Bab 15. Malam Pertama Yang Tertunda

1074 Kata
“Mas Dewa!” Maura yang sedang memainkan ponselnya terkejut saat melihat Dewa sudah berada di dalam kamarnya. Ia segera bangun dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke arah sang suami. “Apa benar kamu mencintaiku.” Dewa menatap Maura dengan tajam. Kedua mata pria itu terlihat seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. “A-aku … aku.” Belum selesai Maura bicara pria itu langsung mencium bibir mungil Maura dengan rakus. Bibir suami istri itu kini saling bertaut, lidah mereka saling bermain di dalam mulut masing-masing. Tangan kekar Dewa mulai membuka kancing Maura, sambil terus mengulum bibir Maura yang manis. “Apa kamu mencintaiku?” bisik Dewa tepat di telinga Maura yang mulai memejamkan kedua matanya. “Aku mencintaimu, Mas. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Maura terlihat begitu menikmati perlakuan Dewa pada setiap lekuk tubuhnya. Sambil mulai meremas dua bukit kembar yang terpampang jelas di hadapannya. “Kalau begitu sekarang puaskan aku, kita nikmati malam pertama yang telah tertunda.” Keduanya kini sedang memadu kasih, seolah menikmati malam pertama yang selama ini tertunda. Desahan dan erangan nikmat terdengar keluar dari mulut Maura saat Dewa mulai menindih tubuh seksinya. Tiga puluh menit berlalu mereka akhirnya sampai di puncak kenikmatan yang selama ini belum pernah mereka rasakan. “Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu juga mencintaiku.” Maura kini bersandar di d**a bidang suaminya. “Bagaimana aku bisa bilang, jika kamu saja nggak pernah mengizinkan aku untuk bicara walaupun sebentar.” Dewa memainkan rambut Maura dengan lembut. Maura yang sejak tadi berbaring di d**a suaminya langsung duduk di samping Dewa. “Mas. Kamu nggak akan ninggalin aku ‘kan.” “Bagaimana bisa aku meninggalkan bocil kesayanganku ini.” Dewa tertawa sambil mencubit hidung Maura dengan lembut. Wanita itu kini hanya bisa tersenyum bahagia. Wajahnya terlihat memerah persis seperti udang rebus. Setelah beberapa saat berbincang-bincang mereka akhirnya tertidur pulas. Pagi hari, Linda yang sudah ada di meja makan terlihat panik saat mengetahui Maura dan Dewa belum keluar dari kamar mereka. Bukan tanpa alasan wanita 46 tahun itu khawatir, tatapan mata Dewa yang penuh dengan amarah membuatnya sangat khawatir akan keselamatan Maura. Namun, semua itu harus ia pendam atas perintah Damar. “Kenapa Maura belum keluar dari kamarnya, apa jangan-jangan terjadi sesuatu padanya.” “Ma. Kamu itu ngomong apa sih, Dewa itu suaminya. Jadi mana mungkin dia memperlakukan Maura dengan kejam.” Damar menggigit sebuah roti yang sudah diolesi dengan selai kacang. “Pa. Apa kamu nggak lihat bagaimana tatapan Dewa malam itu, bagaimana kalau mereka bertengkar dan Dewa bertindak yang melewati batas.” Linda menatap suaminya dengan kasar. Damar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Pria paruh baya itu tidak menjawab ucapan Linda sama sekali. Ia terus menikmati sepotong roti yang ada di tangannya. Hingga tanpa sengaja kedua matanya menatap ke lantai dua, tepatnya ke arah dimana Dewa dan Maura berjalan beriringan sambil menggendong Albert. “Kamu lihat ke sana.” Damar berbisik pada Linda yang duduk tepat di sampingnya sambil menunjuk ke lantai dua. “Dewa, Maura. Bagaimana mereka bisa —” “Kamu nggak perlu khawatir, aku yakin Dewa adalah laki-laki yang terbaik untuk Maura. Itulah kenapa aku memilihnya sebagai suami pengganti bagi Maura.” Damar menjelaskan sambil terus memperhatikan Maura dan Dewa. “Kamu benar, Pa. Dewa memang pria yang sangat bertanggung jawab.” “Selamat pagi, Ma. Pa.” Sapa Maura sambil tersenyum bahagia. Pagi ini adalah pagi pertama Damar dan Linda melihat kembali senyum di wajah putri kesayangan mereka. “Pagi, Tuan. Nyonya.” Dewa terlihat gugup saat menyapa Damar dan Linda. Hal itu tentunya membuat dua orang yang ada di hadapannya tertawa melihat tingkah menantunya itu. “Kamu nggak perlu lagi memanggil kami dengan sebutan Tuan dan Nyonya. Panggil kami Mama dan Papa saja, lagi pula sekarang kamu juga bukan supir pribadiku.” Damar tertawa di hadapan Dewa yang masih terkesan kaku dan gugup. Bagaimana tidak hampir tiga tahun ini ia bekerja sebagai supir pribadi Damar sekaligus orang kepercayaannya, dan kini ia justru menjadi menantu pria berusia lima puluh tahun itu. “Yaudah, sekarang kalian duduk. Biar kita bisa makan bersama!” perintah Linda sambil mempersilahkan Maura dan Dewa duduk. Beberapa saat kemudian mereka akhirnya selesai menikmati makan malam bersama. Damar yang masih ingin menikmati kebahagian putri dan menantunya segera meminta keluarganya untuk berkumpul di ruang tamu. “Papa bahagia bisa melihat kalian bersama seperti dulu.” Damar tersenyum ke arah Maura dan Dewa secara bergantian. “Kamu benar, Pa. Ini pertama kalinya aku melihat senyum bahagia di wajah Maura setelah hampir satu tahun ini menghilang.” “Terima kasih, Pa. Karena sudah memberikan aku jalan untuk mengungkapkan perasaanku pada Maura, aku nggak tahu apa yang akan terjadi jika aku tetap pada keegoisanku.” Dewa menatap mata wanita yang ada di sampingnya dengan penuh cinta. “Terima kasih. Maksudmu Papa yang sudah —” “Iya, Papa mu ‘lah yang sudah membuatku sadar jika aku memang mencintaimu, Maura.” Dewa langsung menggenggam tangan Maura dengan erat. “Setelah ini aku janji nggak akan melepaskan genggaman tanganku darimu.” Gadis itu langsung tersenyum bahagia mendengar ucapan Dewa. Ada rasa lega dan bahagia dalam hatinya, karena dengan kejadian ini ia akhirnya bisa bersatu kembali bersama orang yang dicintainya selama ini. “Oh ya, Ma. Dewa ini ternyata putra dari Alex Atmaja, seorang pengusaha timah terbesar di Indonesia. Dan sekarang dia sedang memimpin perusahaan ayahnya.” Damar menceritakan kepada Linda siapa Dewa sebenarnya. “Jadi selama ini kita sudah salah mengira, aku pikir dia hanya pemuda biasa yang memiliki tanggung jawab besar di pekerjaanya.” Linda menoleh ke arah Dewa dan Damar secara bergantian. Perbincangan hangat terjadi diantara empat orang itu. Keakraban perlahan mulai terjadi antara Dewa dan kedua mertuanya. “Oh ya, Sayang. Hari ini aku akan mengajakmu dan Albert pergi ke suatu tempat, kamu mau ‘kan.” Tiba-tiba Dewa menoleh ke arah Maura yang sibuk memberikan Asi pada Albert. “Iya, Sayang.” Wanita itu menjawab dengan senyum. Setelah berpamitan pada Damar dan Linda keduanya langsung segera berjalan ke luar. Perlahan mobil Dewa mulai melaju keluar dari halaman rumah itu dan segera menuju ke suatu tempat. “Memangnya kita mau kemana, Mas?” tanya Maura yang sedang mendekap Albert di dadanya. “Kamu tenang saja, aku yakin kamu pasti akan bahagia.” Dewa menjawab sambil mengemudikan mobilnya. Tidak berapa lama mereka akhirnya tiba di tempat tujuan. Wajah Maura yang awalnya tersenyum bahagia, kini berubah menjadi murung. Rumah ini, ya ampun bagaimana ini.” Gumamnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN