Hari-hari Vina mulai disibukkan dengan aktivitas perkuliahannya. Awal-awal semester ini rutinitasnya masih seputar antara lingkungan kampus dan kosannya saja. Sebagai anak rantau akhir pekan pun Vina manfaatkan dengan beristirahat ataupun mengurusi segala aktivitas bersih-bersih di kamar kosan.
Jam bangun yang menjadi lebih siang juga kesempatan bermalas-malasan tidak disia-siakan Vina. Buktinya pukul sembilan pagi gadis itu baru melanjutkan aktivitasnya selain di atas tempat tidur. Berencana mencuci baju kotornya dia bersiap dengan celana kolor, kaos oblong, dan rambut yang dicepol berantakan. Dia siap bertempur sembari menyalakan playlist music untuk mengiringi kegiatannya. Berkutat dengan cucian ditemani alunan lagu yang sesekali membuat Vina ikut bernyanyi, ia tampak menikmati waktunya dengan tumpukan baju kotor.
Baru sampai dibilasan pertama dering ponsel menghentikan aktivitasnya. Mengelap tangannya yang basah di kaos yang ia kenakan dan segera mengangkat panggilan yang ternyata dari sahabatnya.
“PINOOOOI ALPINOI”
Suara cempreng menyapa pendengaran Vina hingga ia segera menjauhkan telponnya dari telinga
“Ress bising banget sih”
“AAAAAAA kangen tau Na”
“Idih idih lebaynyaa”
“Ih kita udah ga ketemu berapa bulan yak? atau malah setengah tahun”
“Iya kayaknya, gimana??? masih betah berguling kanan kiri di kasur? ahahahah”
“s****n kamu Na, aku ikut les yaa tapi agak nyesel ambil yang online. Bener kata kamu jadi sakit punggungku. Jompo banget dah rasanya”
Mendengar celotehan Resti yang memang tidak akan berhenti dalam waktu singkat, Vina pun memutuskan untuk memasang earphone dan melanjutkan mencuci. Resti mulai menceritakan semua aktivitasnya hingga cerita random yang dia alami.
"Gimana dah rasanya jadi anak coolyah? Banyak cogan dong?" Kini topik yang digiring sudah seputar cerita dari Vina.
"Banyaaaaaaak"
"Widih move on nih"
"Iya Res banyak cogan tapi juga ada cowok cantik sih"
"Bisaan deh nie anak debat, mainin kata"
"Res.... aku ketemu dia" Vina menghentikan tangannya, tidak lagi mengucek baju tapi hanya memainkan air dalam ember.
"Yang bener Na? Di mana anjir? OMG!!!" Resti tidak bisa menahan rasa terkejutnya.
"IIIhhh Res kupingku sakit, teriak-teriak mulu"
"Jawab Na di mana ketemu orangnya?"
"Ga Res, bukan dia. Tapi mirip dia"
"Jiaaaakh gamon ni anak, aku kira kapalku berlayar. Udah gemes banget tauu dengerin curhatan kamu semasa di SMA. Rasanya pengen banget pindah sekolah biar bisa nyomblangin kamu gitu"
"Haluuuu haluuuuuu, dari kapan tahun pasti ngomongnya begitu" Vina terkekeh sendiri.
"Aku yakin kesibukan kampus dan orang-orang baru di sana bakal bikin kamu gampang
lupain dia Na, bisa yuk bisaaa" Mendengar penuturan sahabatnya itu Vina semakin tenggelam dalam pikirannya. Memandangi jari tangannya yang mulai keriput karena terendam air cukup lama.
“Na? kamu nangis”
“Ga laah apaan nangis?”
“Ohoooohoo masih Vina yang sama ternyata buaguuuus. Yang bikin orangnya mirip sama dia apanya Na?”
“Tengkuknya”
“Hadeeeeeh PINOOOOI kamu tu masih kepikiran dia makanya semua orang kelihatan kayak dia, kamu itu lagi kangen dia”
“Iya kalik yaa”
“Hubungin aja napa sih!?”
“Setelah apa yang dia bilang terakhir kali itu Res? Yaakalik aku bakalan ganggu dia”
“Hadeeeeeh dilema pemuda”
“Kek nenek nenek deh persis ahahaahha”
“Hahahahah pokoknya kamu harus happy yak, jangan spaneng-spaneng. Rileks aja jalanin masa kuliahnya. Kamu udah terlalu ng-push diri kamu selama sekolah Na. Diselingin ngurusin pacar boleh dong hahahaha”
“Kamu kok jadi bijak nyrempet sengklek gini sih Res?”
“Mohon maaf kayaknya ini gara-gara-gara bergaul sama kamu deh Na”
Obrolan sepasang sahabat dari kecil itu masih berlanjut membicarakan banyak hal. Hingga Vina selesai mencuci baju, panggilan itu baru diakhiri. Merebahkan tubuhnya yang pegal-pegal sehabis mencuci Vina termenung menatap langit-langit kamarnya.
Terngiang kata-kata yang diucapkan Resti tadi dari seberang telepon. Sebuah harapan untuk hati dan pikiran Vina. Berharap dia bisa melupakan seseorang itu. Belum ada satu tahun, maka wajar saja jika semua tentang orang itu masih berputar di pikirannya. Vina mencoba memberi sugesti perasaan nyaman untuk dirinya sendiri.
KRIIIIUUUUUK
Suara perut Vina memecah kesunyian di kamar kosan itu. Vina menertawakan dirinya sendiri betapa perutnya sudah memberi alarm bahwa dia belum sarapan hari itu. Hampir empat tahun tinggal terpisah dari orang tua Vina tumbuh menjadi gadis mandiri yang bisa melakukan pekerjaan rumahnya sendiri mulai dari mencuci baju, memasak, juga membereskan kamarnya.
Menu sarapan sekaligus makan siang yang sederhana telur balado manis pedas menjadi masakan andalan Vina. Setelah menyelesaikan acara makannya Vina kembali bersantai di atas tempat tidurnya. Sabtu adalah hari merdeka yang Vina atur untuk dirinya sebelum hari minggu di terror tugas dan persiapan untuk hari senin. Di atas tempat tidur itu Vina membolak-balik halaman herbarium book miliknya. Koleksi yang sudah dia kumpulkan sejak jaman SMP.
Terhanyut dengan tanaman-tanaman kering dengan deskripsi juga cerita di balik proses mendapatkannya. Pikiran Vina melanglang buana pada setiap momen-momen itu. Beberapa di antaranya ada daun buah anggur yang ia dapatkan diperjalanan sepulang sekolah dari bangku sekolah menengah pertama pada siang yang terik bersama salah satu sahabat, tumbuhan paku sebagai penanda momen kepindahannya ke kontrakan saat sekolah menengah atas.
Salah satu halaman menahan Vina cukup lama dibandingkan yang lain yaitu spesimen dari jenis rumput liar dengan bunga-bunga putih yang ia dapatkan saat menonton pensi di sekolah. Saat itu dia tengah mengamati dari kejauhan acara tersebut bersama seseorang yang pada hari itu berkata sembari menatap Vina “aku di sini karena sebagian dari diriku sudah di sini”
Lembar berikutnya bahkan masih membawanya pada satu jenis perasaan yang sama di halaman itu sebuah kelopak bunga mawar yang diberikan oleh orang yang sama kepada Vina. Hari itu mereka cekcok karena Vina melarang laki-laki itu untuk memetik tangkai bunga cantik yag tumbuh di taman samping ruang perpustakaan. Tidak menuruti sepenuhnnya perintah Vina, ia justru mengambil satu kelopak bunganya dan dengan santai berkata “ini buat koleksi herbariummu” Beberapa tahun terakhir memang bukan hanya Vina yang menikmati buku koleksinya ini tapi ada satu penikmatnya yang acap kali menengok antusias menghabiskan waktu duduk bersama pemilik bukunya.
Tersadar dari pikirannya yang mengawang sampai ke mana-mana Vina menarik jurnalnya dari tumpukan buku di meja samping tempat tidur. Isi kepalanya sangat riuh, dadanya bergemuruh, dan isi hatinya terasa penuh.
Entah karena memang aku menyukaimu sehingga semua tentangmu aku menghafalnya. Seperti kan kutemukan punggungmu di antara orang-orang yang berkumpul membelakangiku atau juga suara deru sepeda motormu, satu-satunya yang kuhafal karena mungkin kamu yang paling sering membawa tubuh ini di jok belakang di jalanan pada banyak waktu yang telah kita habiskan.
Mungkin benar jika aku merindukanmu sehingga semua hal menjadi tentangmu. Kupikir aku bertemu denganmu tapi tersadar itu bukan kamu. Postur tubuh itu, punggung orang itu, oh potongan rambut cepaknya, juga tengkuknya. Itu kamu. Terlalu sepertimu.
Senyuman orang itu menyebalkan seperti kali pertama aku melihat senyummu.
Lain kali tidak apa-apa ya jika aku menyetujui ajakannyna untuk naik membonceng di sepeda motornya? Oh atau mungkin juga bukan dengan dia karena bisa jadi ada orang lain. Biarkan aku menikmati riuhnya jalanan bersama seseorang yang baru. Ya perjalanan ini masih panjang maka aku akan berpapasan dengan banyak orang baru.
Kamu apa kabar?