PART 6

2479 Kata
Elle mandi singkat selama sepuluh menit dan memilih sepotong celana kain besar di lemarinya dan sebuah kemeja pendek bewarna putih dengan gambar bunga mawar merah di depannya. Elle membiarkan rambut panjangnya tergerai sempurna tanpa aksesoris apapun. Lalu sebagai sentuhan terakhir, ia mengoleskan sedikit pelembab bibir di lekukan bibirnya yang semerah darah, membuat siapapun perempuan pasti melihatnya iri. Setelah mendengar bunyi klakson mobil Nency di depan rumahnya, Elle segera mengambil tas kecil bewarna hitam polos yang ada di mejanya. Elle melirik sekilas rak sepatu yang ada di depan kamarnya dan mengambil sepatu milik Sonia yang baru dibeli adiknya itu kemarin. Elle tahu keputusannya ini pasti akan menimbulkan kekacauan nantinya. "Nah, memang begitu seharusnya. Kalau kamu berpenampilan seperti ini, aku tidak akan malu lagi berjalan berdua denganmu. Ingat tidak? Terakhir kali kita jalan, kau memakai celana olahraga kumalmu itu, El. Kamu tidak tahu betapa malunya diriku ini meskipun aku hanya mengajakmu menemaniku bertemu Dimas dan teman-temannya?" ujar Nency setelah Elle duduk di mobilnya. Elle teringat kejadian tersebut. Pagi itu, ia baru saja menyelesaikan lari paginya memutari kompleks perumahannya ketika Nency datang ke rumahnya dan dengan terburu-buru mengajaknya pergi. Ia ingin menolak, tetapi sahabatnya itu mengancam akan memberikan namanya pada wali kelas untuk mengikuti lomba basket antar kelas yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Karena masih kesal karena ancaman Nency, ia sengaja tidak mau mengganti pakaiannya dan akan pergi dengan penampilannya yang berantakan itu. Hal tersebut sukses membuat Nency menahan amarahnya meskipun ia tetap mengajak Elle ikut dengannya dan menyemprotkan parfumnya yang mahal ke tubuh Elle ketika sampai di tempat yang mereka tuju. Hari ini, Nency terlihat cantik dengan segala keunikan dan kepercayaan dirinya yang tidak pernah redup sedetik pun sejak Elle mengenalnya. Ia memakai atasan sabrina motif stripe bewarna hitam dan rok span pendek selutut yang membungkus kakinya yang jenjang. Rambut pendek lurusnya di biarkan tergerai dan sebuah kacamata hitam bertengger indah di hidungnya yang mancung. Ia terlihat santai dan segar pagi ini. "Kamu sudah tahu tentang pembicaraanku dengan Rei kemarin belum? Melihat tatapan tajammu sejak tadi, pasti Sonia sudah cerita padamu," kata Nency tiba-tiba. "Yang benar saja, Nen? Kamu menyuruhku membayar tiga ratus ribu untuk setiap jamnya?" ucap Elle dengan nada meninggi. "Kamu kira aku mendapat uang sebanyak itu darimana? Kamu pikir aku bisa mencetak uang sendiri di rumah, hah? Asal kamu tahu, aku mencari teman belajar sebaya agar aku tidak mengeluarkan banyak uang lagi untuk les." "Hanya satu pertemuan setiap satu minggu dan Sonia sudah bersedia untuk membantu membayarnya. Kelihatannya Sonia sudah meminta bantuan pada Tante Kirana untuk masalah ini. Ia cerita bahwa Tante Kirana sudah menyetujuinya dan tidak sabar untuk bertemu dengan guru lesmu yang baru," Nency menatap Elle dengan tatapan menghasut. "Kamu tidak akan menyesal. Percayalah kamu akan belajar dengan laki-laki paling tampan yang pernah aku temui." Elle diam tak menjawab. Sebenarnya ia merasa terganggu belajar dengan orang yang tidak dikenalnya, apalagi laki-laki itu pasti lebih muda darinya dan orang yang disukai adiknya. Bukan apa-apa, ia hanya takut pertemuan itu tak menghasilkan apapun dan hanya menjadi ajang pendekatan Sonia dengan laki-laki itu. Padahal ia benar-benar ingin belajar dan mengejar masa depannya. *** Elle melihat Nency yang sedang mengoleskan semua warna tester lipstik di tangannya yang putih, tidak tahu mengapa perempuan harus melakukan itu hanya untuk membeli satu lipstik yang harganya menyaingi uang jajan Elle tiga hari. Merasa jengah, Elle memutuskan meninggalkan Nency untuk pergi membeli es krim di depan konter kosmetik tersebut. Matanya tertarik ke sebuah toko sepatu yang ia lewati. Ia mencari-cari sepatu kets yang cocok dengan seleranya dan pastinya membuatnya nyaman. Lalu, matanya berhenti di sebuah sepatu kets bewarna hijau muda, dengan corak bunga-bunga kecil bewarna putih di sampingnya. Ia mencoba sepatu itu dan ia langsung jatuh cinta sejak sepatu itu melekat di kakinya dengan sempurna. Setelah membayar sepatu, Elle yang masih menikmati es krimnya berjalan menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang lantai satu tersebut, berbatasan langsung dengan parkiran motor yang sudah tidak dipakai dan perumahan warga yang sepi. Ia mengambil ponselnya yang bergetar dan membuka pesan dari Nency lalu membalasnya dengan cepat. Belum sempat ia selesai mengetik pesannya, Elle menjatuhkan es krimnya ketika melihat kejadian di depannya. Di parkiran belakang yang sudah tidak ditempati lagi itu, ada beberapa motor hitam besar terparkir melingkar dengan beberapa laki-laki yang sedang melakukan sesuatu di dalamnya. Sekilas ia melihat salah satu orang berjaket hitam itu melayangkan tangannya ke bawah. Ke seseorang yang wajahnya tertutup oleh motor besar. Tanpa sadar Elle mendekat. Ada sekitar lima motor besar, lebih besar daripada motor milik kakaknya, Abra. Tak tahu apa yang dihadapinya, Elle semakin mendekati mereka melewati pintu kaca yang sekarang memisahkan toilet dan tempat itu. Ketika ia keluar, ia menemukan sesuatu yang membuat perutnya mual. Ada darah di sana. Berceceran di lantai parkiran yang hitam dan berbau seperti karat besi yang memuakkan. Sepasang mata elang menatapnya dari celah motornya yang menutupinya saat ini. Laki-laki itu menatap Elle dengan tajam, lalu mengalihkan pandangannya tepat setelah salah satu orang berjaket hitam itu melihatnya. Orang itu terlihat mengatakan sesuatu pada laki-laki yang sedang bersimpah darah di bawahnya, lalu melayangkan tatapan ancaman pada Elle. Orang-orang yang Elle kira geng motor atau apapun itu mengendarai motor mereka keluar dari tempat itu. Meninggalkannya dengan laki-laki itu yang sekarang sedang bersusah payah untuk berdiri. Elle menatap sekelilingnya dan tidak menemukan seorang pun di sana. Membuatnya segera berlari mendekati laki-laki itu. Memperhatikan sejenak keadaannya yang terlihat mengerikan dengan beberapa luka lebam di wajahnya dan bibirnya yang terlihat merah karena darah. Laki-laki itu meringis sakit ketika Elle membantunya untuk berdiri, merasakan tangan laki-laki itu yang tertutup sebuah kemeja merah yang ia gunakan terasa lemah dan ia melihat darah mengalir dari lengan kemejanya itu. "Lepas!" kata laki-laki berkemeja merah itu dengan ketus. Tatapan kosong laki-laki di depannya itu membuat Elle menatap wajahnya dengan teliti tanpa harus bersinggungan dengan iris matanya. Merasa tidak asing dengan laki-laki yang wajahnya tak berbentuk lagi dengan beberapa noda darah di kulit putihnya itu. Laki-laki itu melepaskan pegangan tangan Elle yang membuat dirinya oleng kesamping. Dengan luka seperti itu, Elle yakin tidak ada orang yang dapat berdiri dengan benar. "Aku antar kamu ke rumah sakit," kata Elle, kembali memegangi badan laki-laki itu sebelum ia pingsan dan membuat keadaan semakin rumit. Suhu dingin yang terasa dari sentuhan tangan laki-laki itu membuat Elle merinding ketakutan. Bau darah itu tercium semakin tajam dan membuat kepala Elle agak pusing dan mual. Ia melihat laki-laki itu memegangi perutnya dengan erat dan khawatir ada luka tusuk di perutnya. Namun, ia merasa lega karena ternyata laki-laki itu hanya berusaha menarik kemejanya lepas dari tubuhnya yang pada akhirnya tidak berhasil karena pegangan Elle yang dengan sendirinya semakin kuat pada badan laki-laki itu. "Aku bisa berjalan sendiri," ucap laki-laki itu sambil berusaha melepas tangan Elle yang memeganginya. Elle menatap tajam laki-laki itu. "Jangan melawan, kamu tidak tahu keadaanmu sekarang? Kalau aku meninggalkan kamu sendirian di sini lima menit saja, mungkin kamu akan pingsan dan tidak akan ada yang menemukanmu sampai besok. Kamu tahu apa akhirnya kalau itu terjadi?" Laki-laki itu seperti ingin membantah, tetapi bungkam kembali ketika Elle menyelanya. "Aku hanya tidak ingin menyesal meninggalkan orang sekarat hanya karena orang itu yang tidak mau ditolong oleh orang lain." Elle menuntun laki-laki itu kesebuah kursi di dekat pintu keluar. "Aku membawa mobil, kamu tunggu di sini, aku akan mengabari temanku dan segera membawamu ke rumah sakit." "Tidak perlu," kata laki-laki itu, membuat Elle mangangkat sebelah alisnya tak mengerti. Apa sesusah itu menerima bantuan orang lain? "Jangan memberi tahu siapapun tentang masalah ini. Aku juga membawa mobil, kalau kamu mau membantuku, tolong ambil mobilku dan antar saja aku pulang. Tidak, aku mohon lakukan itu sekarang. Aku tidak akan mati, tenang saja, ini hanya luka ringan. Ini kuncinya." Dengan menganggukkan kepalanya, Elle menerima sebuah kunci mobil dari tangan laki-laki itu. Ia berlari menuju parkiran yang lumayan jauh dari tempatnya saat ini, lalu mengabari Nency bahwa ia pulang dahulu karena sesuatu mendesak yang akan ia jelaskan besok pagi. Elle menerima balasan beberapa u*****n dari Nency tetapi ia tidak memedulikannya. Setelah menemukan mobil bewarna sedan putih yang terlihat mencolok karena terlihat tidak layak dikendarai lagi, persis seperti yang dijelaskan laki-laki tadi. Elle segera kembali ke tempat laki-laki tadi. Elle mendesah lega ketika laki-laki yang sekarang sedang membalut luka di tangan kirinya dengan sobekan bajunya, lega karena ia masih berada di sana. Elle mendekatinya dan dengan cekatan menuntun tubuh besar laki-laki itu masuk ke dalam mobil tanpa penolakan apapun seperti yang ia bayangkan. "Kita ke rumah sakit sekarang!" kata Elle sambil memasang sabuk pengaman untuk laki-laki itu. "Sudah kubilang aku tidak mau ke rumah sakit. Kalau kau terus memaksa, lebih baik kau pergi saja!" Laki-laki itu bersuara sedikit membentak kepada Elle. Bola mata bewarna hitam pekat itu sedang menatap Elle, menantangnya untuk menyelami lautan kecil itu lebih dalam, lalu kembali berucap dengan lebih lembut ketika melihat mata Elle berkaca-kaca, "Jangan ke rumah sakit. Antar aku pulang saja." "Tidak boleh. Kamu terluka parah. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang akan membuatku menyesal nanti." "Aku mohon, mengertilah, Gadis Berisik," ucap laki-laki itu sambil kembali menatap Elle dengan tatapan yang melunak dan dalam, membuat Elle tiba-tiba merasa ada yang aneh di dirinya yang ingin menyeruak keluar. Ia tidak terbiasa dengan tatapan seperti itu. Tidak ada yang boleh menatapnya seperti itu karena hatinya akan melemah dan ia tahu setelah ini ia tidak akan bisa menolak permintaan laki-laki itu lagi. Perasaan itu masih membekas pada pikirannya bahkan setelah Elle menganggukkan kepalanya untuk menuruti kemauan laki-laki di sebelahnya. Menyadari bahwa ia tak mungkin menang melawan laki-laki itu jika manik mata yang seperti mutiara itu melihatnya lagi. Setelah laki-laki itu memberikan alamat sebuah apartemen yang tidak begitu jauh dari tempatnya ini, Elle dengan hati tak tenang menghidupkan mobil milik lelaki itu. Elle menepikan mobilnya ketika melihat apotek. "Aku berhenti untuk membeli obat dulu. Kau tidak perlu keluar dan aku akan terus mengawasimu dari dalam, jadi jangan coba-coba kabur. Kuncinya aku bawa," Katanya sambil melihat tangan laki-laki itu yang sekarang darahnya mulai menembus kain yang ia gunakan untuk membalutnya tadi. Entah kenapa, Elle merasa lega ketika menemukan mobil dan laki-laki yang tidak ia ketahui namanya itu masih berada di parkiran apotek. Elle hanya merasa laki-laki itu bisa menghilang begitu saja dan membuatnya khawatir karena luka-luka itu yang terlihat semakin buruk. Elle membantu laki-laki itu turun ketika ia sampai di sebuah apartemen kecil yang tampak tak berpenghuni dan sepi. Catnya yang berwarna biru terlihat terkelupas dari luar. Beberapa jendela terbuka, menampakkan bahwa ada orang di dalamnya. Apartemen itu mempunyai tiga lantai, dengan atap dan jendela yang tinggi, berbeda dengan rumah-rumah di sampingnya. Elle bertanya apakah kamar laki-laki itu ada di lantai satu, takut laki-laki itu akan kesulitan berjalan jika kamarnya ada di lantai dua melihat anak tangga yang tinggi menjulang di bagian samping rumah. Ia melihat laki-laki itu mengangguk pelan lalu melangkah mendahuluinya memasuki rumah. Langkah kakinya terlihat berat, membuat Elle melangkah maju mengiringinya dan memegang tangannya yang tidak mendapat tolakan apapun dari laki-laki itu. Perjalanan yang terasa panjang itu sangat sunyi, hanya langkah kaki dan suara napas mereka yang bersautan. Hingga mereka sampai di sebuah pintu yang berada di ujung lorong dan laki-laki itu merogoh kunci kamar dari saku celananya dan membuka kamarnya di depan Elle. "Masuk," kata laki-laki itu pelan. Elle melihat sekelilingnya. Sebuah kamar bewarna coklat kayu dengan sofa putih di sisinya dan sebuah televisi di depan, terlihat sederhana dan menyenangkan. Tidak seperti yang Elle bayangkan, kamar itu cukup luas dan lebih pantas di sebut ruangan karena tidak hanya berisi tempat tidur saja. Meskipun cat dindingnya tidak rata, tetapi kamar itu tidak seburuk penampilan rumah itu dari luar. Ia melihat beberapa buku tebal di rak buku yang terletak di atas dinding ruang tamu. Membuat Elle ingin melihat dengan detail setiap benda yang ada di ruangan itu dan menebak seperti apa isi pikiran pemiliknya. "Kau tinggal sendiri?" Tanya Elle ketika tidak menemukan apapun tanda adanya orang lain di kamar yang luas itu. Laki-laki itu mengangguk lagi, lalu berlalu menuju lorong di belakang lemari kayu yang membatasi dapur dan ruang tamu kecil itu. Elle hanya diam berdiri di tempatnya, ia menyadari laki-laki itu belum mempersilakannya untuk duduk. Kemudian, laki-laki itu keluar dengan hanya mengenakan kaos putih yang penuh dengan noda darah dan membawa sebuah kotak obat yang ada di tangannya. Ia duduk di sofa putih itu, membuat Elle menggelengkan kepalanya sekilas, takut sofa itu akan ternodai oleh darah laki-laki itu. Tetapi Elle tidak mengatakan apapun dan mendekati laki-laki itu ketika melihatnya sedang kesusahan membuka sebuah botol rivanol. "Biar aku bantu." Dengan cekatan, Elle membuka botol rivanol yang masih tersegel itu lalu mengambil sebuah kapas dari plastik yang dibelinya di apotek tadi. Ia membersihkan luka sayatan yang lumayan lebar di lengan laki-laki itu dengan takut dan perut mual. Elle sangat membenci darah dan semua bentuk kekerasan fisik apalagi luka perkelahian. Namun, ketika melihat laki-laki itu menatapnya dengan mata indahnya dan terlihat menahan sakit, Elle melupakan semau perasaan takutnya. Entah kenapa ia hanya tidak ingin laki-laki itu merasakan sakit lagi. "Terima kasih karena sudah menolongku," katanya pelan tanpa mengalihkan padangannya pada Elle. Elle hanya mengangguk, lalu membuka perban dan memasangnya pada lengan laki-laki itu. Setelah tangannya terlihat lebih baik, Elle melayangkan pandangannya pada wajah laki-laki itu yang terlihat tidak asing. Ia mengambil rivanol dan kapas lagi, lalu menepuknya dengan pelan ke ujung mata laki-laki itu yang terlihat membengkak merah. Laki-laki itu mengernyit, membuat Elle menghentikan aktivitasnya, menatapnya khawatir. "Apakah sakit?" Setelah mendapatkan gelengan singkat dari laki-laki itu, Elle melanjutkan membersihkan luka di ujung matanya lalu ke bibirnya yang terlihat merah karena darah. Ia membersihkan bibir laki-laki itu dengan sangat pelan, takut laki-laki itu akan kesakitan. Setelah darah dan luka di wajah laki-laki itu mulai menghilang, Elle mengoleskan salep yang ia beli tadi dengan ujung tangannya ke wajah laki-laki itu dengan perlahan. Elle semakin mengerutkan keningnya, wajah laki-laki itu semakin tak asing lagi di pikirannya. Lalu, sebuah kilasan kejadian tiba-tiba muncul di otaknya, membawakan sekelebat ingatan yang membuatnya membesarkan matanya kaget. "Kamu tukang AC itu, bukan?" Kata Elle tiba-tiba membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung. "Apa?" "Kamu tukang AC yang jatuh di kamarku dan pingsan." Elle mengingat kejadian yang membuatnya kesal beberapa minggu yang lalu itu. "Itu kamu, benar?" Orang di depannya itu terlihat sedang mengingat sesuatu. Lalu Elle tahu bahwa laki-laki itu sudah mengingat kejadian memalukan itu ketika ia menatapnya seperti tatapan yang sama dengan tatapannya saat bangun dari pingsannya dulu. Tatapan yang membuat Elle memilih memalingkan wajahnya daripada tenggelam dalam kegelapan bersama manik mata yang kini berwarna kelam itu. Elle memilih berpaling.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN