Bab 3 - Jiwaku Pergi

1778 Kata
Mataku hanya memancarkan kekosongan saat ini,perkataan ayah masih terekam jelas dalam ingatanku. Masih ada sedikit rasa tidak percaya bahwa ia benar-benar mengataiku serendah itu bahkan ini diluar perkiraanku sendiri. Saat ini aku sedang duduk termenung didekat jendela kafe tempatku bekerja aku cukup bersyukur karena Aisyah, pemilik kafe ini memaklumi setiap sikapku. Sadari tadi sesampainya dikafe kami langsung berlomba-lomba keluar dari mobil bahkan Aidan sang pemilik mobil sampai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap kekanak-kanakkan kami. Kulirik jam di ponsel jadul itu disana tertera pukul 17:03 sudah waktunya pulang kerumah sebaiknya aku pulang saja daripada disini tetapi tidak bisa fokus sama sekali. Suasana kafe masih ramai bahkan ketiga temanku yang kutemani di mobil tadi terlihat kewalahan akan itu, aku sebenarnya ingin membantu tetapi beberapa waktu lalu baru saja tanganku ingin mengambil buku menu Indah malah melarangku. "Kamu duduk di dalam saja, daritadi kuperhatikan kamu terus menerus melamun dan itu tidak baik. Biar kami saja yang bekerja hari ini kamu diliburkan dan aku sangat yakin kalau Aisyah akan setuju." aku hanya mengangguk saja tanpa protes dan disinilah sekarang. Mencoba menjernihkan pikiranku agar tidak tumbang. "Ada apa denganmu Aila, kenalan terus menerus berpikir negatif tanpa henti." gumamku lirih. Bahkan terkadang aku tidak bisa mengendalikan kegilaan ini. Kejiwaanku benar-benar butuh psikolog. Wajahku menoleh kesamping saat mendengar decitan kursi dan ternyata Aidan dan Aisyah sedang duduk menatapku dengan tatapan tidak kusukai. Kasihan...!! "Aku sangat tau, Aidan pasti sudah menceritakan kepadamu tentang perkataan ayahku beberpa waktu lalu."Ucapku sarkas. Entahlah hatiku tidak suka ditatap dengan pandangan seakan aku paling lemah didunia. Walaupun ayahku sendiri yang menjatuhkan harga diriku tetapi aku takkan pernah ingin menerima tatapan kasihan dari semua orang. "Tinggallah bersamaku." mataku terpejam mendengar suara Aisyah yang memintaku untuk menetap di atap yang sama, suara sahabatku itu bergetar aku tau sangat tau. Siapa yang tidak terluka jika di lukai oleh ayah kita sendiri? Apalagi Aisyah mempunyai keluarga yang bisa dibilang cukup harmonis dan agama sangat melekat dalam keluarganya ditambah lagi suami pengertian dan baik hati seperti Aidan, tetapi aku bukan orang yang meminta belas kasihan kepada orang lain. Itu bukan karakter yang bunda ajarkan padaku "Tidak Aisyah, rumah itu sudah sangat melekat dalam jiwaku"ucapku tegas tanpa menatapnya sama sekali, bunda ingin anaknya mandiri bukan bergantung pada orang lain walaupun aku tau niat Aisyah itu baik tetapi tetap saja aku tidak bisa. "Aila... Berhentilah bersikap seperti ini hatiku tidak sanggup membayangkan semuanya." mataku dapat menangkap dari matanya perempuan bercadar itu menangis tetapi ditenangkan oleh Aidan, yaa Aidan adalah suaminya tentu saja mereka telah halal, ada rasa bersalah dalam diriku karena membuat Aisyah menangis seperti ini tetapi aku tidak ingin melibatkan siapapun dalam masalahku. "Ini takdirku Aisyah, jangan pernah membayangkan berada di pihakku karena menjadi aku adalah nereka dunia untukmu."Tangis Asiyah menjadi-jadi saat mendengar perkataan terakhirku. Itu memang nyata, kenyataan yang tidak akan bisa ku elakkan sampai kapanpun. KARENA MENJADI AKU ADALAH NEREKA DUNIA..!! Setelah itu tercipta keheningan diantara kami hingga perkataan terakhirku membuat mereka menatapku tajam, dan itu dapat kurasakan mereka tidak menerima perkataanku sama sekali. "Aku sangat tau Allah ada didalam diriku, ia menjagaku akan tetapi saat ini Allah sedang membawa jiwaku berkelana jauh jadi jika nantinya jiwaku kembali maka biarkan dendam itu kutuntaskan dengan segera." rasanya aku ingin menertawakan suara sumbangku yang sebentar lagi akan runtuh pertahanannya, tidak boleh. Aku tidak boleh tumbang disini. "Ailaa... Ku mohon berpijaklah pada bumi kembali, kembalikan apa yang sepantasnya kembali, perlihatkan padaku Aila permatasariku yang hilang entah kemana, buanglah sosok asing ini"ucapnya sambil terus menangis tergugu, bahkan sayup-sayup kudengar Aidan menyuruhnya berhenti menangis. "Mengapa kau setenang ini Aila, kami saja tdk sanggup membayangkan berada di ragamu. Tetapi kenapa ragamu masih mampu berpijak seperti ini?"aku tidak tau bahwa Aidan yang sadari tadi memilih diam kini mengeluarkan suaranya dengan pertanyaan yang sangat mudah ku ucapkan sebagai jawabannya. "Karena hatiku sudah mati. Sekali lagi jangan pernah menatapku dengan tatapan semenyedihkan itu, karena aku tak ingin kalian melihatku gila disini. Aku permisi pulang, waktu sudah menunjukkan padaku untuk kembali ke dunia gelap. Assalaamu'alaikum".dapat kurasakan dari tatapan mereka, pasangan suami istri itu tidak ikhlas melihatku melangkah menjauh. Bahkan masih kudengar Aisyah menyuruh Aidan untuk memanggilku tetapi tidak ia lakukan, seharusnya kamu beruntung sahabatku karena mempunyai keluarga utuh serta suami yang sangat menyayangi dirimu tidak seperti aku ini. "Ehh Nak Aila?" aku menoleh menemukan perempuan paruh baya yang sedang memungut cuciannya di jemuran pakaian, dari penghlihatanku ia menyimpan keranjang cucian yang ia bawa lalu berjalan menghampiriku. "Baru pulang kerja?" tanyanya setelah berada disampingku,dan pertanyaannya barusan hanya kubalas dengan anggukan serta senyuman tulus. "Kamu makin hari makan kurus Nak! Jangan terlalu bekerja keras seperti ini, andaikan Arini masih hidup pasti takkan membiarkan anaknya seperti ini." ocehnya lagi, aku termenung memikirkan perkataan ibu ini, bisa dikatakan dia memang sedikit dekat dengan Bunda. Bahkan saat Bunda dulu masih hidup dia sesekali datang kerumah saling bertukar cerita serta membuat kue bersama. "Aku suka dengan pekerjaanku kok Bu! Tenang aja." balasku berusaha menenangkannya. "Semenjak ayahmu menikah lagi entah kenapa aku sangat tidak menyukai perempuan itu tetapi aku hanya teman ibumu disini jadi tidak memilki hak mengatur ayahmu. Aku masih ingat saat aku berkunjung kerumahmu betapa berbinarnya mata Arini saat menceritakan tentangmu." dapat kulihat ibu dengan daster lusuhnya itu tersenyum senang saat bercerita. Ia dengan bangga mengatakan itu tetapi setidaknya di kawasan sini masih ada yang mengingat Bunda. "Arini dulu berpesan padaku saat aku menjenguknya kerumah sakit katanya aku harus menjagamu dan sesekali memperhatikanmu saat dia tiada nanti." aku hanya bisa mendengarkan ocehan ibu ini, kulihat saat ini dia sedang tertawa kecil tetapi terdengar terpaksa. "Saat dia berbicara melantur seperti itu aku langsung memarahinya yang Arini balas dengan senyuman tulusnya. Setiap melihatmu rasanya aku merasa tenang walaupun Arini telah pergi tetapi penggantinya masih disini, tepat disampingku. Aku tidak bisa terus menerus menjagamu Nak! Ini saja nanti malam aku harus ikut suami dinas lagi keluar kota." sekali lagi aku hanya tersenyum, memandang ibu ini. Dia memang selalu ikut suaminya keluar kota, berpindah ke kota yang lain. Hanya sesekali pulang mengecek rumah mereka yang ada disini. "Aila..." "Iya Bu, kenapa?" "Entah kenapa akhir-akhir ini aku terus menerus didatangi ibumu. Entah karena aku yang terlalu merindukannya ataukah ia ingin mengatakan sesuatu padaku, tetapi aku tidak bisa lama disini Nak! Maka dari itu jaga dirimu ya! Arini sangatlah menyayangi dirimu meskipun dia saat ini tidak didunia lagi tetapi percayalah disana dia selalu risau dan selalu menjagamu. Maafkan Ibu karena tidak bisa menjagamu dari dekat dan tidak tau permasalahan apa yang sedang terjadi padamu." wajahnya terlihat khawatir tetapi kubalas dengan senyuman baik-baik saja. "Aku akan menjaga diriku Bu! Walaupun kita jarang bertemu tetapi aku sudah menganggap Ibu sebagai ibuku sendiri. Aku berjanji akan menjaga diriku dari apapun dan terimakasih telah khawatir padaku." aku memilih bersuara agar ibu ini tenang, di kompleks ini para tetangga memang memanggilnya 'ibu' karena suaminya pekerjaannya sebagai salah satu anggota perkantoran tetapi aku lupa pekerjaannya apa. "Seingatku Arini terlihat khawatir, didalam mimpiku dia sedang duduk di sebuah ayunan lalu sibuk memperhatikan danau berwarna kelam. Dia termenung entah memikirkan apa aku ingin menegurnya tetapi aku tak bisa dan saat Arini berbalik wajahnya terlihat habis menangis Aila." aku sedikit tersentak mendengar perkataan itu, apakah benar Bunda benar-benar khawatir padaku? "Nak Aila! Ibu hanya berharap kamu selalu kuat walaupun Ibu engga tau bagaimana kehidupanmu sekarang. Ibumu ada didalam dirimu dan Allah selalu berada dalam setiap kepercayaan yang kamu miliki, ibu permisi dulu." ia memelukku sebentar kemudian melepaskannya, menepuk pundakku beberapa kali lalu berlalu. Dapat kulihat ia kembali mengambil pakaian keringnya disana sembari sesekali mengusap pelan pipinya seakan sedang menangis. Menangis? Aku memperhatikannya sekali lagi dan benar. Ibu itu sedang menangis bahkan saat berjalan kedalam rumahnya dengan keranjang yang berada dalam genggamannya ibu itu masih terlihat menangis. Apakah bunda benar-benar sedang mengkhawatirkanku? Aku memutuskan kembali melanjutkan perjalananku untuk pulang, berusaha tetap tenang dan berpikir positif tentang Bunda. Aku akan terus berusaha baik-baik saja Bunda tetaplah tenang disana jangan memikirkan Aila. Setelah beberapa menit berjalan akhirnya pijakanku sampai dirumah yang selalu orang pandang kelaurga harmonis. Mereka tak mengetahui rumah ini adalah penjara untukku, penjara yang membuatku harus benar-benar tangguh dalam segala rasa Hatiku lega,rumah kosong itu berarti hari ini aku bebas dari caci entah kapan berujung, setelah menutup rapat pintu kamarku akhirnya topeng tangguhku menghilang, air mataku datang. Dapat kurasakan,hatiku sesak entah apa yang ingin kukatakan, semua palsu. Tegar hanya perisai Tawa adalah sandiwara Dan menangis menggila adalah pilihan terakhir dalam otak buntuku Aku tertawa terbahak-bahak sedangkan air mataku tak berhenti melaju, aku gila bukan ya aku gila karena menertawakan kegilaanku masih ingin bertahan di tempat seperti ini Saat waktu ingin kuhentikan sekarang tetapi malah makin merajalela tanpa ingin berhenti. Saat jiwa makin menghilang maka takkan kau temui duniamu lagi, pergi dan takkan kembali. Tiba-tiba aku tersentak teringat perkataan bunda yang membuatku melangkah ke kamar mandi mengambil wudhu. "Sayangnya bunda, jika kamu hilang arah dan rasanya semuanya makin tak tersisa maka ambil wudhu dan shalatlah 2 rakaat. Berdo'a dan berceritalah pada Allah. Allah akan terus menerus mendengarkan semua hambanya berapa kalipun kita berbuat salah, lalu setelah itu ambil al-qur'an dan bacalah sampai hatimu tenang. Mengerti?" Rasa rinduku pada bunda semakin bertambah dan makin menjadi-jadi. Semoga bunda bahagia disana dan tetap jaga Aila dari sana. Aku mengambil mukenah pudar itu lalu mengerjakan apa yang bunda sarankan dulu, shalat 2 rakaat. "Ya Allah tetap kuatkan aku dalam ujianmu ini, bantu aku mendapatkan apa yang kucari dan segera usaikan permainan ini. Jujur saja, aku lelah atas apa yang terjadi tetapi aku percaya engkau takkan meninggalkanku sendiri disini." gumamku lirih sedang lagi dan lagi air mataku datang. Kadang aku bingung berapa banyak airmata yang sudah aku persembahkan untuk semua ini? “ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS Ar-Rad [13] : 39) Aku mencoba membaca arti ayat al-qur'an yang sedang kubuka kali ini, mencoba memahaminya dan mengerti atas apa yang terjadi denganku sekarang. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Anbiya` : 88). إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86). Aku tersenyum akan arti dari ayat ini, ternyata saran bunda yaitu menyuruhku berdo'a tidak salah juga, do'a itu akan terkabul dan Allah pasti akan menghendakinya diwaktu yang tepat nanti. Dan bercerita dengan Allah adalah jalan keluar terbaik jika sesak itu datang, dan aku berdo'a semoga ayah segera sadar menatapku lagi dengan tatapan sayang seperti dulu. Terimakasih bunda, sampai kapanpun kamu akan terus menjadi bunda terbaik untukku. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN