TIGA PULUH TUJUH

1083 Kata
Baron mengetuk pintu ruangan Bambang sebanyak tiga ketukkan kemudian masuk. Asisten Bambang yang saat itu sedang memberikan laporan entah apa segera pamit begitu melihat kedatangan Baron. Baron menghampiri Bambang yang tengah duduk di kursi kerjanya, memberi hormat demi menjaga etika. Bambang meletakkan pena mahal miliknya di kotak persegi panjang yang dia dapat saat membelinya. Itu adalah pena seharga belasan juta rupiah yang biasa digunakan untuk menandatangani dokumen-dokumen penting. Tidak hanya itu, dia juga memiliki koleksi pena lainnya dengan masing-masing ciri khas, ada yang berlambang “B” sebagai inisial namanya, ada yang terukir parafnya, serta ada yang bisa digunakan sebagai alat perekam. Bambang menyandarkan tubuhnya di kursi ternyaman yang ada di Polres Bandung Barat, ada banyak orang yang menginginkan jabatan itu. Beberapa dari mereka bahkan mampu menghalalkan segala cara agar bisa duduk di kursi tersebut. Namun yang tersulit bukanlah meraih jabatan Kapolres melainkan mempertahankan dan menjalankan tugas serta fungsi sebagaimana mestinya. Godaan yang diterima oleh seorang anggota Polri akan lebih besar ketika mereka sudah menduduki jabatan Kapolres. Akan ada banyak orang mencoba untuk menggoyahkan prinsip yang sudah dipegang teguh. Saat itulah integritas Kapolres akan diuji. Entah mereka mampu mempertahankan sumpah profesi sebagai seorang anggota Polri, atau justru mereka terbuai oleh kenikmatan sesaat. “Jadi bagaimana proses penyelidikan kasus seorang wanita yang ditemukan tak bernyawa karena racun sianida?” Tanya Bambang. Rupanya dia ingin menanyakan tentang kasus Mayang. Baron melirik ke atas meja kerja Bambang, ada beberapa berkas di sana yang Baron yakini adalah berkas kasus Mayang. Bambang pasti sudah mendapat gambaran tentang perkembangan kasus itu, entah siapa yang menyerahkannya. Baron menjawab dengan sigap sudah sejauh apa perkembangan penyidikan yang dia dan Taka lakukan. “Hari ini saya akan menemui target ketiga yang mana merupakan pemilik dari steam mobil tempat Mayang bekerja.” Baron tidak menyangka dengan respon Bambang, atasannya itu berkata, “Jika dia bukanlah pelakunya, lantas apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?” “Kami akan terus memperluas penyelidikan hingga menemukan petunjuk-petunjuk yang lain.” “Kalo ternyata tidak ada pelakunya, bagaimana?” Tanya Bambang lagi. Baron menyerngitkan dahi, “Maksud Bapak?” “Ya, pelaku bisa saja tidak ditemukan karena itu bukan kasus pembunuhan.” Baron berdiri gusar, “Bagaimana mungkin bukan kasus pembunuhan? Saya benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Anda.” Ujarnya sambil geleng-geleng kepala. Bambang mengambil salah satu berkas kasus Mayang, “Begini saja, saya beri waktu satu bulan lagi untuk kau menyelesaikan kasus kematian Mayang. Jika dalam satu bulan kau tidak bisa menemukan siapa pelakunya, maka kita buat gampang saja kasus ini. Kita tutup kasus ini dan anggap sebagai kasus bunuh diri.” Ujarnya santai. Baron tidak mengerti mengapa sekarang atasannya itu selalu memburu-burui suatu kasus. Padahal, tidak semua kasus bisa diselesaikan secepat kilat. Ada banyak kasus yang bahkan harus diselidiki selama bertahun-tahun. Tadi apa katanya? Satu bulan lagi? Baron sungguh tak habis pikir. Baron menatap atasannya lamat-lamat, “Saya tidak akan biarkan kasus yang sudah jelas-jelas pembunuhan disimpulkan menjadi kasus bunuh diri. Saya tidak akan biarkan itu.” Ucapnya tegas. “Kalau begitu, segera tangkap pelakunya sebelum bulan depan, itupun kalau ada.” Balas Bambang. Ucapan Bambang hari itu menghilangkan niat Baron untuk bersikap baik padanya. Setelah itu, Baron langsung keluar ruangan tanpa berpamitan sebelumnya. Baron hanya akan menjaga etika kepada seseorang yang juga menjaga etikanya. Begitu keluar, rupanya Taka sudah menununggu di luar ruangan. Ia pasti ingin tahu apa yang senior dan atasannya itu bicarakan. Selain itu, dia juga ingin memastikan bahwa tidak ada lagi perdebatan di antara mereka berdua. Namun melihat ekpresi wajah Baron ketika keluar dalam keadaan garang dan kecewa, Taka sadar jika semuanya tidak baik-baik saja. “Kau baik-baik saja?” Taka mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sudah dia ketahui jawabannya. “Aku baik-baik saja jika kita bisa menemukan pelaku pembunuhan Mayang dalam waktu satu bulan. Jika tidak, kasus ini akan ditutup dan dianggap sebagai kasus bunuh diri.” Jelasnya sambil berjalan menuju parkiran mobil. Tidak ada waktu bagi Baron untuk berleha-leha, dia harus segera bertemu dengan pemilik steam mobil. “Maksudmu kasus Mayang akan seperti kasus Karisa????” Baron menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah juniornya, “Ya, itu gila, bukan? Aku tidak ingin kecolongan untuk yang kedua kalinya. Aku akan buktikan pada Pak Bambang kalau ini adalah kasus pembunuhan. Kau mau ikut? Aku ingin bertemu dengan target ketiga kita.” Ajak Baron. Mereka berdua kini sudah berada di depan mobil Baron. “Maaf, hari ini aku harus ikut rapat dengan anggota tim yang lain.” Ujarnya menyesal. Selain sedang menyelesaikan kasus Mayang bersama Baron, Taka juga diminta oleh Kapolres untuk bergabung dalam penyidikan kasus perampokan di salah satu toko emas yang terletak di Pasar Baru Bandung Barat. Baron menepuk punggung Taka, “Tidak apa, biar aku yang menemuinya hari ini. Kau jalankan saja tugasmu.” Ujarnya lalu menaiki mobil dan tancap gas menuju steam mobil. Baron sudah tahu target ketiganya ada di sana. Tadi pagi Imam memberitahu bahwa hari ini atasannya akan datang ke steam mobil. Dengan begitu maka Baron tidak perlu repot-repot mencarinya di tempat hiburan. Begitu tiba di sana, Syamsudin sedang menyantap lontong sayur sebagai menu sarapannya. Ia terlihat begitu menikmati perannya sebagai suami dari pemilik steam mobil. Namun begitu bertemu Baron, lontong sayur yang tadi terasa begitu nikmat mendadak jadi terasa hambar. Dia mungkin berpikir Baron akan menangkapnya atas tindakan ilegal lain yang biasa dia lakukan, seperti berjudi atau menggunakan jasa PSK. Baron begitu mengenal tipe-tipe seperti Syamsudin. Tapi kali ini, fokusnya bukanlah hal itu. “Anda harus ikut saya ke Polres Bandung Barat untuk melakukan interogasi terkait dengan kasus kematian Mayang.” Berbeda dengan dua target yang lain, Baron akan menginterogasi Syamsudin langsung di kantor polisi karena ada hal lain yang ingin dia lakukan. Syamsudin tidak bisa berkutik. Tubuhnya gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti perintah Baron. Hari itu Baron benar-benar berada dalam mode garang, bahkan Imam pun sungkan untuk mengajaknya bicara. Baron lalu mengajak Syamsudin ke meja kerjanya, dia akan menginterogasi pria itu di sana sembari mengetik jawaban Syamsudin di komputer. Keduanya kini sudah duduk berhadap-hadapan. Sebelum interogasi dimulai, Baron meminta Syamsudin untuk menyerahkan ponselnya. Pria itu pun menyerahkannya dengan ragu. Tak pakai lama, Baron langsung memeriksa ponsel Syamsudin dengan detail dan teliti, termasuk riwayat perjalanannya pada hari kematian Mayang. Baron pun menemukan petunjuk baru yang tidak dia ketahui sebelumnya. Dengan tatapan tajam, Baron bertanya pada Syamsudin, “Pada hari kematian Mayang, riwayat perjalananmu menunjukkan jika kau sempat datang ke komplek rumah Mayang, untuk apa kau datang ke sana?” Tanya Baron. Mata Syamsudin terbelalak. Tak mampu menjawab pertanyaan Baron.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN