Erwin memandang Gisel dan Aris secara bergantian. Dia tidak ada pada saat nama baik Mayang tercemar. Tapi mengapa kedua temannya hanya diam. Apakah mereka tidak melakukan apa-apa untuk mengatakan kebenaran tersebut?
“Kami tahu apa yang sedang kau pikirkan, tetapi kau harus tahu banyak di antara teman kita yang tidak setuju kau berhubungan dengan Mayang,” kata Aris seolah mengerti apa yang sedang Erwin pikirkan.
“Tapi mengapa? Aku memang tidak lama berhubungan dengan Mayang, tetapi aku sangat yakin dia adalah wanita yang bisa menjaga dirinya dengan baik dan tidak akan berbuat di luar batas. Apalagi seperti yang kau katakana, Gisel, Mayang menjadi sugar baby,” kata Erwin.
“Kami tidak memiliki waktu untuk mencari kebenaran tersebut. Berita Mayang melayani om-o*******g sangat mempengaruhi sekolah. Bahkan dewan wali murid meminta sekolah mengeluarkan Mayang kalau dia tidak pindah sekolah,” jawab Gisel pelan.
Dia adalah salah satu teman Mayang yang jumlahnya hanya sedikit, tetapi saat itu dia hanya pelajar SMP yang tidak bisa melakukan apa-apa selain harus mengikuti peraturan yang ada juga ucapan orang tuanya yang melarang dia bergaul dengan Mayang.
Penyesalan terlihat jelas di wajah Erwin. Seandainya saja dia tidak memaksa Mayang naik wahana yang membuatnya mabuk, mungkin saja tidak akan terjadi sesuatu pada Mayang yang memaksanya harus pindah sekolah.
Namun, mereka tidak ada yang berpikir ke arah yang negative karena mereka hanya bersenang-senang menikmati wahana di taman hiburan. Tidak lebih dan kurang.
“Mungkin, kalau foto yang beredar hanya kalian, aku bisa menjelaskan, tetapi semuanya menjadi berbeda karena ada foto yang lain. Foto itu-lah yang menjadi penyebab Mayang pindah sekolah,” jawab Gisel.
“Apa mungkin foto yang beredar itu foto saudara kembar Mayang?” tanya Erwin pelan.
“Saudara kembar? Maksudmu Mayang punya saudara kembar?” tanya Aris dan Gisel berbarengan.
“Benar. Aku hampir lupa kalau Mayang pernah mengatakan padaku kalau dia punya saudara kembar ketika pertama kali aku datang berkunjung ke rumahnya. Dan dia baru mengingatkan diriku kembali tadi kalau aku jangan sampai salah mengenali dia dengan wanita yang memiliki wajah yang sama.”
“Aku tidak tahu apakah dia sebelumnya sudah mendengar kalau aku pernah berjumpa dengan wanita yang mirip dengannya atau tidak. Tetapi peringatan yang dia ucapkan seolah menjelaskan alasan mengapa foto tersebut ada,” jawab Erwin.
“Berarti foto tersebut adalah foto saudara kembarnya dan Mayang yang menerima akibat dari perbuatan saudaranya. Tapi bagaimana bisa saudaranya tidak bermoral. Padahal saat itu mereka masih SMP,” kata Gisel marah.
Dia begitu membenci keadaan saat Mayang di bully oleh teman-teman mereka dan juga oleh kakak kelas yang cemburu karena Erwin perhatian pada Mayang sementara Erwin hanya menjadikan Mayang sebagai taruhan saja.
Mata Gisel menatap Erwin tajam membuat lelaki itu membalasnya dengan alisnya yang menyatu.
“Mengapa kau tiba-tiba bertanya tentang Mayang. Sekedar ingin tahu mungkin biasa, tetapi kau sepertinya memiliki tujuan tersembunyi setelah bertemu dengan Mayang.”
“Apa yang sedang kau rencanakan, Win? Apakah kau tertarik padanya setelah melihat Mayang yang sekarang? Aku pernah membaca berita kalau kau berhubungan dengan seorang model yang menjadi brand ambassador perusahaanmu. Kau tidak bermaksud mengatakan kalau kau sudah berpisah, kan? Dan menjadikan Mayang sebagai taruhan lagi?” tanya Gisel perhatian.
“Tidak ada yang perlu dibahas tentang hubungan kami. Aku penasaran tentang Mayang karena dia mengatakan kalau dia ikut pindah sekolah tidak lama setelah aku pindah,” jawab Erwin sambil lalu.
Cibiran terlihat di bibir Gisel. Dia tidak percaya dengan ucapan Erwin. Dia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi dari Aris dia tahu kalau Erwin adalah lelaki yang tidak terlalu menaruh perhatian pada wanita lain, meskipun wanita itu adalah teman yang dia temui setelah sekian tahun berpisah.
Namun, Gisel menyadari kalau dia tidak mungkin bisa memaksa Erwin. Bukan saja karena dia tidak ada hak melainkan juga karena dia menyadari setiap orang memiliki rahasia yang tidak bisa dia katakana pada sembarang orang.
Dan Gisel hanya bisa menatap Erwin berharap Erwin tidak memiliki rencana macam-macam dengan Mayang, wanita cantik yang memiliki kesabaran setinggi gunung.
Setelah urusan tentang mobilnya selesai, Erwin segera pulang. Dia tahu pandangan Gisel yang menatapnya curiga.
Sementara itu Mayang yang sudah tiba di rumahnya harus menahan diri agar dia tidak berteriak marah. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan melihat keadaan rumahnya yang begitu berantakan.
Di saat tubuhnya begitu lelah, dia harus menghadapi ulah Meliana yang selalu membuat darahnya naik ke kepala sementara orang yang sudah membuatnya sakit kepala begitu nyaman duduk di sofa dengan semua kekacauan yang sudah dia timbulkan.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tantang Meli saat dia melihat mata Mayang yang tajam.
“Kalau aku tidak suka kau juga tidak akan peduli, kan? Aku ingat tadi pagi kau mengatakan padaku kalau kau hanya menumpang di rumahku yang membuatmu tidak memiliki kewajiban untuk melakukan bersih-bersih dan membayar tagihan.”
“Benar. Bagus kalau kau mengerti karena aku sama sekali tidak suka mengulang yang sudah aku katakan,” jawab Meliana sambil membuang sampah pembungkus makanan.
“Aku selalu mengingat apa yang kau katakan. Jadi aku yakin kau mengerti bahwa ada saatnya pemilik rumah tidak menyukai orang yang menumpang di rumahnya tidak tahu diri,” jawab Mayang tajam.
“Kau tidak mau aku menumpang di rumahmu?” tanya Meliana dengan mata melotot.
“Apakah ada alasan yang membuatku nyaman dengan kehadiran dirimu di rumahku? Selama kau tahu diri dan bertindak seperti manusia yang punya adab, aku tidak keberatan, sayangnya kau bukan orang seperti itu.”
“Tidak masalah. Aku akan bilang sama mama dan papa kalau kau mengusirku, gampang kan?” katanya mengancam Mayang sambil meraih ponselnya.
Mayang tidak peduli, batas kesabarannya sudah di ambang batas. Sudah 2 tahun lebih dia harus menghadapi sikap Meliana yang selalu membuatnya emosi dan mengancamnya untuk berbicara pada orang tua mereka. Apa perbedaan dia dan Meliana? Mengapa papa dan mamanya selalu memberikan perhatian yang berbeda?
“Heh, mama mau bicara nih,” beritahu Meli ketika ia melihat Mayang keluar dari kamar.
“Halo Mam,” sapa Mayang tenang.
“Mayang! Mama sudah mendengar dari Meli kalau kau mengusir dia dari rumahmu. Apa yang sudah kau miliki hingga berani mengusir kakakmu sendiri. Sudah merasa sukses heh?” omelan mamanya terdengar menyakitkan telinga Mayang sementara Meli hanya tersenyum mengejek.
‘Aku tidak mengusirnya. Aku hanya mengatakan kalau dia mau tinggal di rumahku harusnya dia lebih tahu diri. Tidak membuat kekacauan terus.”
“Apa yang kacau? Kau selalu berbicara berlebihan. Selama kau bisa mengatasinya kenapa harus menyalahkan Meli?”
“Aku tidak menyalahkan Meli karena semua memang dia yang membuat kekacauan.. Dia yang melakukannya untuk apa aku yang harus mengatasinya.”
“Rumahku adalah tempat aku istirahat yang aku jaga kebersihannya. Kalau Meli memang lebih suka hidup dengan sampah dan segala kotoran yang dia buat, kenapa dia tidak pindah ke tempat sampah saja. Aku yakin di sana dia tidak akan mendengar orang menegur karena perbuatannya,” sahut Mayang.
“Kalau mama terbiasa dengan tindakan Meli, aku salut, sayangnya aku bukan mama,” jawab Mayang berani.
“Kau berani menegur mama!”
“Aku tidak menegur Mama. Aku hanya mengingatkan yang dilakukan oleh Meli salah.”
“Kau banyak bicara Mayang. Mama tidak mau mendengar laporan dari Meli kalau kau mengatakan dia menumpang dan harus tahu diri apalagi mengusir dirinya. Meli adalah kakakmu dan kau harus mengikuti apa yang dia katakan!” Perintah mamanya.
Apakah Mayang tidak salah dengar? Ibunya kembali bertindak tidak adil dan dia sudah cukup sabar menghadapi Meliana selama ini.
“Maaf Mam, aku tidak bisa. Aku hanya mengikuti apa yang dia katakana kalau dia bisa membuktikan diri kalau dia layak aku hormati. Aku tidak bisa melihat dia membuat kacau rumahku dengan alasan apa pun. Kalau dia mau aku hormati dan ikut kata-katanya, buktikan kalau dia lebih baik dariku,” sanggah Mayang.
Dia tahu ucapannya pasti membuat mamanya murka karena dari sudut matanya dia melihat Meli sudah mulai membanting perabot yang dia miliki hingga suaranya membuatnya berteriak.
“Hentikan Mel!!”
“Kau berteriak pada kakakmu!”
Suara bentakan dari ibunya terdengar jelas di telingan Mayang. Dia tidak tahu apakah ibunya masih memiliki kasih sayang yang sehat untuk anak-anaknya atau dia memang tidak pernah memilikinya.
“Mayang! Apa pantang kau berteriak pada kakakmu sendiri!” terdengar suara bentakan dari ibunya membuat tubuh Mayang membeku.
“Apa dia pernah menganggap aku adiknya? Kalau ya, aku pasti mengingatnya dengan baik. Aku lelah sebaiknya mam katakan pada Meli, kalau dia masih mau tinggal di rumahku dia harus ikuti peraturan yang ada di rumahku.”
“Atau?”
“Atau pintu rumahku terbuka agar dia bisa keluar,” jawab Mayang sebelum menutup ponselnya.
“Kau sudah mendengar apa yang aku katakan pada mama. Kalau kau masih mau tinggal di sini, bereskan semua kekacauan ini dan mulailah belajar jadi wanita yang mengerti kebersihan dan mengenal dimana kau tinggal,” kata Mayang sambil mengembalikan ponsel Meli.
“Dasar tidak tahu diri. Kau berani mengusirku? Aku yakin tetanggamu akan kecewa setelah mengetahui kalau kau yang selama ini dikenal ramah dan perhatian ternyata sangat kejam pada kakaknya sendiri,” ancam Meli.
“Kau salah. Tetanggaku justru lebih tahu diri dan mengerti keadaanku daripada keluargaku sendiri,” jawab Mayang lagi.
“Kau tahu apa yang sering mereka katakana padaku, kenapa aku tidak mengusirmu karena mereka yakin kau barus sadar setelah ada kau sudah tidak bernafas lagi,” kata Mayang seolah dengan ucapannya tadi kemarahannya sirna.
“Kau benar-benar menantangku Mayang. Oh ya…omong-omong aku sudah meminjam uang pada temanku. Dan sebagai jaminannya aku memakai rumah ini. Jadi kalau kau tidak mau membayarnya kau sebaiknya bersiap untuk pindah,” kata Meliana.
Mayang sudah terlalu sering mendengar kalimat yang membuatnya terkejut dan hilang sabar, tetapi mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Meliana membuatnya tidak dapat menahan diri lagi.
“Kau benar-benar sudah menguji kesabaranku Mel. Sayangnya kali ini aku tidak akan berdiam diri. Kau sudah melanggar batas kesabaranku.”
“Terserah. Besok orangnya akan datang kesini untuk mengambil surat rumah ini,” jawab Meliana santai.
“Aku juga harus mengatakan terserah karena rumah ini bukan rumahku lagi sejak 6 jam lalu.”
“Kau…kau tidak bisa mengelak karena….”
“Karena kau sudah memalsukan tanda tangan dan kartu identitasku lagi. Sayangnya aku bukan wanita bodoh yang tidak pernah belajar dari pengalaman. Aku selalu memberikan tanda tanganku disertai sidik jari. Dan aku selalu merekam kegiatanku. Jadi kau tidak bisa menuduhku lagi. Kau wanita dewasa yang sudah menikah 2 kali jadi aku tidak mempunyai tanggung jawab setiap kesalahan yang kau lakukan.”
“Kau tidak bisa melakukannya!” teriak Meli.
“Tentu saja bisa.” Jawab Mayang sambil menelepon.
“Siapa yang kau telepon?” tanya Meli ketus.
“Orang yang aku percaya untuk mengetahui yang terjadi hari ini dan apa yang sudah kau lakukan.”
“Apa maksudmu?” tanya Meli dengan wajah pucat.
Mayang tidak menjawab pertanyaan Meli karena dia terlalu sibuk dengan ponselnya. Dan baru beberapa saat dia tertawa lega hingga Meli menatapnya curiga.
“Selesai. Semua ucapanmu sudah aku rekam dan sudah aku kirim pada beberapa orang. Jadi kau tidak bisa menyerahkan tanggung jawabmu padaku. Kau yang melakukan maka kau yang harus bertanggung jawab,” sahut Mayang sambil masuk ke dalam kamar.