Julie yang sedang bersiap untuk mengikuti upacara bendera lalu dipanggil oleh PaK Wira untuk datang ke ruangan kepala sekolah. Hari itu, Julie, Adiwiyata, Wira dan Tia terpaksa tidak mengikuti upacara karena harus mendiskusikan masalah tersebut. Dalam perjalanan menuju ruang kepala sekolah, Julie sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Rupanya benar, orangtua Tia bukanlah orang sembarangan karena bisa mengendalikan kepala sekolah. Pantas saja jika selama ini Tia selalu bertindak sesuka hati, dia jadi bersikap seenaknya kepada semua murid, tak terkecuali Karisa. Hanya saja, Julie kagum pada Karisa karena sepertinya anak itu sama sekali tidak takut pada Tia dengan menganggapnya seolah tidak apa. Padahal bisa saja, Tia pernah melakukan satu hal yang sangat menganggu atau menyakiti Karisa, namun itu tidak membuat mental Karisa jatuh. Jika rundungan dari Tia nyatanya tidak berpengaruh pada diri Karisa, kesulitan apa yang sudah dilalui oleh Karisa hingga membuatnya menjadi anak yang pendiam dan menutup diri hingga orang-orang menganggapnya depresi? Itu pasti bukan hal sepele.
Julie mengikuti langkah wakil kepala sekolah yang menuntunnya ke ruang Adiwiyata. Begitu pintu di buka, dia dapat melihat ada Adiwiyata, Tia, dan seorang wanita paruh baya yang dia yakinin adalah ibu dari Tia. Meski disambut dengan tatapan sinis, namun Julie tetap berusaha tersenyum untuk menjaga sopan santun. Padahal jika dia mengesampingkan etikanya sebagai seorang guru, dia bisa saja melengos masuk tanpa memberi salam. Adiwiyata lalalu mempersilahkan Julie untuk duduk di depan Tia dan Maminya. Satu set sofa yang ada di ruangan kepala sekolah memang berbentuk letter U. Satu kursi berada di tengah yang kini di duduki oleh Adiwiyata, kursi panjang yang ada di sisi sebelah kanan Adiwiyata yang kini diduduki oleh Tia dan Maminya, serta kursi panjang yang ada di sisi sebelah kiri yang kini diduduki oleh Julie dan Wira. Ya, Wira diminta tetap berada di sana untuk berperan sebagai penengah atau saksi agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Itu adalah pertemuan serius, Julie tahu itu. Sejak dirinya memutuskan untuk menyuruh Tia agar minta maaf pada Arifin, dia tahu kalau masalah tidak akan berhenti sampai di sana. Tapi Julie tetap melakukan itu karena dia merasa itu adalah tindakan yang paling objektif. “Selamat pagi, semua.” Sapa Julie. Matanya lalu menatap mata Mami Tia selama beberapa detik, “Oh, jadi ini guru baru yang tidak berkompeten itu.” Begitu yang ada di pikirannya saat itu. Julie hanya tersenyum, meski rasanya ia ingin berkata bahwa dirinya bukan orang seperti itu.
“Selama pagi, Bu Julie.” Jawab Adiwiyata. Dia lalu mengubah posisi tubuhnya ke arah Julie, “Langsung saja ya Bu Julie, jadi begini, seperti yang kita tahu bahwa beberapa hari yang lalu Tia baru saja mengalami terror dimana ditemukan bangkai tikus di dalam tasnya. Kita juga sudah pastikan bahwa pelaku dalam kejadian itu adalah Arifin, siswa dari kelas 11 IPA 1. Anak itupun sudah mengakui perbuatannya. Sebagai konsekuensinya maka dia harus menerima hukuman yang sepadan dari pihak sekolah. Tapi sebelumnya, berdasarkan pengakuan dari Tia, katanya Anda justru menyuruh Tia untuk minta maaf kepada Arifin. Padahal tidak seharusnya seperti itu. Jadi saya mohon kesediaan Bu Julie untuk meminta maaf kepada Tia dan orangtuanya.” Jelas Adrian dengan nada sok bijaksana.
“Minta maaf di depan depan guru yang lain dalam rapat komite sekolah.” Tambah wanita itu. Dia seolah tidak puas dengan ucapan Adiwiyata karena tidak menyampaikan keinginannya dengan detail dan jelas. Mami Tia benar-benar menjalankan peran antagonisnya dengan sangat baik.
Julie mengerutkan kening, dia merasa sedang berada di situasi yang konyol. Bagaimana bisa dirinya yang tak bersalah dipaksa untuk minta maaf, sementara orang yang melakukan kesalahan justru sedang tenang-tenang saja di samping ibunya?
Julie mencoba untuk tetap tersenyum meski siapapun sadar jika itu adalah senyum yang dipaksakan, “Maaf, Pak, saya tidak mengerti dengan maksud ucapan Bapak. Baiklah, biar tidak salah paham, saya akan jelaskan masalahnya secara detail di sini.” Julie pun menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat sedikipun, “Jadi Arifin melakukan terror itu karena sebelumnya dia menerima perlakuan tidak baik dari Tia. Jika kita bersikap objektif, seharusnya Tia dan Arifin sama-sama dihukum. Tapi sebelum itu, saya hanya ingin kedua anak ini saling meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Tia minta maaf kepada Arifin dan Arifin minta maaf kepada Tia. Begitu seharusnya solusi yang tepat untuk masalah ini.” Julie masih mencoba untuk bersabar, mengontrol volume dan nada suaranya agar tetap terdengar sopan santun.
Tapi hal itu tidak dilakukan oleh Mami Tia, lagi-lagi ia menggunakan nada tinggi dan berkata, “Kenapa juga harus putri saya yang minta maaf? Dia tidak salah apapun, Tia hanya merasa terganggu dan tidak nyaman karena ada seseorang yang suka memberinya hadiah secara diam-diam. Bagaimana jika anak itu menaruh racun pada makanan yang diberikan, atau menyisipkan benda ilegal di barang yang dia berikan? Apa ibu mau tanggungjawab jika anak saya celaka? Hah????” Wanita itu sudah benar-benar tidak bisa mengontrol emosi.
Adiwiyata memberikan isyarat untuk menenangkan tamunya itu, sementara Wira mulai sedikit panik karena masalah semakin besar. Namun Julie tidak takut selagi berpegang teguh pada keadilan dan kebenaran. “Tapi Tia juga tidak seharusnya melakukan tindakan perundungan itu, dia bisa memilih cara lain, seperti misalnya bicara baik-baik pada Arifin untuk berhenti membuatnya tidak nyaman. Tapi sayangnya Tia memilih cara yang salah.” Jelasnya. Di samping Julie, Wira sudah geleng-geleng kepala berada di tengah-tengah perdebatan sengit ini. Jika guru lain yang ada di posisi Julie, mungkin mereka akan langsung minta maaf pada Tia dan orangtuanya, tapi Julie berbeda.
Kali ini Mami Tia benar-benar marah, dia merasa sudah diremehkan oleh guru baru yang bukan siapa-siapa itu. Selama ini, semua dewan guru—termasuk kepala sekolah dan wakilnya—selalu “tunduk” dengannya. “Lho, jadi anda menantang saya? Berani-beraninya ya anda melawan saya. Oh, apa karena anda guru baru, jadi anda tidak tahu hal apa saja yang sudah saya lakukan untuk sekolah ini????” Wanita itu lalu menoleh ke arah Adiwiyata, “Pak Adiwiyata, apa anda tidak memberitahu bawahan anda tentang siapa saja yang berjasa dalam keberlangsungan operasional sekolah?”
Adiwiyata tersenyum menenangkan, “Tenang Bu, tenang. Ya, Bu Julie mungkin masih belum tahu kalau orangtua Nak Tia ini adalah—”
Julie lama-lama kehabisan kesabaran, dia tidak tahan berada dalam situasi seperti ini, “Adalah donator utama dari SMA Cendikiawan III, kan? Ya, saya tahu itu.” Sela Julie. Dia menatap tajam wanita yang memiliki tulang pipi menonjol itu. “Dan kenyataan itu tidak menghentikan saya untuk berlaku adil pada semua murid. Bagi saya semua murid adalah sama, saya tidak peduli apa peran orangtua merekaa untuk sekolah ini, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana para murid bersikap di sekolah. Karena yang mendaftar untuk menuntut ilmu di sekolah ini adalah anak-anak anda, bukan orangtuanya.” Julie mengucapkan kalimat itu tanpa rasa takut.
Mendengar kalimat itu, Mami Tia langsung berdiri dari tempat duduknya, dengan posisi satu tangan di pinggang dan tangan lainnya menunjuk-nunjuk ke arah Julie, “Anda benar-benar tidak tahu diri, ya. Anda pikir anda siapa bisa bicara seperti itu? Lihat saja, saya tidak akan biarkan masalah ini berhenti sampai di sini, anda harus bertanggungjawab atas apa yang sudah anda katakana!” ucapnya dengan mata melotot.
Adiwiyata dan Wira sontak ikut berdiri untuk menenangkan wanita itu. Kini dia beralih pada Adiwiyata, “Dan Pak Adiwiyata selaku kepala sekolah, saya benar-benar kecewa dengan Anda karena tidak bisa membimbing bawahan anda dengan benar. Setelah semua yang telah saya berikan untuk sekolah ini, ini balasan anda untuk saya dan anak saya?” Dia geleng-geleng kepala dengan ekspresi marah dan kecewa, “Saya sungguh menyesal sudah membuang-buang uang untuk sekolah ini. Lihat saja, saya akan membuat para donator lainnya berpikir ulang untuk menyumbang sekolah ini lagi.” Adiwiyata dan Wira tentu ketar-ketir mendengar kalimat itu. Bagi sekolah swasta, keberadaan donatur sangatlah penting sebab biaya operasional tidak ditanggung oleh pemerintah. Namun tidak ada yang bisa mereka lakukan karena Mami Tia sudah terlanjur naik pitam. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia langsung menarik putrinya keluar dari ruangan itu.
Apa yang dilakukan oleh Mami Tia adalah playing victim. Playing victim adalah tindakan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukan oleh dirinya. Pelaku bertindak seolah dia adalah korban dalam masalah tersebut, padahal dialah sumber masalahnya. Itu adalah perilaku toxic yang tentunya menyimpang dari norma-norma yang ada. Pelaku playing victim biasanya bersikap manipulatif. Dengan pembelaan diri yang sedemikian rupa, mereka bisa membuat orang yang tidak bersalah menjadi minta maaf. Julie paham betul Tia dan Maminya adalah tipe yang seperti itu. Tapi mereka berhadapan dengan orang yang salah, Julie selalu sadar ketika orang lain mulai mencoba untuk mengendalikan dirinya.
Kini Julie mendapat tatapan tidak mengenakkan dari Adiwiyata dan Wira. Dalam kondisi seperti ini dia tahu bahwa tidak aka nada yang membelanya. Semua akan berpihak pada orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh. “Bu Julie, saya benar-benar kecewa dengan anda. Anda tidak seharusnya berkata demikian. Anda hanya perlu mengakui kesalahan anda lalu minta maaf, maka masalah akan selesai.”
Wira mengangguk setuju, sejak tadi dia tidak berkata apapun karena takut salah bicara di depan Mami Tia, “Betul itu Bu Julie, orangtua Tia bukan lah orang yang bisa kita lawan. Apa Bu Julie mau bertanggungjawab jika dia tidak lagi menjadi donatur utama untuk sekolah ini?” Ucap Wira.
Julie benar-benar tidak habis pikir, rupanya sang kepala sekolah juga berpikiran sama dengan wanita tadi. Saat ini emosi Julie sedang tidak stabil, ia tidak ingin menyelesaikan masalah dalam keadaan marah. “Mari kita bicarakan lagi hal ini dengan kepala dingin. Tapi saya rasa bukan saat ini.” Julie melihat Adiwiyata dan Wira secara bergantian, “Saya izin pami dulu, sebentar lagi upacara bendera akan selesai dan saya ada jadwal di jam pelajaran pertama. Permisi, Pak.” Pamitnya lalu berjalan keluar ruangan.
Kejadian tadi cukup mengganggu konsentrasi Julie dalam mengajar. Ia beberapa kali disadarkan oleh para murid karena tertangkap basah sedang melamun. Begitu jam pelajaran selesai, Julie langsung bergegas menuju toilet wanita khusus para guru untuk mencuci muka agar lebih fresh. Ia menatap dirinya di depan cermin seraya berkata, “Jangan khawatir Julie, sejauh ini kau sudah melakukan hal yang benar.” Ucapnya meyakinkan diri sendiri.
Di dalam toilet wanita khusus guru terdapat tiga bilik toilet dengan kondisi yang bersih sehingga nyaman untuk digunakan. Saat itulah salah satu bilik pintu toilet terbuka, orang yang keluar dari sana adalah Mei. Dia mendengar ucapan Julie tadi, hanya saja dia bersikap seolah-olah tidak mendengarnya. Mei merapikan baju yang sebenarnya sudah sangat rapi, ya, itu hanya tindakan salah tingkah. Julie menoleh lalu tersenyum kepada Mei, kemudian dibalas dengan senyuman tipis. Ketika Mei sedang mencuci tangannya di wastafel atau tepatnya di samping Julie, Julie pun bertanya, “Bu Mei, kenapa kau tidak membalas pesanku semalam?” Ya, Julie memang mengirim pesan singkat pada Mei, dia ingin meminta Mei untuk meluangkan waktunya di hari ini agar mereka bisa berbicara tentang olimpiade Geografi.
Mei mengambil tissue di samping wastafel untuk mengelap tangannya, “Maaf, aku belum sempat mengecek ponselku. Maaf, aku harus masuk ke kelas selanjutnya.” Ucapnya sekaligus berpamitan pada Julie.
“Kau tidak mengecek ponselmu atau kau mencoba menghindariku karena tidak ingin membahas tentang mendiang Karisa?” Tembak Julie, tanpa basa-basi.
Langkah Mei terhenti, dia diam sejenak karena terkejut dengan ucapan Julie yang benar adanya. Dia memang sengaja mengabaikan pesan Julie karena dia tahu ujung-ujungnya Julie hanya akan membahas Karisa. Julie melihat Mei melalui cermin, wanita itu sedikit menunduk, tidak berani melihat ke arah Julie. “Aku tidak mengerti dengan yang kau ucapkan. Aku hanya jarang memegang ponsel belakangan ini.”
“Aku hanya ingin bertanya tentang olimpiade Geografi, kenapa kau begitu ketakutan?” Entah karena masih terbawa emosi karena kejadian tadi pagi, atau memang karena Julie sudah tak tahan lagi dengan sikap Mei yang selalu menghindar.
Mei menelan ludah, ia lalu melihat ke arah cermin, secara tidak langsung mata mereka saling bertatapan, “Sebenarnya apa yang ingin kau ketahui?” tanya Mei gemetar.
******
Bambang berjalan masuk menuju ruangan divisi kriminalitas, ia memang sesekali melakukan inspeksi dadakan untuk mengecek para anak buahnya. Melihat kedatangannya, Taka dan seluruh anggota segera berderi dan memberi hormat. Bambang berjalan menyusuri meja kerja anak buahnya, hingga tibalah di depan meja Taka. “Seniormu tidak datang lagi hari ini?” Tanya Bambang pada Taka.
Dengan tubuh tegak dan suara lantang Taka menjawab, “Siap, Pak! Penyidik Baron belum memberi saya informasi apapun untuk hari ini.”
Bambang melihat Taka dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki, “Tolong sampaikan pada seniormu agar tidak bertindak semaunya. Suruh dia datang ke kantor hari ini untuk menghadap saya.” Perintah Bambang.
Taka lalu memberi hormat, “Siap, laksanakan!” Bambang pun berjalan pergi menuju ruangannya. Dengan cepat Taka langsung menghubungi Baron. Tidak ada jawaban untuk telpone yang pertama, ia pun mencobanya lagi, barulah dijawab oleh Baron.
“Bang, kau harus ke kantor sekarang.” Ucap Taka.
“Kenapa harus?” Tanya Baron. Dia memang sedang bersiap mengenakan sepatu, tapi bukan untuk ke kantor polisi melainkan ingin menemui pemilik steam mobil tempat Mayang bekerja.
Taka mengaduh, lagi-lagi dia terjebak di antara perang dingin senior dan pimpinannya. Dari sekian banyak anggota, mengapa selalu dia yang ikut terseret? Begitu pikirnya. Padahal bisa saja Bambang memerintahkan Baron secara langsung, tapi lagi-lagi selalu lewat dirinya. Di satu sisi Taka tidak ingin melawan perintah Bambang, tapi di sisi lain dia juga tidak ingin berdebat dengan Baron. Keadaan seperti itu yang selalu membuatnya merasa serba salah. “Aduh, Bang, aku tidak tahu. Mungkin ada yang ingin beliau sampaikan. Yang penting Abang datang dulu ya, ku mohon Bang. Aku hanya ingin hidup tenang untuk hari ini.”
Jika Baron tidak datang, maka Taka adalah orang yang akan kena semprot oleh Bambang karena dianggap tidak becus dalam melaksanakan perintah. Bila Baron mengikuti egonya, mungkin dia memilih untuk tidak datang ke kantor karena memang tidak ada yang perlu dia lakukan di sana, Bambang pasti hanya ingin mengingatkan Baron agar tidak melakukan sesuatu yang dilarang. Jadi lebih baik Baron datang ke lapangan untuk menyelesaikan tugas resminya. Tapi untungnya Baron masih bisa mengesampingkan egonya, dia tidak ingin Taka dimarahi atas kesalahan yang tidak dia lakukan. Jadi Baron memutuskan untuk datang ke kantor demi Taka. “Baiklah, aku berangkat sekarang.” Ucapnya lalu mengakhiri panggilan telpone. Baron kemudian naik ke dalam mobil yang sudah dipanaskan sejak tadi. Ia tancap gas menuju kantor di hari Senin yang cerah ini.
Begitu tiba di parkiran kantor, Baron disambut oleh Taka yang sudah menunggunya sejak tadi. Ya, anak itu sengaja menunggu di sana untuk menenangkan Baron. Dia tahu jika Baron akan langsung menghadap Bambang tanpa mampir dulu ke ruangan mereka. Baron keluar dari mobil, memberi anggukan kepada Taka sebagai sapaan. “Bang, pokoknya kau harus tetap tenang apapun yang dikatakan oleh Pak Bambang. Tidak ada salahnya jika sesekali kau mendengarkan ucapannya.” Ujar Taka, dia hanya ingin tidak ada lagi pertengkaran antara Bambang dan Baron.
Baron tetap berjalan seraya berkata, “Aku selalu mendengarkan perintahnya selagi itu adalah perintah yang baik dan benar. Apa aku harus turuti ucapannya jika dia memintaku untuk membunuh orang?” Tanyanya sinis.
Taka mengaduh, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil tetap menyusul langkah kaki Baron, “Bukan begitu maksudku. Hanya saja kau tidak bisa terus-terusan menantang ucapan Pak Bambang. Sekarang dia mungkin masih sabar, tapi jika ini berlanjut, dia pasti akan memberikan sanksi yang tidak main-main. Lagi pula, bukankah sebelumnya kalian baik-baik saja?”
“Hubungan kita akan tetap baik-baik saja jika dia tidak menghentikan penyidikan kasus Karisa.” Baron menghentikan langkahnya, ia lalu menoleh pada juniornya, “Kau sungguh tidak merasa itu adalah hal yang janggal? Ah, rupanya aku belum berhasil membimbingmu.”
Taka tidak bisa berkata apa-apa lagi selain membiarkan Baron bertindak sesuai dengan keinginannya. Entah apa yang akan terjadi hari itu, yang jelas dia hanya berharap agar Bambang tidak mengambil tindakan apapun, sebab jika Bambang sudah melakukannya, maka karier Baron akan berakhir.