Bab 4 - Kebohongan Utama

1793 Kata
Sejak hari itu aku dan ayah tak pernah saling bersitatap lagi, entahlah hatiku merindukan kasih sayang ayah laki-laki panutanku tetapi kini sangat sulit kugapai. Ayah seakan semakin jauh. Hari ini aku telah bersiap menuju kafe, saat keluar kamar mataku menatap begitu banyak orang saling lalu-lalang menuju kesana kemari, dan aku cukup tau sebabnya pernikahan kak Siska sebentar lagi bahkan tinggal menghitung hari. Dekorasinya juga sepertinya sangat identik dengan sikap Kak Siska yaitu glamour dan mewah. Apalagi dia adalah model tentu saja harus memukau dan Indah. Beberapa hari yang lalu niatku cukup dimaklumi aku hanya ingin membantu persiapan pernikahan ini akan tetapi tanganku belum menyentuh bunga untuk dirangkai akan tetapi perkataan ibu Miranda membuatku bisu, apakah hatiku akan setegar ini sepanjang waktu? "Jangan menyentuh apapun Aila, tak ada yang membutukan bantuanmu disini pergilah mengurus pelangganmu saja. Kurasa mereka lebih membutuhkan waktu full day bersamamu,mungkin di club malam bisa!" wajahnya terlihat sangat angkuh dan cukup membuatku muak akan itu, ia bahkan sudah merasa menang karena berhasil mengambil alih perhatian ayah dariku. Perkataan itu selalu tergiang dalam ingatanku, nafasku terasa ingin berhenti saja jika sudah mulai menggila seperti ini. Sampai sekarang aku masih bingung entah apa isi foto itu hingga Ayah bisa merasa sangat kecewa dan marah seperti ini, bahkan untuk memandangku sejenak saja terasa enggan ia lakukan. AKU BISA...!!! perkataan itu selalu menjadi mantra untukku dan juga kepercayaanku masih melekat bahwa dibalik ini allah ada, allah ada bersamaku disetiap hembusan nafasku. Setelah beberapa saat termenung menatap kesibukan semua orang, langkahku menuju keluar jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Waktunya bekerja untuk bertahan hidup. Sebenarnya kafe buka dari setengah jam yang lalu tapi Aisyah adalah orang yang sangat pengertian. Jika salah satu diantara kami terlambat maka ia hanya mengangguk saja lalu menyuruh kami bekerja. "Kau disini?" langkahku terhenti dan mendongak menatap wajah perempuan cantik itu, dia Kak Siska calon mempelai wanita. "Iya Kak, Kakak engga ke studio?" tanyaku mencoba ramah, lagian selama ini ia tak pernah memperlakukanku semena-mena karena hanya sibuk mengurus kerier modelingnya. "Ini mau berangkat. Mau berangkat bareng?" aku dan Kak Siska jarang sekali bertegur sapa seperti ini dan diapun jarang dirumah. "Tidak perlu kak, aku bisa jalan kaki lagian dekat kok." kuberi dia senyuman dan dia hanya mengangguk mengiyakan. Lalu melanjutkan langkahnya menuju teras depan. Kak Siska itu orangnya masa bodo dengan sekitaran, kehadirannya dirumah hanya terhitung jari saja dan sikapnya padaku cukup baik walaupun kadang tatapannya sinis tapi aku maklumi karena dia memang seperti itu. Ia juga hanya mengikuti perkataan ibu Miranda saja tetapi terkadang sesekali aku mendengar mereka berdua debat panjang didalam kamar entah karena apa. "Jangan mencoba mengusik kehidupan putriku, Aila." aku menoleh kebelakang menemukan wajah sinis itu. "Dia yang menyapaku duluan!" belaku cepat, "Abaikan dan jalani takdirmu sendiri" setelah mengucapkan itu ia berlalu dan aku hanya mengembuskan napasku pelan mencoba kuat. "Kamu kuat Aila." semangatku pada diri sendiri dan melanjutkan langkah menuju kafe. Aisyah pasti sudah menungguku saat ini. **** "Assalaamu'alaikum..."ucapku tepat setelah pintu kafe kubuka, dan ternyata sudah mulai banyak pengunjungnya. Sebenarnya kafe ini tempatnya cukup sederhana hanya untuk muda mudi yang ingin hang out ataupun berdiskusi. Bahkan dekorasinya tdk begitu menuju modern hanya pernak pernik islami yang menonjol. Seperti kaligrafi al-qur'an, foto-foto pemandangan mekkah dan bisa di simpulankan kafe ini bertema islami. "Wa'alaikumussalam.. Ehhh Aila baru datang."Suara Aisyah menyambutku, sebagai jawaban aku hanya tersenyum padanya lalu mengambil buku menu dan memperlihatkan pada pengunjung kafe yang datang. Setelah kejadian dimana Aidan mendengar perkataan ayah, Aisyah dan suaminya itu selalu membujukku jika ada waktu senggang agar menetap satu atap dengannya, jawabanku tetap sama tidak bisa, aku ingin hidup bersama ayah walaupun ia tdk menginginkanku lagi. "Ehhh kak Aila, kok disini enggak bantuin pernikahan kak Siska?"pertanyaan itu menyambutku tepat setelah kakiku berada di sisi meja salah satu pengunjung. "Kaka lagi kerja Yola, silahkan mau pesan apa."dia adalah Yola, salah satu tetanggaku dirumah kita memang cukup akrab bahkan sesekali ia membawa kue dirumah ataupun makanan hasil masakan ibunya. "Tapi kata tante Miranda, kak Aila kuliah kok disini?, berarti dia bohong." mataku mengerjap pelan, kuliah katanya? Bahkan untuk makan setiap hari saja tdk cukup untukku lalu bagaimana dengan kuliah? "Aila, tolong bantu chef Riko didalam. Biar Indah yang melayani pengunjung." mengerti suasana yang terjadi Aisyah datang menghampiri kami dan menyuruhku masuk kedapur, padahal aku sangat tau ia hanya berusaha melindungiku dari pertanyaan dan suasana tegang ini. Sekali lagi sebagai jawaban kepalaku hanya mengangguk pelan lalu melangkah ke dapur tak menjawab pertanyaan Yola sama sekali. Tepat sampai didapur sesuai dugaanku Chef Riko tidak membutuhkan apapun bahkan bantuan, bahkan laki-laki berumur 36 tahun itu menikmati kerjannya. Hatiku mencolos, apa yang sebenarnya ibu Miranda mau ,mengapa ia mengatakan pada masyarakat bahwa aku sedang sibuk kuliah bukankah perempuan yang berposisi sebagai ibu tiriku itu telah mengambil semuanya, menarik semua apa yang kupunya!. "Aila, kau menangis? "Pertanyaan Chef Riko membuatku bangun dari lamunan panjangku, meraba pipiku dan benar ada air mata. Sejak kapan air mata datang, apakah hatiku benar-benar telah mati hingga merasai saja tdk sepeka ini? "Ehh tidak chef, aku hanya kelilipan makanya masuk kesini sebentar." bantahku cepat sembari menatapnya memasak. "Perempuan dengan segala dramanya." aku hanya tertawa kecil mendengar perkataannya itu, sepertinya dia sudah cukup hapal dengan hal seperti ini. "Istri chef juga seperti itu?" aku mencoba basa-basi dengannya, mencoba mengalihkan fikiranku dari kebohongan ibu Miranda "Ya... Kadang kalau aku pulang matanya bengkak saat aku tanya dia mengatakan hanya sedikit terbawa perasaan habis nonton sinetron tadi. Dan aku tau dia berbohong sejak kami pacaran hingga menikah ia tidak menyukai nonton sinetron hampir tidak pernah melakukannya." sambari bercerita ia memotong daging secara acak. Sangat membuatku terpukau dan takjub bahkan aku sebagai perempuan saja kalah. "Kaum kami berfikir tidak perlu bercerita cukup pahami saja." ucapku santai. "Tetapi kaum kami juga bukan peramal yang bisa memahami keadaan tanpa suatu kejelasan. Ingin menebak tetapi bingung juga ingin mengatakan apa. Perempuan memang membingungkan tetapi sayangnya aku sudah terlanjur mencintai salah satu kaum itu yaitu istriku sendiri." aku tersenyum lembut, bertukar cerita dengan chef Riko ternyata tidak buruk juga. "Tapi lama-kelamaan dia menjelaskannya juga kenapa dia menangis dan aku hanya mencoba menenangkannya sambari memeluknya dengan sayang. Kau tau betapa terlukanya hati ini saat melihatnya rapuh seperti itu." lanjutnya lagi, saat ini ia sedang menata pesanan pengunjung. Sangat terampil. "Terkadang sesekali kaum kami hanya memerlukan sandaran bukan penghakiman." lirihku dan menatap nanar makanan yang sudah siap antar itu. "Aila, mungkin sekarang kamu belum menemukan orang yang tepat untukmu tetapi aku yakin Allah sudah menyediakan seseorang yang memang diperuntukkan untukmu. Tetaplah kuat." hatiku menghangat mendengar kalimat itu. "Terimakasih chef Riko. Biar makanan ini kubawa ke orangnya." aku mengambil nampan dan chef Riko dengan sigap menyimpan makanan itu disana. "Sama-sama... Meja no.13 ya." aku hanya mengangguk dan melangkah keluar dari dapur dengan hati-hati. ... "Aila... Ayo sini kumpul sama kita. " panggil Indah di pojok sana, sepertinya tempat kami bekerja ini sedang lenggang makanya mereka memutuskan untuk duduk seperti itu, dan tentunya Aisyah tidak pernah masalah dengan hal ini ia bahkan terkadang ikut bergabung jika sedang tak sibuk di ruangannya. "Lagi bahas apa nih?" tanyaku setelah berada didekat kumpulan mereka, terlihat Adnan berdiri mengambil kursi untukku yang kubalas dengan ucapan terimakasih. "Sila lagi pdkt sama seseorang." seru Caca heboh yang dibalas tawa oleh semuanya "Engga kok, aku engga punya gebetan." bela Sila dengan senyum malu-malunya. "Hayooo... Terus kenapa harus blushing gitu... Cieee." goda Indah dengan suara jahilnya sambari menaik turunkan alisnya, Dapat kulihat Sila semakin tersenyum malu-malu bahkan wajahnya semakin memerah, sebenarnya aku ingin bersuara juga tapi bingung ingin mangatakan apa karena sejujurnya aku tak pernah menjahili seseorang. "Namanya siapa Sil? Ganteng ga? Pekerjaannya apa?" itu adalah pertanyaan Caca, perempuan dengan rambut digerainya serta make up tipisnya itu menatap Sila intens siap menerima jawaban. Kami memang sering duduk dan bercengkrama seperti ini dengan tujuan untuk saling mengakrabkan diri serta melepas lelah sambil bercanda, Caca bertugas di kasir dan selalu berpenampilan menarik tetapi tentunya pakaiannya masih sopan, tak pernah lepas dengan yang namanya make-up tetapi hanya sederhana saja tidak setebal milik sebagian orang. Adnan, dia bekerja sebagai pembuat minuman serta sesekali menggantikan posisi Caca. Dia bekerja sekaligus kuliah juga jadi datangnya hanyalah sesekali saja dan sekali lagi Aisyah dan Aidan tidak masalah dengan hal itu. Sedangkan Indah di usia mudanya ia memutuskan untuk menikah bersama pacarnya karena menurutnya itu jalan keluar terbaik dan penampilannya hampir sama denganku yaitu memakai jilbab pendek. Satu lagi yaitu Sila, perempuan cantik yang sedang di jahili saat ini. Dia perempuan pemalu dan sangat polos, umurnya baru 19 tahun pegawai paling muda diantara kami. "Ihhh! Kenapa tanya begitu sih." ucapnya dengan suara pelan sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga terlihat sekali jika dia sedang salah tingkah saat ini. "Ca! Jangan ajarin Sila jadi perempuan kayak kamu dong." ucap Indah dengan suara pelan seperti peringatan tetapi tersirat candaan juga. "Lah! Emangnya aku kenapa?" tanyanya sambil menatap Indah diseberang meja. "Kamu-kan kalau mau kenalan sama cowok harus lihat dulu. Ganteng engga ya, pekerjaannya bagus dan terjamin engga? Jelas banget matrenya, hahaha." Indah menutup ucapannya dengan tawa, ucapannya itu membuat Caca memberenggut kesal. "Udah... Kenapa malah saling mengejek sih! Tujuan kitakan cuman mau tau Sila deketnya sama siapa." aku tersenyum pelan, selalu seperti ini jika Indah dan Caca mulai saling mengejek maka Adnan-lah sebagai penengah mereka. Adnan memang tipe laki-laki yang paling tidak suka akan pertengkaran walaupun Indah dan Caca hanya sekedar saling bercanda saja. Mereka memang seperti ini dan setidaknya keberadaan mereka membuatku merasa dihargai dan diinginkan. Bisa membuatku lupa dengan segala kepelikan takdir yang sedang Allah suguhkan padaku karena semuanya terasa sulit dilalui sendirian seperti ini. "Sila... Kami itu udah anggap kamu sebagai adik kandung kami makanya kami semua bertanya seperti ini. Kamu yang paling muda disini dan tentunya kami ingin menjaga kamu selagi kami bisa melakukannya, jadi jangan terbebani ya karena tadi itu cuman bercanda." ini yang paling kusuka dari Indah, pikirannya itu sangat dewasa dan jika membutuhkan bantuan maka kami pasti ke dia untuk mendapatkan semangat kembali. "Aku mengerti kok... Tenang aja dia baik nanti aku bakal ngajak dia kesini untuk mampir." ucapnya masih terkesan malu-malu "Cieee..." ejek Indah dan Caca kompak sedangkan aku dan Adnan hanya tertawa pelan menanggapi hal ini. Perempuan berambut panjang sepinggang itu menutup wajahnya yang memerah dan menunduk. Melihat hal itu kami semakin tertawa merasa terhibur dengan kelakuan ajaib yang Sila lakukan saat ini. Indah kembali melakukan aksinya sedangkan Caca sesekali mengerling jahil ke arah Sila, dapat kulihat Adnan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan absurd didepannya. Aku menatap mereka lagi merasa bersyukur bisa berada diantara semua kebahagiaan ini, setidaknya segala perkataan rendah ayah bisa kulupakan sejenak saja. Dan juga mengenai kebohongan Ibu Miranda mengenai kuliah itu, aku tak pernah menyangka ia akan berbuat sejauh ini untuk memperbaiki citranya di kalangan masyarakat kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN