DUA PULUH ENAM

1114 Kata
Julie meletakkan cangkir berisi teh hangat di atas meja untuk Tia. Mereka berdua sudah ada di ruang Bimbingan Konseling sekarang. Julie akan meminta informasi lebih lanjut dari Tia. Hal pertama yang Julie tanyakan adalah apakah saat ini Tia memiliki masalah dengan murid lain, atau apakah dia memiliki musuh di sekolah ini. Tia menjawabnya dengan sedikit bingung, dia sadar jika sikapnya selama ini membuat dirinya tidak disukai oleh murid-murid lain. Mereka mungkin bertingkah baik di depan Tia, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka yang sebenarnya. Tia suka pamer, berkata ceplas-ceplos, serta jutek dan judes. Dia juga beberapa kali terlibat pertengkaran dengan adik kelas. Saat melihat adik kelas yang dirasa lebih cantik dan populer dari dirinya, Tia tidak segan untuk melabrak adik kelas tersebut. Tidak hanya itu, Tia memang berparas cantik, beberapa siswa bahkan menaruh hati padanya. Tapi tentu saja Tia hanya mau dengan siswa yang juga populer, kaya, dan tampan. Tak heran jika hampir semua murid di SMA Cendikiawan III mengenalnya. Jadi jika ditanya apakah Tia punya musuh di sekolah, jawabannya adalah ada. Bahkan terlalu banyak hingga ia bingung harus curiga pada siapa. Namun Julie kembali bertanya, “Seseorang yang memiliki masalah serius denganmu, atau seseorang yang menyimpan dendam hingga nekad untuk menerormu.” Tanya Julie sekali lagi. Dia juga tidak menyangka jika Tia sebegitu problematic-nya. Selalu mencari masalah dengan siapapun. Selepas ini, Julie berjanji pada dirinya sendiri untuk mengontrol Tia agar bisa menjaga sikapnya. “Sebenarnya ada dua orang yang terpikirkan oleh saya, Bu. Yang pertama adalah siswi dari kelas sepuluh IPS 3, saya baru saja melabraknya tiga hari lalu. Jadi mungkin dia dendam dengan saya dan ingin membalas perbuatan saya.” Ucapnya. Awalnya Tia tidak mau menceritakannya, sebab itu sama saja seperti membongkar kejahatannya sendiri. Tapi Tia juga ingin pelaku yang sudah menaruh bangkai tikus di tasnya tertangkap, Tia takut suatu saat orang itu melakukan tindakan yang lebih ekstrem lagi. “Kenapa kamu melabrak anak itu?” Tanya Julie tegas. Walau dalam hal ini Tia adalah korban, tapi nyatanya Tia justru menjadi pelaku bagi orang lain. Julie harus bisa bersikap imbang. “Karena…karena anak itu selalu mengikuti style saya, Bu. Dia bahkan mengenakan sepatu Nike merek terbaru yang belum saya punya. Setiap jalan di kantin, gayanya seperti murid paling cantik di SMA Cendikiawan III. Saya tidak suka melihat dia, Bu. Jadilah tiga hari yang lalu saya melabraknya di toilet sekolah. Saya juga menyiram sepatu barunya hingga basah kuyup. Dia…dia pasti dendam dengan saya, Bu. Dia pasti yang menaruh bangkai tikus itu di tas saya.” Julie menggeleng-geleng, tak habis pikir dengan tindakan Tia. Dia tahu perundungan sudah ada dari zaman dulu, hanya saja Julie merasa jika saat ini kasus perundungan semakin marak terjadi di lingkungan sekolah. Itu bisa saja disebabkan oleh dampak negative dari hiburan yang dinikmati anak-anak, seperti adanya media sosial, gawai canggih, atau sinetron di televisi yang katanya sudah lulus sensor tapi sebenarnya masih tidak layak untuk ditonton oleh anak-anak. Sebagai seorang guru tentu saja Julie merasa miris dan prihatin atas kejadian tersebut. “Hanya karena persoalan itu kamu melabrak adik kelasmu? Apa dia pernah secara sengaja mengganggumu? Atau melakukan tindakan kejahatan padamu?” Tanya Julie. Tia menunduk sambil menggeleng, dia tahu pasti dirinya juga akan kena semprot oleh wali kelasnya itu. Rupanya rasa bersalah yang Tia rasakan karena sempat merundung Karisa hanya sekelibat saja. Dia tidak kapok dan kembali merundung orang lain. “Tidak, Bu, dia tidak pernah mencari gara-gara sama saya, hanya saya saja yang tidak suka dengannya.” Julie menghela napas dengan berat. Saat mengajar di sekolah sebelumnya, anak-anak di sana cenderung menurut dan tidak neko-neko. Tapi baru beberapa bulan dia mengajar di SMA Cendikiawan III banyak sekali masalah yang melanda. “Tadi katamu, kau mencurigai dua orang. Lantas yang satu orang lagi siapa?” “Yang satu orang lagi…” Tia tampak ragu untuk mengatakannya, “Yang satu orang lagi adalah Demi, Bu, anak kelas kita.” Ujar Tia. Julie mengerutkan keningnya, “Kenapa kamu bisa mencurigai Demi?” Kali ini Tia tampak lebih ragu-ragu dari sebelumnya, dia seperti bingung harus bercerita pada wali kelasnya itu atau tidak. “Tidak apa-apa, Bu, hanya feeling saja.” Jawab Tia pelan. Julie menatap Tia tajam, “Tia, coba jujur pada ibu, apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Demi?” Anak itu lantas menceritakan semuanya. Dia berkata bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Demi baru saja keluar dari klinik Psikolog seorang diri. Karena sifat mencari gara-gara sudah melekat pada dirinya, Tia akhirnya menghampiri Demi dan bertanya mengapa Demi pergi ke Psikolog. Awalnya Demi tidak menghiraukan Tia, dia terus berjalan meninggalkan Tia. Tapi Tia tidak menyerah untuk menganggu Demi, “Apa kau…apa kau depresi karena ditinggal sahabatmu?” Ujar Tia. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Tia membuat Demi kehilangan kesabaran. Dia akhirnya mencengkram bahu Tia dengan begitu kencang hingga membuat kulit Tia sedikit kemerahan. Saat itu Demi membisikkan sesuatu di telinga Tia, “Aku bersumpah kau akan menerima balasan atas semua hal buruk yang pernah kau lakukan ke Karisa. Kau memang gak membunuh Karisa secara langsung, tapi semua perlakuan buruk itu membunuh Karisa secara perlahan, tanpa disadari. Kau harus membayar itu semua. Aku tidak akan membiarkan orang-orang yang pernah menyakiti Karisa hidup bahagia. Ingat itu!” Ujarnya pelan, tegas dan tajam, hingga mampu membuat Tia merasa ketakutan. Saat itu juga Tia bergegas meninggalkan Demi karena merasa itu bukan seperti Demi yang dia kenal di sekolah. Seperti biasa, untuk mengonfrimasi apakah ucapan Tia itu benar atau tidak, dia menatap mata Tia lekat-lekat. Benar, Tia tidak berbohong. Anak itu benar-benar menceritakan apa yang dia alami. Tia takut untuk menceritakan hal tersebut pada Julie karena itu berhubungan dengan Karisa. Tia takut jika dirinya terseret lagi ke kasus itu. Dia tidak mau lagi diinterogasi oleh wartawan apalagi penyidik. Julie mengusap-usap bahu Tia, “Yasudah, kalau begitu kita akan tunggu hingga jam istirahat besok. Jika pelakunya berasal dari anak kelas 11 IPS 1, dia pasti akan datang menemui Ibu karena takut jika kasusnya dibawa ke tingkat yang lebih serius. Dan jika pelakunya berasal dari kelas lain, Ibu akan menyidiki kasus ini lebih lanjut.” Julie menenangkan siswinya. Tia mengangguk, “Baik, Bu.” Hanya itu yang dia katakan, Tia mati kutu karena perbuatannya diketahui oleh sang wali kelas. “Sekarang kamu bisa kembali ke kelas. Apa perlu ibu antar?” Tia menggeleng, “Tidak perlu, Bu, kalau begitu saya permisi keluar. Terima kasih, Bu.” Ujarnya lalu keluar meninggalkan ruang bimbingan konseling. Julie menutup wajah dengan kedua tangannya. Mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Ia melakukan itu untuk menenangkan diri. Julie harus tetap “waras” agar bisa membantu murid-muridnya. Meski saat ini dia sendiri membutuhkan orang lain untuk membantunya mengulik kasus sahabatnya, Riani. “Kau pasti bisa, Julie.” Ucapnya pada diri sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN