Galaksi Bimasakti

1392 Kata
Bima berjalan masuk ke arah kami, ya iyalah teman-temannya ngumpul disini. Mengenakan kaos hitam nat-geo dan kemeja flanel kotak-kotak hitam merah. Rambutnya diikat asal. Menenteng helm dan jaket. Tersenyum ke arahku. Oke aku GR, lebih tepatnya senyum ke arah kami. Ada sekumpulan kumbang dan kupu-kupu menggelitik perutku, duh. "Wahahahaa rame aja." Bima meninju kepalan tangan Rizky, Ito, Galih, Gerry dan menyalami tanganku. "Ketemu lagi nih sama calonnya Gerry." Katanya tersenyum, menggoda. Tentu saja, mungkin Gerry sudah mengumumkan pada teman – teman dekatnya mengenai hubungan kami. "Hahahaha, kalian harus perform di pernikahan gue nanti. Kasih harga teman ya, Bro!" Gerry berseloroh. Aku meringis. Galih tertawa dan melempar Gerry dengan puntung rokok yang sudah mati. "Nih Bim, ada yang nanyain elo tadi. Pecahan meteor, gimana ya bentuknya? Hahahahaha." Rizky ini ulahnya, sambil melirikku ia mengedipkan sebelah mata. Yang lain tertawa terbahak bahak. "Hehehe, ya begini ini bentuknya." Jawab Bima sambil merentangkan tangannya sedikit. "Hehe, katanya kamu yang nulis quotes di papan Selepas Senja itu? Mereka yang bilang pecahan meteor. Bukan aku lho." Aku membela diri. "Yang nulis tukang. Tapi kutipannya dari aku." Sahut Bima. "Mereka memang gitu, suka ngegibah di belakang. Padahal kangen sama orangnya." Yang lain bersorak ke arah Bima dengan nada wooooooo dan melempar kulit kacang ke arahnya. "Terus elo ngapain kesini? Gak ke galeri?" Galih bertanya ke Bima. Galeri? "Nggak. Libur dulu dong, mumpung ada Bos." Jawab Bima sambil menepuk bahu Gerry. "Terus mau ngapain kita disini? Kalian kan harus perform nanti." "Santai Ger, sampe malem deh elo disini. Abis main, kita lanjut minum." kata Galih. Gerry bertanya padaku, berbisik. "Kamu paling malem pulang jam berapa?" "Besok kerja Ger, maksimal jam 10 aku ya." Jawabku. "Yah Allea ada jam malam nih." Gerry meminta maaf pada mereka. "Tapi kalau kamu masih mau disini gak apa-apa Ger, nanti aku naik gojek aja." Aku gak mau mengganggu acara reuni Gerry. Setelah batal hari minggu kemarin. "Wah, jangan Ger. Cewek kalau udah bilang enggak apa - apa, itu horor man!" Rizky memberi petuah. Aseli ini orang lucu. "Hehehe, santai aja aku mah. Enggak apa – apa beneran Ger. Nikmati aja reunian kamu." Aku meyakinkan Gerry. "Kamu mau pakai ojek online? Mending,aku yang ojekkin. Tenang aja, bill-nya kukasih Gerry. Hehehe." Bima menawarkan jasa, yang sulit kutolak disaat diri ini sangat penasaran dengan dirinya. "Sama Bima enggak apa - apa?" Gerry bertanya padaku, aku menggangguk. "Bisa kan Bim anterin Allea? Gue tunggu disini. Lagian udah kenyang ngobrol sama elo kemaren, bosen juga gue." Bima memiting kepala Gerry dengan bercanda sambil mengumpat 'siyal!' Apakah salah jika aku merasa—senang? Yang kupikirkan saat ini adalah, mengapa aku melewatkan merapikan make up tadi? Kafe mulai ramai pengunjung, beberapa kursi terisi. Rizky memberi komando pegawainya untuk mulai melayani pengunjung mereka. Ito dan Galih pun segera naik ke panggung mini. Mulai memainkan alat musik, penyanyinya seorang pria dengan tubuh tinggi, kurus, bersuara serak tapi lembut. Bima masih duduk bersama kami. Ada personel lain yang menggantikan Bima. Jadi dia tidak perlu isi, katanya. Aku harus mendesah pasrah tidak bisa melihat Bima tampil hari ini. Rizky, Gerry dan Bima pun ngobrol masa-masa kuliah mereka. Rizky ini punya hobi bongkar aib teman-temannya. Tapi aku jadi tahu banyak tentang Bima dan Gerry. Duh kok Bima lagi, pikiranku mulai kemana – mana. Rizky cerita tentang masa kuliah Gerry yang cuek saat dikejar-kejar penggemar perempuan. Tidak heran mendengar Gerry jadi rebutan, dia sudah terlihat ganteng sejak kecil. Tapi Gerry berkilah. "Gue kan fokus belajar , Ky, biar wisuda tepat waktu." Jawabnya, membela diri dengan jumawa. Dan kebalikan dari Gerry, Bima, menurut Rizky justru adalah seorang playboy yang pemalu. Selain pecahan meteor atau kepingan asteroid, playboy pemalu kerap dijadikan julukan untuk Bima, tentu saja dari Rizky. "Playboy kok pemalu? Hehehe." Aku bergumam sendiri, bingung. "Maksud lu, playboy syariah kali Ky." Bima ngeles. "Syariah dari Mesir! Pemalu itu maksudnya Ya', pura-pura nolak padahal disabet juga." Jawab Rizky sambil tertawa puas. Ya'? Dari Lea mungkin. Rizky juga menyebutkan semua nama yang pernah mendekati Bima. Banyak juga fans-nya. Ngeri. Ada satu nama yang membuat Bima tertegun sebentar, saat Rizky menyebut nama Ninda.  "Eh by the way, Ninda gak kesini Bim? Kan tahu kali ada si Boger." Rizky nanya ini ke Bima dan bisa kulihat Bima sedikit ragu menjawab. Boger, nama panggilan Gerry dari Rizky. "Oh genk kalian ada ceweknya juga ya?" Aku ingin tahu lebih jauh, tentang Ninda. "Ada beberapa cewek mah Ya', masa batangan semua, kalah rokok. Hahaha." Jawab Rizky sambil terbahak-bahak. "Elo masih enggak sama Ninda?" Gerry nyeletuk. Pertanyaan Gerry membuatku terpaku. Mengapa baru bahas ini sekarang, Ger? Bisikku dalam hati. "Ada kerjaan mungkin. Tapi tahu kok elo balik." Jawab Bima, flat. Rizky lanjut menceritakan masa kuliah mereka, tidak terganggu dengan perubahan sikap Bima. Aku yang sedikit peka jika sedang memperhatikan seseorang. Bima mendadak berubah sikapnya, sejak nama Ninda muncul di obrolan tadi. Bima suka menulis dan membaca puisi di kampusnya dulu. Tidak heran banyak mahasiswi yang mengaguminya, jaman boleh modern tapi pria dan puisi tidak ada yang bisa mengalahkan pesonanya. Tapi entah mengapa, sejak dulu aku tidak begitu tertarik dengan dunia sastra. Puisi dan sejenisnya, hanya gombalan belaka di mataku. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan jam 08.55 malam. Aku memberi tanda pada Gerry, waktunya pulang. "Bim, jadi gak anter Allea? Gw masih betah disini. Hehehe." Aku menatap Gerry, sebal.  Meski dalam hati bersorak senang. "Oh iya, ayok. Pulang sekarang?" Tanya Bima. "Iya, kalau gak ngerepotin." Jawabku, malu-malu. "Woles aja Alya, seneng Bima mah direpotin. Suruh motong rumput rumah kamu sekalian nanti, mau kok dia juga." Canda Rizky sambil tertawa. Yang di-bully hanya senyum saja. Alya? Hmm. "Ada helm 2 gak?" Aku enggak ada helm. "Nyetok dia mah, Ya. Santai aja sih." Rizky yang nyahut. Aku cuma senyum, membiarkan Rizky memanggilku Lea, Alya. Bebas. "Yaudah, duluan ya Ger. Ky, makasi ya. Aku pulang dulu." Pamitku, pada mereka. "Iya hati-hati, Lea. Semoga selamat sampai tujuan. Eh benjolan asteroid, jangan sengaja ngerem mendadak elo! Inget bawa cewek orang!" Rizky ya bener-bener deh, aku tertawa. Bima cuma senyum lebar menanggapinya. "Yuk aku anter sampai depan." Gerry menggandeng tanganku, aku mengisyaratkan pamit pada Ito dan Galih yang masih di stage mini-nya. "Hati-hati Bim! kalau sudah sampai rumah, text me ya, Beb." Gerry membantuku memakai helm. "Iya." Jawabku, "Bim, boleh taro ini di bagasi? Takut basah kalau hujan." Motor besar Bima memiliki bagasi yang dipasang di sisi belakang jok. Aku memberikan goodie bag berisi baju pesanan adikku, Bima memasukkannya ke bagasi tambahannya itu. Aku pamit pada Gerry. "Daghh, Ger!" "Jalan dulu, Ger!" Pamit Bima, aku melambaikan tangan ke Gerry. Motor pun melaju. Mendung menggelayuti langit Jakarta, tapi udara masih panas dan pengap. Kuberikan alamatku ke Bima, ia mengangguk. Baru juga sampai lampu merah pertama, suara petir menggelegar. Pertanda akan segera turun hujan. Aku menyesali tidak membawa jaket sejak pagi. "Kalau hujan, neduh dulu ya Al." Bima berbicara padaku tanpa membuka kaca helmnya. "Iya, Bim." Dan baru setengah perjalanan hujan turun dengan deras. Bima menepikan motor di bawah jembatan layang. Ada beberapa pengendara motor juga yang berteduh disitu. Aku segera turun dan mencari tempat berteduh. Bajuku basah, hujannya deras sekali. Berharap bajuku tidak basah kuyup, bisa keliatan semuanya yang di dalam. Bima menyusulku, sambil membawa helm. "Tolong pegang ini sebentar." Dia memberikan helm padaku dan melepas jaket. "Ini, pakai ini." Sambil menyodorkan jaket berwarna hitam. Namun, kedua tanganku penuh dengan helm, aku melirik helm-helm tersebut. Bima menarik bahuku ke depan, memakaikan jaketnya padaku. Aku pun menyerahkan helm kepadanya. "Makasi ya, maaf ngerepotin." Aku berterima kasih sungguhan, sambil membetulkan jaket yang kupakai. "Santai, Al." Jawabnya, senyum. "Kayak lagi ngobrol sama Al Ghazali, saya." "Hehehe, waktu sekolah dipanggil Andra. Eh pas si Al terkenal malah jadi dipanggil Allea, biar bisa nyingkat jadi Al. Aku mah pasrah aja, daripada dipanggil 'eh'." Aku jelaskan asal muasal panggilan Al ini. Bima tersenyum, "Tahu enggak, kamu sama kayak hujan." tiba-tiba dia bilang begini. "Sama gimana?" Tanyaku, bingung. "Dipancing sedikit, ngasihnya banyak." jawabnya. Aku tertawa. "Memang hujan bisa dipancing?" Aku tidak mau kehabisan obrolan. "Bisa. Konon memandikan kucing, bisa mancing hujan. Katanya lho ya, belum aku praktekin sih." Jawabnya. "Ooohh. Oiya nanti kamu balik lagi ke kafe?" "Tergantung, kalau basah kuyup lebih baik pulang." dia melirikku. "Hujannya romantis ya." "Dingin gini kok." Sahutku agak menggerutu. "Coba kamu pejamkan mata dan rasakan setiap rintikkannya di telapak tanganmu. Sentuhannya akan membawamu ke setiap kenangan." Aku menatapnya, ia memejamkan mata. "Kenangan apa yang kamu lihat sekarang?" Kulihat bibirnya membentuk senyum. "Senyumanmu, kemarin Minggu." jawabannya, membuatku tertegun. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN