Jam 4 sore, aku bersikeras ingin mandi. Meski Gerry melarangku, dengan alasan dingin. Gerry khawatir karena Lembang hawanya sore ini benar-benar dingin. Tapi aku tidak nyaman dengan tubuh lengket setelah perjalanan tadi.
Rizky dan Galih belanja keperluan untuk api unggun dan panggang – panggang. Sedangkan Ito, Gerry, dan Tiwi mempersiapkan tempatnya. Ninda masih sibuk dengan ponsel, jika tebakanku benar Bima pasti masih di luar jangkauan panggilan Ninda. Dhea selesai mandi dan ikut membantu yang lain mempersiapkan tempat. Aku menghampiri Ninda, lidahku sudah gatal ingin bertanya.
"Hei. Lagi nungguin telepon?" Sapaku, menepuk lengannya pelan.
"Hai, Allea. Iya nih, masih belum nyambung juga. Bima tahu enggak ya kita nginap di sini." Jawab Ninda sambil mengutak – atik ponsel.
"Memang dia mau kesini?"
Suaraku tidak terdengar berharap kan?
"Iya. Semoga dia tahu kita di sini, Villa ini biasa aku tempati kalau lagi kesini sama dia." Jawaban ini menghilangkan rasa penasaranku.
Jadi, mereka sering datang ke tempat ini? Berdua? Dengan cuaca yang mendadak ngajak pelukan ini? Lihat Allea, rasa penasaran sungguh mampu membunuh kucing. Kucingnya itu aku.
"Aku mandi dulu ya." Aku tersenyum semampuku untuk kelihatan tidak peduli. Padahal hatiku sudah tidak karuan.
Bersyukur, air yang tersedia di sini hangat. Meski begitu, rasanya tubuhku masih membeku di bawah guyuran air hangat yang di pancarkan dari shower di atas kepalaku.
Salahmu sendiri, Allea. Rasa ingin tahu kadang tidak selalu membawa kabar baik. Kabar tentang Bima yang sering menginap dengan Dinda di Villa ini, cukup membuat naluriku minta pulang. Tapi di sini aku hanya tamu, orang luar yang dibawa Gerry ke dalam lingkaran teman-teman baiknya. Sudahlah Allea, mungkin kau akan segera menikah dengan Gerry. Hapus Bima dari sel-sel otakmu, batinku berbisik.
Aku keluar kamar ketika langit sudah gelap, sepertinya Gerry lupa bahwa dia membawaku. Dia asyik sendiri bercanda dengan Rizky dan Galih. Ito masih sibuk menyiapkan api unggun dan para perempuan mengobrol bertiga.
Provider yang kugunakan tidak dapat signal, aku memberi kode pada Gerry untuk cari signal. Ia mengangguk asal, tidak begitu fokus pada maksudku.
Aku berjalan menyusuri batu-batu alam yang disusun untuk jalan setapak menuju depan villa. Penerangan depan Villa hanya ada lampu taman yang redup dan di sekitaran sini hanya ada 3 penginapan serupa villa ini. Tapi yang terisi dan terang hanya yang kami tempati.
Jalan raya masih agak jauh, jalanannya menanjak. Tapi aku harus kirim email ke Septi, partner kerjaku, jaga-jaga kalau senin aku terlalu capek untuk meeting. Juga konsep iklan rokok yang sudah aku buat, aku harus segera mengirimkannya ke bang Ari, managerku. Dan provider ini sangat tidak bersahabat di tempat cantik begini.
Aku menatap layar ponsel, dengan gemas. Kalau saja tatapanku seperti Cyclops, pasti sudah hangus ponsel ini. Ayolah, satu garis saja tidak apa-apa. Kesabaranku habis dan memutuskan untuk minta tethering yang lain. Aku pun bangkit dari batu yang kududuki dan berbalik.
'Dukkk'
Aku menabrak batang pohon? Eh bukan, orang. Pasti pria, karna dadanya rata. Pasti tinggi, karna mataku sejajar dengan dadanya. Dan kurus, karena jidatku sakit kena tulang dadanya.
"Sorry.. Sorry.. kamu balik badan enggak pakai aba – aba." Suaranya panik dengan nada menyesal. Aku mengenali suara itu, seketika jantungku berdetak secara liar.
"Kamuuuuuuuu! Kenapa gak bilang – bilang dari tadi disitu?" Aku mendongak dan melihatnya tersenyum jahil.
"Mau ngagetin tadinya. Ngeliat kamu kayak anak ilang gitu, duduk sendirian gelap – gelap." Dia cengengesan, sambil menggaruk kepalanya mungkin karena canggung.
Aku mencibir ke arah Bima, sambil mengusap-usap dahi. Dia ikut mengelus dahiku yang terbentur dadanya, sambil meniup-niup. Seolah dengan begitu jidatku enggak akan benjol. Tapi memang enggak akan benjol sih, cuma kena tulang d**a. Kalau kena tulang kayu, lain cerita.
Dia tersenyum.
"Kupikir enggak kesini." Aku memulai obrolan, dia malah duduk di tempatku tadi. Mau tidak mau aku juga ikut duduk di sebelahnya.
"Hehehe masa kalian ke Bandung, aku enggak sambut." Jawabnya "Jidatmu, gak apa – apa kan? Tulangku keras loh." Terlihat kekhawatirannya dengan jelas.
"Kepalaku lebih keras kayaknya. I'm okay." Aku tidak berani menoleh untuk menatapnya, kualihkan tatapan ke jalan raya yang masih agak jauh di depan kami.
"Aduuuhh, kayaknya dadaku bakalan biru nih." Dia pura-pura memegangi dadanya yang sebelah kanan, padahal yang tadi tabrakan dengan kepalaku yang sebelah kiri.
"Yang ini Pak." Aku membetulkan letak tangannya.
Aku memegang tangannya!
"Oh salah ya. Heheheheh." Aku memutar mata. "Kamu ngapain di sini sendirian? Diusir sama mereka?" Tangannya menopang dagu, wajahnya menghadap ke arahku.
Aku mati gaya.
"Lagi nyari signal, mau kirim email ke teman. Signalku bapuk banget."
"Terus, sudah dapat?" Masih belum mengalihkan pandangannya. Aku melirik sebentar dan kembali melihat seberang jalan.
"Belum. Udah nyerah, mau minta tethering sama Gerry saja." Jawabku.
Suaraku bergetar. Ini karena dingin kan?
"Tethering dari aku saja." Dia mengambil ponselnya dan menyodorkan kepadaku.
Aku membuka ponselku dan menghubungkan ke handphone Bima. Nama wifi-nya Galaksi dan tahu apa password-nya? Milkyway. Aku senyum-senyum sendiri mengingat nama Bima di kontak hapeku.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Enggak apa-apa, Milky way. Lucu aja." Jawabku.
"Iya dulu ada yang manggil aku Milkyway." Kata-katanya menggantung, ia merenung.
Seperti ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Pandangannya kosong, sempat aku berpikir mungkin Bima kesambet. Tempat ini agak horor juga. Aku tepuk lengannya, ia berkedip cepat dan matanya fokus lagi. Menatapku, sedih.
Sumpah demi apa, ada naluri ingin memeluknya. Tapi aku sadar, Gerry ada di sana, juga Ninda. Mungkin hanya beberapa puluh meter dari tempat kami. Tiba-tiba Bima menggenggam tanganku, erat. Aku panik, tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Aku mau peluk kamu, tapi aku tahan." Aku juga, Bima. But stupid me, yang keluar adalah pertanyaan paling konyol sedunia akhirat.
"Kenapa?" Aku hanya berharap Meteor benar – benar menenggelamkanku ke inti Bumi.
"Karena enggak boleh. Hehe, maaf Allea. Aku mendadak labil. Kamu udah kirim email-nya? Kita gabung sama mereka yuk."
Huhuhu maafkan aku Tuhan, hatiku menginginkan Bima.
Bima menggenggam tanganku sepanjang jalan menuju belakang Villa, tempat Gerry dan yang lain menyalakan api unggun. Aku tidak bisa menolak.
Oke! Aku tidak mau nolak. Tapi terlalu pengecut untuk terang-terangan menunjukkan perasaanku. Begitu terdengar suara tawa Gerry, aku segera melepaskan tangannya. Bima mengikutinya, kamu pun tak punya nyali untuk dilihat Ninda kan, Bim? Atau dia hanya menuruti mauku? Entahlah. Yang jelas ini bencana, jika mereka melihat adegan tadi.
Gerry membawa se-plastik minuman beralkohol kalengan, dia melihat aku dan Bima lalu berseru "Wuuiihh kepingan asteroid nongol."
Ninda seketika menoleh dan tersenyum bahagia.
Tidak ada pandangan aneh, melihat kami berjalan masuk barengan atau aku yang tidak pandai menilai pandangan orang lain? Whatever! Keuntungan jadi orang tidak peka adalah, tidak tersiksa dengan perasaan 'merasa dihakimi' atau perasaan-perasaan melelahkan lainnya.
Kami semua duduk mengitari api unggun. Gerry dan aku bersebelahan, di samping kiri Gerry ada Rizky, Ito, Tiwi, Ninda, Bima, lalu Galih, Dhea dan kembali ke aku. Bima tepat di depanku, bayangan api menutupi wajahnya. Matanya, melihatku dengan berani. Rizky memulai permainan, katanya permainan saat mereka kuliah. Tadinya aku menolak ikut, tapi mereka memaksa. Gerry juga tidak kalah menyebalkan memaksaku ikut main game mereka.
Nama permainannya Truth Or Dare, dengan botol bir kosong yang diputar. Jika moncong botol mengarah kepada salah satu dari kami maka dia ditunjuk untuk memilih antara Truth (jujur) atau Dare (berani/diberi tantangan). Yang bertanya bebas, bisa siapa aja, dengan beberapa pertanyaan. Dan permainan pun dimulai.