Sebuah Nama

1085 Kata
Hujan telah reda, tapi tidak dengan degupan jantungku yang berdetak liar. Bima memakai helm dan menyadarkanku dari freeze moment yang disebabkan olehnya. "Masih betah disini, Al?" Bima membuyarkan lamunanku. "Eh, udahan ya hujannya. Hehe yuk lanjut." Aku segera mengenakan helm, Bima membantuku mengancingkannya. Jarak kami sangat dekat, aku bisa mencium aroma escada dan hujan dari tubuhnya. Jalanan sudah agak lengang, motor kami pun membelah kesepian Jakarta malam ini. Aku lihat jam, hampir jam 10. Tidak macet, artinya perjalanan ini akan lebih singkat. "Lapar gak, Al?" Tanya Bima "Kamu mau makan dulu?" Aku balik bertanya, ada kesempatan memperpanjang perjalanan. Pikiran nakalku senang. "Makan nasi goreng yuk, enak nih dingin-dingin begini." Jawabnya. Aku mau saja, selama masih bisa ngobrol dengan Bima. "Iya boleh, di mana?" Jawabku menyetujui ajakannya. "Tukang nasi goreng pertama yang kita lihat saja." Bima memutuskan. Ada tukang nasi goreng di pertigaan dekat kompleks perumahanku, Bima berhenti dan bertanya, apakah aku keberatan makan disana. Aku jawab, tidak. Kami pun turun dan memesan dua nasi goreng. Kami duduk berhadapan, Bima membuka smartphone-nya, mengangkat telepon. "Hey, iya. Di jalan, lagi nganterin ceweknya Gerry.Hhmm iya. Enggak tahu nanti. Enggak janji ya, pengennya langsung pulang. Nggak, besok ada kerjaan. Kamu minta antar Galih aja nanti....oke....gpp nanti aku bilang di grup.... Okeee... Bye." Bima menutup teleponnya, aku pura-pura sibuk baca chat. Namun tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Sepertinya dari perempuan, dia menggunakan aku – kamu. "Kerja di mana, Al?" Bima membuka percakapan. Aku meletakkan ponsel di atas meja. "Advertising. Kamu, di mana?" "Wahh. Aku web designer, buka usaha sendiri saja." "Oohh. Jago design dong?" "Bisa aja, enggak jago-jago amat. Kayak ayam nanti. Hehehe." "Hahahaha" "Kenal Gerry dari mana?" "Ayah ibu berteman dengan orangtua Gerry. Kenal dari kecil." "Wahhh. Jangan-jangan kalian sudah jalan dari dulu ya?" "Enggak, baru satu tahun setengah belakangan ini saja." Jawabku. "Keren deh kamu, bisa naklukin Gerry juga. Kukira homo tuh anak hahaha." Menaklukan Gerry? Bima tidak tahu saja dinginnya Gerry jika hanya berdua. Aku nyengir kuda. Nasi goreng pesanan kami datang, baru hendak menyuap, sebuah tepukan di bahu membuatku menoleh. "Sama siapa lo?" Reina, sahabatku, berdiri di belakangku. "Eh Rei, ini sama temen." Bima mengangguk ke Reina, eh dia malah ngajak kenalan. "Reina, temennya Allea." "Bima, temennya Gerry." Jawab Bima. "Lho, Gerry-nya mana?" Tanya Reina pada kami berdua. "Masih temu kangen dengan yang lain, dia minta Bima anterin gue." Jawabku pada Reina. Reina dan aku ngobrol sedikit, tentang yah biasa. Obrolan cewek, hingga nasi goreng yang dipesannya datang. Reina bergegas pulang duluan, dia beli untuk teman kostnya juga. Reina pamit pada Bima dan aku. Sampai motornya, kulihat dia mengirim pesan. Dan ponselku bergetar. Dari Reina, dasar anak itu. Reina Manis juga, Al. Awas khilaf. Aku membalas cepat, memintanya tidak menggodaku. Aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Bima membayar dan kami pun pulang. Di perjalanan tidak ada lagi pertanyaan, menikmati keheningan malam dan dingin sisa hujan. Rumahku sudah dekat, ada perasaan berat untuk turun dari motornya. Duh! "Thank you banget Bim, sudah diantar. Ditraktir nasgor pula." "Sama-sama Allea, nanti bill-nya aku tagih ke Gerry. Hehehe." "Hehehe, iya tagih aja. Kasih pajak juga enggak apa – apa." "Pajak apa nih?" "Pajak nganterin pacarnya." "Hehehe kalau kamu sih, tiap hari nganter juga ikhlas aku-nya." Ini, dia bercanda kan? "Hehehe. Masuk dulu yuk Bim.." "Langsung saja ya, kapan-kapan mampir." "Ohh, iya oke. Hati-hati ya Bim." "Iya Allea, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku masih melihat motornya belok di tikungan. Dan baru kusadari jaket yang kukenakan adalah miliknya. Aku akan segera mengembalikkannya segera. Aku pun masuk ke dalam rumah. Ada Ayah yang masih menungguku, sambil nonton tv. Kuucap salam dan mengecup punggung tangan ayah. Ayah bertanya apakah Gerry yang mengantarkan dengan motor tadi. "Bukan Gerry tadi yang antar, temannya. Gerry masih reunian." Jawabku. "Yaudah istirahat sana." Aku mengangguk dan naik ke kamarku. Kubuka jaket Bima, agak basah. Aku cuci dulu deh, sebelum dipulangin. Aku memiliki kebiasaan merogoh kantong baju atau celana yang akan ditaruh ke tempat cucian. Ada secarik kertas di kantong jaket Bima, khawatir benda penting aku ambil saja daripada basah. Kertas itu terlipat 3. Kepo melanda. Setelah kira-kira 10 menit pertempuran batin, rasa penasaranku menang. Pada sebuah nama, Yang telah lama mengisi tempat di dalam relung hati. Yang pernah pergi dan datang kembali. Sebuah nama, Yang senyumnya menjanjikan keteduhan, dan tatapannya menaklukan amarah rimba di kejauhan. Tak terjangkau. Sebuah nama, tanpa cerita. Izinkan kuukir sedikit kenangan, untuk kau ingat dan kau kenang. Bolehkah aku isi pikiranmu di sepanjang siang dan hinggapi mimpimu pada malam panjang? -Bimasakti Tanggal yang tertera adalah hari Minggu kemarin. Buat siapa ya puisi ini? Ninda kah? Yang tadi telepon, itu Ninda? Aku penasaran. Kucoba menghubungi Gerry. Bertanya, apakah ada temannya yang baru datang, jawabannya memuaskan rasa penasaranku. Ninda dan Tiwi datang setelah aku pulang, jawabnya. Aku mengingat percakapan Bima pada penelponnya tadi, sudah jelas. Itu pasti Ninda, kekasih Bima. Ponselku bergetar, nama Gerry terpampang di layar. "Iya Ger?" "Bima kesini lagi enggak, Beb?" "Enggak tahu, tadi bilang kalau mau langsung pulang sih." "Dia balik katanya." Gerry bicara dengan seseorang disana. "Yaudah, Beb, tidur ya kamu." "Iya." Gerry sangat berbeda dalam chat dan telepon langsung. Aku memilih tidak menghiraukan hal itu dan kembali memikirkan puisi Bima tadi, kulihat lagi tulisannya. Rapi dan bagus. Aku memiliki teori, bentuk tulisan tangan menggambarkan karakter penulisnya. Aku coba-coba nilai karakter Bima. Dia rapi, teratur dan percaya diri. Tulisannya juga sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Siapa perempuan yang membuat Bima menulis puisi ini? Entah untuk alasan apa, aku iri. Eh, apa ini? Mengapa pikiranku terpaku pada Bima lagi. Dia teman Gerry, kami baru kenal. Jaga pikiranmu, Allea! Ponselku bergetar lagi, pesan dari nomor baru. +62812******** Allea, barang bawaan kamu tertinggal di bagasi motorku nih. -Bima BIMA?????? Aku menepuk jidat, adikku menitip sesuatu tadi dan sekarang tertinggal di motor Bima. Segera kusimpan nomor Bima, Milky Way. aku tertawa sendiri melihat nama kontak yang kuberikan untuknya. Aku segera membalas pesan Bima dan mengatakan bahwa jaketnya juga ada padaku. Milky Way Ya oke. Jangan dicuci jaketnya Al. Me Kenapa? Gak enak mulangin baju kotor. Milky Way Santai aja. Jangan pokoknya ya :) Me Yasud, gak ku cuci deh. Besok berkabar ya Bim.. Milky Way Sip Kenapa ya? Apa karena puisi ini? Eh tadi di kantong kanan atau kiri ya? Aku lupa. Kumasukkan kertas itu sembarangan ke kantong jaket sebelah kiri. Semoga dia tidak ingat di mana letaknya, bisa saja dia tahu bahwa aku penasaran. Aku segera bersih-bersih, ingin segera terlelap. Hari yang mendebarkan. Masih terngiang saat Bima menjawab tadi di bawah jembatan layang. "Senyummu, kemarin Minggu." Aku menutup mataku. Dan lelap menarikku jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN