PART 5

1423 Kata
Keesokan harinya, tidak seperti yang Elle duga, Sonia dan Nency benar-benar mengajaknya untuk mencari anak kelas akselerasi bernama Rei itu. Elle dengan wajah galak menolak ide itu dengan tatapan garangnya yang jarang ia perlihatkan. Ia benar-benar tidak habis pikir tentang apa yang direncanakan adik perempuan dan sahabat satu-satunya itu. Melihat dari gelagat mereka berdua yang tidak menyakinkan - terutama senyum percaya diri Nency yang agak menyebalkan itu - Elle merasa dirinya lebih baik tidak ikut serta dalam rencana gila Nency dan menyesal untuk kesekian kalinya. "Jadi darimana kita memulainya, Kak?" tanya Sonia dengan wajah lugunya yang manis. "Lebih baik kita pergi ke kelas laki-laki itu lebih dahulu, mungkin saja ia sedang di kelas. Aku sudah memikirkan apa yang akan aku lakukan nanti. Rencanaku pasti berjalan dengan mulus. Kau tidak perlu khawatir," jelas Nency sambil menatap Elle dari ujung matanya. Saat itu Elle belum tahu bahwa meskipun dirinya tidak ikut terlibat siang itu, tetapi rencana Nency melibatkannya secara tidak langsung dan perempuan itu pun tidak pernah menduga apa yang ia perbuat akan berdampak pada sahabatnya lebih dari yang ia rencanakan. Ia tidak tahu bahwa dirinya saat itu telah mengulurkan tangannya pada iblis yang menatapnya dari kejauhan. Takdir yang menyerupai mata iblis yang mengancam dan bewarna merah dalam kegelapan. Nency tidak tahu bahwa pertemuannya dengan laki-laki itu adalah awal mula kisah sahabatnya yang berliku dan yang paling ia sesali adalah bahwa dirinya sebagai sahabat, sebagai satu-satunya orang yang harusnya membantu sahabatnya itu, tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka memasuki perpustakaan setelah mendapat petunjuk dari laki-laki yang sedang membersihkan papan tulis di kelas akselerasi tadi, bahwa laki-laki yang sedang ia cari, anak bernama Rei itu sedang berada di perpustakaan atau kemungkinan besar berada di sana. Bahkan teman-teman kelasnya tidak tahu dimana tepatnya laki-laki itu berada. Dari percakapan singkat yang mereka lakukan tadi di kelas, Nency dapat menyimpulkan bahwa laki-laki yang disukai Sonia ini tipe tertutup dan suka menyendiri. Seperti yang Nency tahu dari Sonia setelah percakapan di ponsel yang mereka lakukan tadi malam, Rei adalah salah satu juara olimpiade nasional yang dua bulan lalu mendapatkan medali perak. Rei adalah anak terpintar di sekolahnya yang sering mengikuti berbagai perlombaan, Berbicara tentang fisika, Nency teringat satu orang yang mengaku membenci fisika kepadanya beberapa hari yang lalu, itu adalah Elle. Teman baiknya yang ingin masuk fakultas teknik di perguruan tinggi terbaik di negara ini, tetapi mengaku tidak suka berhitung. Betapa lucu anak itu, pikir Nency. "Biar aku saja yang ke sana. Kamu di sini saja, duduk manis, dan menyaksikan bagaimana aku bisa menaklukkan makhluk asing itu untukmu," ucap Nency setelah Sonia menunjukan sosok Rei di tengah beberapa orang yang duduk di deretan meja besar di pinggir rak buku dekat jendela. Setelah memastikan Sonia tidak protes dan duduk di kursi sebelahnya, Nency berjalan dengan tenang ke pojok meja panjang itu. Nency menarik kursi di depan Rei, satu-satunya laki-laki yang wajahnya tertutup jaket bewarna hitam. Ia tak tahu kenapa petugas perpustakaan tidak menyuruh laki-laki itu melepas jaketnya, karena sepanjang ia sekolah di sini, murid tidak boleh memakai selain seragam sekolah di kelas maupun perpustakaan, kecuali, tentu saja sedang sakit atau anak pemilik yayasan atau saham di sekolah swasta ini. Laki-laki itu tampak membaca sebuah buku tebal dengan rumus-rumus yang terlihat asing bagi Nency, buku berjudul Termodinamika. Melihat dari tangannya yang berada di atas meja dan hidung mancungnya yang mencuat kedepan, Nency tahu laki-laki ini memiliki kulit yang putih dan terlihat seperti porselen. Nency melirik kanan kirinya, melihat semua orang sedang fokus menatap buku di depannya. Namun, Nency lega dan memaafkan dirinya sendiri ketika melihat salah satu murid laki-laki yang sedang tertidur dengan buku di wajahnya. Setidaknya bukan dia saja yang berniat menjadikan perpustakaan ini sebagai markas tidurnya kelak. "Hai!" Kata Nency pelan. Laki-laki itu tetap bergeming, membuat Nency meninggikan suaranya. "Hai!" Sekali lagi, laki-laki itu hanya diam dan membalik bukunya santai. Membuat Nency semakin geram. "Hai!" Ucap Nency sambil memukul kecil mejanya. Lalu laki-laki itu mendongak dan menatapnya tak suka. Saat itulah, Nency melihat seorang malaikat dengan mata terindah yang pernah ia lihat. Tanpa ia sadari, Nency membuka mulutnya, takjub dengan laki-laki di depannya ini. Ya Tuhan, wajahnya seperti bayi yang sedang terlelap, menatapnya dengan teduh namun tajam seperti sedang melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang tidak diketahuinya. Siapakah laki-laki ini? Apa ia benar Rei anak pemenang medali perak olimpiade fisika nasional yang dibangga-banggakan oleh kepala sekolahnya? Kenapa orang bisa memperoleh ketampanan dan kepintaran secara bersamaan? Bukankah Engkau tidak adil, Tuhan? Langit mungkin terlihat menawan dengan kharisma dan kedewasaannya. Namun, laki-laki ini, pangeran yang terlihat menggemaskan yang ada di depannya ini, seperti seorang bayi yang baru lahir kemarin malam dengan kulit putih pucat dan mata hitam pekat yang kontras dengan kulitnya. Manik-manik di matanya terlihat jelas, seperti seseorang yang tidak pernah keluar untuk merasakan polusi udara di kota itu. Namun, di balik semua itu, wajah laki-laki ini terlihat keras, jahat, dan tak tersentuh. Dengan bibir merah darah yang terpahat kokoh tanpa celah sedikitpun. Nency bahkan tak bisa membayangkan bagaimana laki-laki itu bisa tersenyum dengan bibir yang tekatup rapat itu. Begitu dingin seperti sosok vampir yang sering ia lihat di beberapa film barat kesukaannya. "Hai!" sapa Nency setelah sadar dari dunia imajinasinya itu. Memberanikan dirinya membuka mulutnya dan menetralisir kekagumannya sesaat. Ia tidak sedang jatuh cinta pada pandangan pertama, ini berbeda dengan perasaannya ketika bertemu dengan mantan pacarnya - Dimas - yang dengan berengseknya memutuskannya setelah laki-laki itu diterima kuliah di luar kota. Hanya saja, laki-laki di depannya ini sangat tampan dan tidak ada seseorang pun yang akan terbiasa dengan wajah itu. Meskipun terlihat sekelebat lebam merah di lingkaran matanya. Apa dia baru saja terluka? Laki-laki itu membuka earphone yang ia gunakan. Nency yang terlihat ingin marah hanya bisa memandangi laki-laki yang menatapnya dengan alis tinggi yang menantang itu. "Kamu anak yang memenangkan medali perak di olimpiade kemarin, bukan?" Laki-laki itu mengangguk. Membuat Nency harus mengeluarkan suaranya lagi agar percakapan ini berjalan seperti yang ia rencanakan. "Perkenalkan, aku Nency, kelas XII IPA 3, aku punya sahabat yang sangat membutuhkan bantuanmu, Rei. Sahabatku ini sedang mencari seseorang yang bisa menjadi guru lesnya untuk dua bulan kedepan. Sebentar lagi kami akan ujian nasional dan menjalani tes masuk perguruan tinggi negeri, dia ingin masuk fakultas teknik tapi dia tidak begitu pintar pelajaran fisika. Ia mencari guru les fisika yang bisa diandalkan dan yang pasti bukan guru tua yang membosankan dan membuatnya mengantuk. Menurutku kalau dia diajar oleh orang yang sebaya dengannya, ia akan cepat mengerti, dan melihatmu kemarin saat upacara dan berpidato di depan, aku tahu kamu adalah pilihan yang tepat bagi sahabatku itu." "Aku bukan guru les." "Itulah yang kucari. Sahabatku itu telah banyak berganti guru les, mulai dari anak kuliahan sampai mantan kepala sekolah kita, dan tidak ada yang bertahan lama. Ia tidak terlalu menyukai orang asing." "Aku juga orang asing, bahkan kita baru saja bertemu," kata laki-laki itu tanpa melihat Nency. "Benar, tetapi orang asing yang ganteng. Dia tidak akan tidur jika belajar denganmu," kata Nency sambil melirik Sonia yang sedang duduk tak sabar di kursi bagian depan. "Jadi, kamu mau tidak?" Nency membelalakkan matanya ketika laki-laki itu menurunkan tutup kepala jaketnya, menampilkan rambut hitam sepekat bola matanya yang terlihat kasar dan menantang. Ia tak tahu harus menyebut Rei itu tampan atau menggemaskan, tetapi wajahnya mengingatkan Nency pada kucing anggora hitamnya yang sudah mati satu tahun yang lalu. "Aku tidak bisa," kata laki-laki itu cepat, ia menutup bukunya dan terlihat ingin berdiri sebelum Nency menahan tangannya. "Dia akan membayar berapa pun yang kamu mau," ucap Nency dengan nada memelas. Apakah ia salah strategi? Dari wajahnya yang seputih salju itu, Rei tidak terlihat orang yang membutuhkan uang, mungkin saja ia anak pemilik hotel bintang lima di Bali. Dan dari matanya yang menantang itu, sepertinya dia bukan orang yang ringan tangan, suka berbagi atau orang yang merelakan waktunya untuk kegiatan yang tidak ada kepentingan untuk dirinya sendiri, dan yang pasti laki-laki itu bukan orang yang suka membantu sesama umat Tuhan atau sesama saudara atau apapun itu. "Sahabatmu orang kaya?" Meskipun sedikit tak menyangka, Nency tetap tersenyum binar. "Dia anak jenderal polisi." "Bilang ke sahabatmu itu, kalau dia bisa membayar seharga buku yang kupegang ini setiap jamnya, aku akan pertimbangkan tawaranmu tadi," kata Rei sambil menunjuk buku fisika tebal yang terlihat mahal itu. Memang berapa harga buku yang terlihat kumal itu? Sonia bahkan rela menjual jam tangan mahalnya untuk bertemu denganmu, Rei.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN