaligus aku berharap kau bisa membantuku.” “Membantumu? Kau memerlukan bantuanku? Kau tidak bercanda kan?” “Serius Mayang…aku gak bercanda kok.” “Baiklah, tapi aku berhak menolak memberimu bantuan, kan?” “Iya Mayang…kau bebas menolak bila tidak bersedia. Hanya saja kau menjadi wanita yang begitu tega menolak membantu orang sedangkan aku adalah temanmu sendiri,” keluh Erwin sementara Mayang hanya mengangkat bahu. Tidak peduli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN