DUA PULUH DELAPAN

2754 Kata
Hari itu mereka bertiga akan kembali bertemu di rumah Baron. Sebelum berangkat menuju rumah Baron, Julie menyempatkan diri untuk mampir ke supermarket. Entah mengapa dia tiba-tiba saja kepikiran dengan Baron yang tidak memperhatikan asupan gizi karena terlalu sibuk bekerja. Julie tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup seorang diri tanpa ada stok makanan apapun di rumah. Ia berinisiatif untuk membeli beberapa bahan makanan, mulai dari makanan mentah, makanan instan, atau makanan olahan untuk di rumah Baron. Dia menganggap itu sebagai bentuk terima kasih pada Baron karena pria itu sudah mau membantu menyelidiki kasus kematian Karisa tanpa pamrih. Sebab tidak semua penyidik akan melakukan hal yang sama seperti yang Baron lakukan. Julie lalu membayar belanjaannya, tiga kantong plastik berukuran besar dia bawa menggunakan sepeda motornya menuju rumah Baron. Untunglah cuaca hari ini begitu cerah sehingga dia tidak perlu merepotkan siapapun. Dipencetnya bel rumah Baron agar si empunya rumah keluar membukakan pintu gerbang. Sepertinya Baron sudah menunggu kedatangan para timnya, hanya butuh waktu kurang dari dua menit hingga pintu gerbang terbuka. Jule melepas helm, kepalanya celingak-celinguk mencari motor Adrian yang tidak ada di sana. Baron yang menyadari hal itu lantas berkata, “Dia belum datang. Masih dalam perjalanan.” Ucap Baron. Julie meng-oh-kan perkataan Baron. Dia lalu turun dari motornya seraya membawa tiga plastik berat dengan susah payah. Dengan sigap Baron langsung mengambil alih plastik-plastik tersebut tanpa berkata apapun. Julie sedikit terkejut dengan sikap Baron yang tiba-tiba, “Terima kasih.” Ujarnya. Ketika berjalan melewati dapur, Julie menghentikan langkah Baron, “Eh, itu untuk di rumahmu. Ada sebagian yang harus langsung dimasukkan ke dalam lemari pendingin.” Baron tidak mengerti dengan ucapan Julie. Dia mengerutkan kening, “Maksudmu?” Julie mengambil alih plastik-plastik dari tangan Alex, dan meletakkannya di atas meja makan. “Ya, aku membeli stok makanan untuk di rumahmu. Beberapa ada yang perlu dimasak dulu, tapi ada juga yang hanya perlu digoreng, direbus, atau dipanaskan di microwave.” Jelasnya sambil sibuk mengeluarkan makanan dari dalam plastik. Julie menoleh ke arah Baron, “Oh iya, kau punya microwave, kan?” Baron diam, di satu sisi dia kaget dengan tindakan Julie, di sisi lain dia sedang memikirkan apakah dirinya pernah membeli microwave atau tidak. “Aku tidak yakin…” Julie bergeleng-geleng, dia tetap melanjutkan aktifitasnya memindahkan makanan ke dalam lemari pendingin, juga lemari makanan. Saat tangannya sibuk menata bahan makanan, Julie juga tetap memberitahu Baron beberapa hal, “Ini ayam bumbu kuning, kau bisa menyimpannya di dalam freezer, dan hanya perlu digoreng karena sudah dibumbui. Usahakan untuk menghabiskan ayam ini kurang dari sebulan. Kalu tahu ini, bisa tahan 7-10 hari jika kau menyimpannya dengan cara yang benar. Kau tahu kan bagaimana caranya?” Julie menoleh ke arah Baron lagi, tapi lagi-lagi pria itu hanya menampakkan wajah kebingungan. “Baiklah, biar aku yang bereskan.” Dengan cepat Julie membuang air tahu, kemudian mengganti wadah tahu dengan wadah yang bersih dan baru. Setelah itu, Julie merebus tahu tersebut dengan air garam, dan menyimpannya di dalam kulkas dalam keadaan tahu direndam dengan air bersih. Dia benar-benar cekatan melakukan itu semua. Julie bak seorang ibu yang sedang berkunjung ke kos-kosan putranya dan merapikan isi dapur putranya. Sementara Baron tidak berkedip memperhatikan Julie sedari tadi. Setelah kepergian orang yang dicintainya, itu adalah kali pertama ada seseorang yang “merawatnya” dengan baik. Tanpa sadar Baron tersenyum tulus melihat tingkah Julie. Padahal dia sendiri tidak ingin kapan terakhir kali dirinya tersenyum setulus itu. Selama ini senyum yang terukir di bibir Baron adalah senyum formalitas, tidak pernah benar-benar berasal dari hati. Selesai membereskan semuanya, Julie mencuci tangan seraya berkata, “Nanti aku akan memasak makan lama untuk kita bertiga.” “Kenapa kau melakukan ini?” Tanya Baron. “Aku mendadak teringat di rumahmu tidak ada stok makanan apapun. Jadi ya dalam perjalanan aku mampir ke supermarket sebentar. Apakah seseorang harus punya niat tertentu untuk berbuat baik?” Ucapnya santai. “Berapa semuanya? Maksudku, berapa total harga dari belanjaan ini?” Julie kembali bertanya, “Kenapa? Kau mau membayarnya? Tak perlu, anggap saja ini sabagai ucapan terima kasihku karena kau telah berbaik hati untuk menyelidiki kasus Karisa.” “Aku melakukan itu bukan karenamu. Tapi karena akan ingin menegakkan keadilan.” Julie mengangguk paham, “Justru karena itu.” Julie terselamatkan karena saat itu bel rumah Baron berbunyi. Itu pastilah Adrian, sebab tidak akan ada orang yang datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Bahkan Taka pun akan buat janji dulu sebelum dia datang ke rumah Baron. Diskusi pun dimulai. Julie dan Adrian sudah duduk di sofa ruang rahasia Baron, sementara Baron berjalan menuju lemari kayu, mengambil bucket bunga yang kemarin dibawanya dari Reverose Florist. Baron menceritakan semua informasi yang dia dapatkan ketika berada di toko bunga sekaligus memutar ulang rekaman CCTV di hadapan Julie dan Adrian. Julie menganga tidak percaya dengan petunjuk baru yang mereka temukan. Julie mengambil bucket bunga yang kini terletak di atas meja, “Jadi ini adalah bucket bunga yang dipesan oleh Karisa?” Tanyanya. Baron mengiyakan. Ia lalu memberitahu kepada dua rekannya mengenai makna bunga Dandelion dan bunga Anyelir merah. “Aku tidak menyangka jika setiap bunga memiliki makna yang sedalam itu. Apa mungkin jika Karisa berniat untuk memberikan bucket bunga ini kepada ibunya?” Baron kemudian memeriksa profile Karisa dan keluarganya. Sehari setelah kematian Karisa merupakan hari ulang tahun sang ibu. Memberikan bucket bunga sebagai hadiah di hari ulang tahun ibunya adalah hal yang masuk akal. Ragu-ragu Adrian berkata, “Aku tahu aku tidak seharusnya mengatakan ini. Tapi apakah mungkin…Karisa memberikan bucket bunga itu kepada ibunya sebagai hadiah ulang tahun sekaligus salam perpisahan?” Pria itu buru-buru mengklarifikasi perkataannya, “Maksudku, Baron tadi bilang kalau bunga Dandelion bisa melambangkan perpisahan.” Julie mematahkan tebakan Adrian dengan cepat, “Tidak, selain bermakna perpisahan, bunga Dandelion juga memiliki makna agar setiap manusia tidak menyerah dalam hidup, bukan? Bagaimana jika yang Karisa maksud adalah makna yang kedua? Karisa ingin memberikan bucket bunga tersebut kepada ibunya untuk melambangkan kisah cinta yang murni dari seorang ibu, sekaligus sebagai pesan agar tidak putus asa walaupun mereka mengalami hidup yang sulit. Maksudku, kita tahu kalau ibu Karisa harus menjadi ibu sekaligus ayah untuk Karisa dan adiknya.” Jelas Julie. Baron melanjutkan analisis Julie, “Bagaimana jika ternyata makna dari bunga Dandelion itu ditujukan untuk dirinya sendiri? Karisa menyimpan luka yang tidak diketahui oleh siapapun. Selama ini dia menyimpannya sendiri. Dia mungkin hampir menyerah dalam hidup, tapi kemudian keberadaan sang ibu dan bunga Dandelion justru memberinya kekuatan untuk terus bertahan dan berjuang menjalani kehidupan. Walau terkadang dia merasa jika dirinya sudah hancur, tapi dia memilih untuk bangkit. Berdasarkan keterangan dari orang-orang yang melihat Karisa di beberapa bulan terakhir, Karisa mungkin sering terlihat murung. Namun pada hari itu, di hari kejadian, dia memutuskan untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.” Jelas Baron. Dia kini beralih pada Adrian, “Tidak ada tanda-tanda bahwa Karisa akan mengakhiri hidupnya. Dia bahkan sudah membayar bucket bunga tersebut dan berjanji kepada pegawai toko untuk mengambilnya. Bagaimana bisa orang yang akan bunuh diri di hari itu melakukan hal-hal seperti itu?” Ujar Baron tegas dan yakin. Adrian merasa tak enak hati sekaligus malu. Pola pikirnya terlalu pendek, tidak secermat Baron. Tapi itu tentu saja karena Baron adalah seorang penyidik atau detektif. Otaknya sudah sering terasah oleh hal-hal seperti itu. Julie menggerak-gerakan jari telunjukknya, “Kau benar. Analisismu sangat masuk akal. Bagaimana bisa kau terpikirkan akan hal itu?” Tanya Julie pada Baron. “Semua petunjuk yang kita temukan sudah jelas mengarah ke sana.” Jawabnya tak mau ribet. “Berarti benar, ada masalah yang terjadi dalam hidup Karisa hingga dia merasa murung dan terlihat seperti orang yang deprepsi. Apa orang yang membunuh Karisa adalah orang yang terlibat dalam masalah tersebut?” Tanya Julie. “Kemungkinan besar seperti itu.” Jawab Baron. “Lantas, apa plat motor dari ojek online yang mengantar Julie ke sekolah pada malam hari terekam dalam CCTV?” Tanya Adrian. Ia sudah tidak sabar jika harus menunggu beberapa menit lagi. Baron yang sudah menonton rekaman CCTV secara keseluruhan menggeleng. “Tidak, plat motornya tidak terekam. Padahal dengan mewawancarai pengemudi ojek online itu kita bisa bertanya beberapa hal padanya. Ngomong-ngomong, kau kemarin baru saja bertemu dengan rekan reportermu, kan? Apa ada informasi yang kau dapatkan?” Giliran Baron yang bertanya pada Adrian. Saat itulah Adrian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Itu adalah kumpulan kertas-kertas yang berisi tangkap layar dari sebuah akun Blog. Sang pemilik menamai Blog-nya dengan nama “Lavender’s Blue”. Terdapat beberapa tulisan yang diunggah di sana, pemiliknya tampak cukup aktif menulis, kira-kira ada 6 tulisan atau 6 postingan yang dia unggah dalam satu tahun terakhir. Adrian lalu bercerita bahwa kemungkinan besar itu adalah akun Blog pribadi dari Karisa, hanya saja gadis itu tidak mengungkapkan identitasnya di sana. Saat pertama kali mendengar kasus kematian seorang siswi SMA, rekan reporter Adrian langsung mencari tahu tentang akun media sosialnya. Sebab biasanya para remaja selalu aktif menggunakan media sosial dan seringkali mencurahkan perasaannya di sana. Reporter itu menemukan akun i********:, Twitter, dan f*******: milik Karisa, hanya saja dia tidak mendapatkan apapun di sana. Karisa hanya mengunggah hal-hal yang sewajarnya. Namun, saat reporter itu melihat salah satu foto yang diunggah oleh Karisa di akun instagramnya, ia merasa ada hal yang unik. Foto tersebut berisi tangkap layar dari lagu yang berjudul “Lavender’s Blue”, itu adalah salah satu soundtrack dari film Cinderella. Caption dalam unggahan tersebut adalah “Moi même” yang berarti “Diriku, hanya saja Karisa menulisnya dalam bahasa Prancis. Karena penasaran, sang reporter akhirnya mencari di internet tentang Lavender’s Blue. Hingga dia menemukan sebuah akun Blog dengan nama “Lavender’s Blue”. Namun karena setelah itu dia mendapat informasi bahwa kasus ditutup oleh pihak kepolisian, dia pun tidak melanjutkan penelusuran dan mengabaikan akun Blog Lavender’s Blue begitu saja. Saat Adrian menceritakan hal itu, Baron tiba-tiba menutup matanya, ia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Rasanya dia pernah melihat tulisan Lavender’s Blue tapi entah dimana. Baron lalu mengambil buku kecil yang dia simpan di laci meja kerjanya. Di bukanya lembar demi lembar dari buku tersebut, hingga dia berhenti pada satu halaman yang bertuliskan, “1. Lavender’s Blue, 2. Buku bahasa Prancis, 3. Balon Udara.” Sekarang Baron ingat. Dia menuliskan itu ketika sedang menggeledah kamar Karisa untuk pertama kalinya bersama dengan Taka. Kala itu, Baron menemukan sebuah lukisan bergambar balon udara di mana pada bagian kanan bawah terdapat tulisan “Lavender’s Blue.” Dan buku bahasa Prancis adalah salah satu buku yang dia temukan di antara buku-buku pelajaran sekolah. Baron mencatat semua hal yang dianggap unik dan tak biasa. Karena dia tahu kalau di SMA Cendikiawan III tidak ada pelajaran bahasa Prancis, jadi itu pasti buku yang special bagi Karisa. Paling tidak, dia memilikinya karena ingin membacanya. Dengan cepat Baron dan Julie langsung membuka akun Blog tersebut. Akun itu pertama kali dibuat saat tiga tahun yang lalu. Pada dua tahun pertama, sang empunya aktif mengunggah tulisan tentang ulasan sebuah film yang dia tonton, ulasan sebuah buku yang dia baca, atau materi-materi tentang Geografi. Saat melihatnya, Julie semakin yakin jika akun itu adalah milik Karisa. Belakangan dia tahu kalau Karisa begitu menyukai mata pelajaran Geografi bahkan sejak anak itu duduk di bangku SMP. Namun dalam satu tahun terakhir, si pemilik hanya mengunggah enam unggahan yang berbeda dari biasanya. Ada dua unggahan berisi puisi bertema sendu, dua unggahan berisi kumpulan lirik lagu yang dia sukai—yang juga bertema sendu—serta dua unggahan berisi kumpulan bait dari n****+-n****+ yang dia baca. Semua kalimat dalam enam unggahan berisyaratkan kesedihan, keputusasaan, dan kehancuran. Julie menggeleng pelan, ia seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. “Jenis unggahan Karisa mulai berubah setelah dia mengikuti olimpiadi Geografi.” Ujar Julie, matanya tetap fokus menatap layar ponsel. Dia lalu melanjutkan, “Pada dua tahun pertaman, jenis unggahan Karisa lebih kepada memberikan motivasi dan kebahagiaan, tapi pada setahun terakhir, ia hanya membagikan unggahan-unggahan yang berhubungan dengan kesedihan.” “Apa Karisa sesedih itu pasca gagal dalam olimpiade Geografi?” Tanya Adrian. “Pasti ada suatu hal yang berhubungan dengan olimpiade Geografi.” Ujar Baron. Kini Julie mengangkat kepalanya, melihat ke arah Baron dan Adrian secara bergantian, “Aku akan memeriksanya. Aku akan bertanya pada Mei mengenai olimpiade itu.” Ucapanya tegas. ****** Baron tiba di kantor tepat pukul sepuluh pagi. Jika bukan karena Taka yang menghubunginya, ia mungkin tidak akan datang ke sana hari itu. Tapi Taka menelponenya dan berkata bahwa dia menemukan sesuatu tentang kasus kematian Mayang. Kemarin, Taka baru saja berkomunikasi dengan Desiree, dokter forensik itu mengaku bahwa dia telah menemukan satu hal yang sangat penting. Dia lalu membuat janji untuk bertemu dengan Desiree siang ini, dan Taka ingin Baron ikut dengannya sebab bagaimanapun juga Baron merupakan pimpinan atas kasus ini. Dan rupanya, alasan mengapa Taka meminta agar Baron datang dulu ke kantor adalah karena dia ingin nebeng dengan mobil Baron. Sudah dua hari ini Adrian tidak pulang ke rumah dan kurang tidur, dia tidak berani berkendara sendiri dalam keadaan seperti ini. Dia juga sudah siap secara fisik dan mental kalau-kalau Baron “menghabisinya”. Tapi ternyata Baron tidak keberatan. Dia tidak menghajar atau memaki Taka karena telah membuat waktu dan bensinnya terbuang sia-sia. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, Taka bertanya, “Ya, apa kau baik-baik saja? Apa saat ini kau sedang sakit?” ucapnya seraya menyentuh kening Baron untuk memastikan suhu tubuh Baron. Baron menepis tangan Taka, “Aku baik-baik saja.” Jawabnya. Taka memutarkan tubuhnya ke arah Baron, “Ya! Tapi kau aneh sekali hari ini. Jika kau baik-baik saja, kau pasti akan memukul atau setidaknya memakiku karena secara tidak langsung aku memintamu untuk menjemputku. Tapi sekarang kau hanya diam saja. Apa setelah ini kau akan langsung memecatku sebagai anggota timmu? Ya! Ayolah, bersikap seperti biasanya. Aku lebih takut jika kau seperti ini.” Taka seperti sedang merengek kepada kakak laki-lakinya. “Aku sungguh tak apa. Lagi pula tidak baik jika kau berkendara dalam keadaan mengantuk.” Tapi Baron tidak bisa pungkiri, apa yang dikatakan juniornya itu ada benarnya juga. Saat ini pikiran Baron terlalu bercabang kemana-mana, ada banyak sekali hal yang harus dia selesaikan. Setibanya di rumah sakit, Baron dan Taka langsung menuju ruang forensik untuk menemui Desiree. Dan seperti biasa, wanita itu sedang menikmati kentang goreng padahal beberapa meter dari tempatnya ada tubuh mayat yang datang pagi tadi. Ya, dia baru saja memeriksa mayat tersebut. Desiree tersenyum melihat kedatangan Baron dan Taka, “Rupanya kau benar-benar membawa atasanmu yang sedang melarikan diri itu?” Kalimat itu tentulah ditujukan untuk Taka. Baron melihat sinis ke arah Taka, karena takut kena semprot, Taka buru-buru membela diri, “Aku sungguh tidak cerita apa-apa.” Dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Desiree tertawa kecil, “Ya, dia tidak bercerita apapun. Dia hanya bilang jika kau sedang bertengkar dengan pimpinan dan mogok untuk masuk kantor.” Ledek Desiree. “Kau memang ember bocor!” Maki Baron pada Taka. Tapi Taka justru tersenyum karena roh Baron sudah kembali ke tubuhnya. Tidak hanya diam saja seperti sebelumnya. Perbincangan mereka tentang Mayang pun di mulai. Desiree akhirnya bercerita bahwa saat pertama kali tubuh Mayang dibawa ke ruang forensik, sebenarnya tubuh Mayang sudah mengeluarkan bau tidak sedap karena sudah tidak bernyawa selama beberapa jam. Tapi hari itu, ketika Desiree melepaskan baju Mayang sebelum melakukan autopsi, Desiree sempat menyium aroma yang tidak biasa dari baju Mayang. Aromanya tercium samar-samar karena sudah tercampur dengan bau mayat. Karena tidak yakin, Desiree akhirnya melewatkan hal tersebut. Tapi, kemarin dia baru saja berkunjung ke rumah kerabatnya yang gemar mengoleksi wewangian yang tak biasa. Bukan aroma terapi dengan aroma citrus, mint, atau greentea, tetapi wewangian yang biasa digunakan untuk ritual tertentu. Kerabatnya itu memang menyukai hal-hal mistis karena efek dari film-film yang ditontonnya. Saat itulah Desiree menyadari bahwa aroma yang ada di baju Mayang sama seperti wewangian untuk sesajen atau ritual. Sebagai seorang dokter yang selalu menggunakan akal dan logika, Desiree tentu mencoba mengabaikan hal-hal seperti itu, tapi dia tidak bisa menahannya untuk tidak bercerita pada Baron dan Taka. “Aku tidak bilang jika Mayang diguna-guna atau disantet, dia jelas meninggal karena racun sianida yang masuk ke tubuhnya. Hanya saja aku merasa jika Mayang benar-benar dibunuh, pelaku pastilah yang membawa aroma tersebut hingga menempel di baju Mayang. Mayang jelas tidak menggunakan parfurm seperti itu, bukan? Aku ingat betul saat Taka berkata bahwa salah satu barang yang ditemukan di dalam tas kerja Mayang adalah parfum aroma vanilla berukuran 30ml. Jadi itu, pasti aroma orang lain. Orang yang berhubungan dengan kematian Mayang.” Jelas Desiree. Baron dan Taka saling bertatapan, teka-teki mereka mulai terisi lagi dengan petunjuk baru. Entah Baron harus merasa senang atau sengsara, sebab semakin lama semuanya terasa semakin rumit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN