Bab 11. Teriakan Dari Kamar

1350 Kata
“Emang dia pikir siapa, bisa mempermainkan ku seperti ini.” Maura terus mengumpat sambil memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Setelah semua sudah selesai Maura segera menarik kopernya keluar dari kamarnya. Bersamaan dengan itu, Mbok Darmi yang merasa iba dengan keadaan Maura berjalan ke kamar sang majikan sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman kesukaan Maura. “Non Maura. Nona mau kemana, kenapa membawa tas besar itu?” tanya Mbok Darmi yang tanpa sengaja berpapasan dengan gadis itu. “Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, aku nggak mau tinggal dengan pembohong seperti pria sinting itu.” Gadis itu menjawab sambil terus menarik tas kopernya turun ke lantai bawah. Mbok Darmi yang sangat mengerti keadaan Maura segera berusaha membujuknya agar mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah. Namun, hal itu justru tidak mendapat tanggapan apapun dari Maura, ia terus berjalan tanpa mempedulikan ucapan asisten rumah tangganya itu. Kini Maura dan Mbok Darmi sudah ada di ruang tamu. Terlihat Dewa masih duduk di sofa dengan masih menggunakan kaca mata hitam kesayangannya. “Biarkan saja dia pergi, Mbok. Tugas kita menampungnya di rumah ini sudah selesai.” Pria itu mulai melepas kaca mata hitamnya dan meletakkannya di atas meja. “Menampung? Kamu bilang selama ini kamu menampungku, kamu pikir aku gembel yang nggak punya rumah! Lihat saja setelah anak ini lahir aku akan segera mengurus surat perceraian kita berdua.” Hardik Maura sambil memandang wajah Dewa dengan penuh kebencian. Ia tidak menyangka jika Dewa selama ini hanya menumpang di rumahnya. “Ya Allah. Kenapa kalian begitu seperti anak kecil, kalian berdua itu sudah dewasa harusnya kalian malu terus seperti ini. Bagaimana pun juga kalian ini suami istri dan sudah menikah.” Mbok Darmi mencoba meredahkan ego kedua orang yang ada di dekatnya. Selama ini wanita paruh baya itu selalu berusaha untuk sabar menghadapi keegoisan pasangan suami istri itu. Tetapi kali ini ia seakan tidak dapat lagi menahan rasa sabarnya. Ia segera menoleh ke arah Maura yang terlihat memonyongkan mulutnya sambil melipat kedua tangannya. “Non Maura. Nggak pantas sebagai seorang istri Nona pergi dari rumah suami dalam keadaan marah, apalagi saat ini Nona sedang mengandung dan akan segera melahirkan.” “Tapi pria ini bukan Ayah dari anakku, jadi nggak masalah dong aku pergi dari rumah ini.” Maura terus beranggapan jika apa yang ia lakukan itu benar. “Terlepas dari siapa Ayah anak ini, tapi yang pasti saat ini Nona adalah istri Sah Tuan Dewa. Jadi hargai dia sebagai suami mu, paling tidak sampai Nona melahirkan.” Menghargai pria egois seperti dia, oh … tidak mungkin, yang ada aku malas melihat wajah sombongnya itu,” batin Maura sambil melirik ke arah Dewa yang sedang memainkan gawainya. “Menghargainya! Apa Mbok nggak salah, bagaimana mungkin aku bisa menghargai orang yang nggak bisa menghargai aku. Mbok lihat saja apa yang di lakukan pria sombong itu, apa itu yang dibilang menghargai orang lain.” Maura mulai meninggikan suaranya hingga membuat Dewa terkejut. Pria tampan itu segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan langsung berdiri dari tempat duduknya. “Kamu sendiri ‘kan yang bilang kalau kamu akan pergi dari rumah ini. Lalu kenapa harus aku larang, kamu bukan anak kecil yang harus aku awasi selama 24 jam. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau, persis seperti saat kamu ada di rumah orang tuamu.” “Mbok lihat sendirikan bagaimana dia memperlakukan aku.” Gadis itu kini mengadukan sikap Dewa pada Mbok Darmi. “Sudah-sudah. Lebih baik sekarang Nona masuk ke dalam kamar, tenangkan dulu emosi kalian. Nanti kita bicarakan baik-baik!” ajak Mbok Darmi sambil memegang tangan Maura. Tetapi dengan cepat tangan tua dan keriput itu langsung di tampis oleh Maura. “Enggak mau! Aku mau pulang ke rumah orang tuaku.” Ia kini memandang Mbok Darmi dengan tajam. Tidak berapa lama terdengar sebuah mobil berhenti di depan rumah Dewa. Beberapa kali mobil itu mulai membunyikan klakson. Maura yang mendengar suara mobil tersebut segera keluar dari rumah itu. “Ingat sampai kapanpun aku nggak akan kembali ke rumah ini, dan aku akan minta Papa untuk segera mengurus surat perceraian kita berdua.” Wanita itu menoleh sekilas ke arah Dewa sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Beberapa saat setelah memastikan jika sang istri sudah benar-benar pergi, Dewa kini hanya bisa duduk termenung di sofa. Sementara Mbok Darmi segera kembali le dapur dan mulai melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. “Apa mungkin aku sudah kelewatan dalam memperlakukan Maura,” ucap Dewa sambil mengusap wajahnya dengan kasar. *** Linda dan Damar yang baru saja pulang dari menghadiri acara pertemuan terkejut saat melihat sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. “Siapa itu, Pa. Apa mungkin itu mobil Dewa.” Linda terlihat begitu penasaran dengan mobil tersebut. “Sepertinya bukan, karena kemarin Dewa bilang kalau hari ini dia libur. Karena ada acara keluarga di kampungnya,” jawab Damar sambil terus melihat ke arah mobil tersebut. Setelah beberapa saat mereka terlihat penasaran dengan mobil yang kini berhenti di hadapannya. Tidak berapa lama Maura terlihat turun dari mobil tersebut. “Maura.” Linda segera menghampiri putri kesayangannya. “Kok kamu ke sini sendirian, di mana Dewa.” “Udahlah. Ma, nggak usah bahas pria sombong itu.” Gadis itu terlihat keluar dari mobil dengan kesusahan. Wajahnya juga menunjukkan jika saat ini dirinya sedang sangat kesal pada Dewa. “Ya udah. Kamu masuk saja ke dalam, biar tas ini Papa yang bawa masuk.” Damar langsung menoleh ke arah sang putri. “Ma, ajak Maura masuk ke dalam.” Damar segera menerima ransel yang di berikan supir taksi online padanya. Pria berwajah oval itu juga tak lupa memberikan beberapa lembar uang pada supir tersebut. Setelah menunggu beberapa saat, Damar segera membawa tas itu masuk ke dalam rumah. Dan segera membawa tas koper Maura ke kamar sang putri. “Sekarang cepat katakan, kenapa kamu pulang kemari. Bukankah Papa sudah bilang kamu nggak boleh pulang ke rumah ini sebelum anak itu lahir.” Damar menunjuk ke arah perut buncit Maura. Rahangnya menggeras dengan tatapan mata yang sangat tajam. Ia seolah masih menganggap anak yang ada di dalam kandungan Maura sebagai aib yang harus di tutupi. “Papa bisa nggak sih bicara sedikit lembut ke aku! Aku ini udah pusing, Pa. Aku ke sini untuk menangkan diri, bukan untuk mendengar ocehan Papa!” bentak Maura yang langsung berdiri dari tempat duduknya. Damar yang tidak terima dengan sikap Maura langsung menampar pipi sang putri dengan keras. “Tutup mulutmu, Maura! Sekarang juga kamu cepat kembali ke rumah Dewa. Sebelum Papa menyeretmu dengan paksa.” “Astagfirullahaladzim! Pa.” Linda langsung memegang tangan putrinya dan menjauhkan Maura dari Damar. “Kamu kenapa sih, Pa. Apa kamu nggak kasihan dengan Maura, biarkan dia istirahat dulu. Baru nanti kita bicarakan semuanya baik-baik!” bentak Linda dengan mata yang melebar sempurna. Damar yang tidak dapat berkata apa-apa langsung meninggalkan kamar Maura. “Kamu istirahat dulu, nanti kita bicarakan masalah ini lagi.” Linda memeluk Maura dengan lembut. Setelah menenangkan Maura, wanita berambut panjang itu segera meninggalkan kamar tersebut. Baru saja ia membuka pintu, ia melihat Damar masih berdiri di depan kamar Maura. “Pa. Aku tahu apa yang kamu rasakan, tapi bukan berarti kita bisa melakukan hal yang kasar pada Maura.” Linda kini berdiri di belakang Damar sambil memegang pundak sang suami. “Tapi kedatangan dia ke sini tanpa suami akan membuat aib untuk kita, apa kamu mau semua orang tahu jika dia hamil tanpa suami.” Damar menoleh ke arah Linda. Linda hanya tersenyum sambil menarik nafas panjang. “Tapi semua udah berbeda, Pa. Semua orang tahu jika Maura itu sudah menikah, jadi itu anak itu bukan lagi aib bagi keluarga kita. Lagi pula gimana pun juga anak itu cucu kita, apa kamu nggak kasihan jika ada hal yang buruk terjadi padanya.” Damar hanya bisa terdiam mendengar ucapan sang istri. Ia seolah berpikir apa yang di katakan Linda ada benarnya, semua orang tahu jika Maura sudah menikah. Jadi anak itu bukan lagi aib bagi keluarga Hutama. Di saat mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar sebuah benda jatuh dari dalam kamar Maura. Yang akhirnya membuat Linda dan Damar langsung terkejut. “Mama.” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN