"Bay, kamu punya mantan, gak?" tanya Intan lesu, tangannya tidak diam dia menggunting perca hingga bagian terkecil.
"Manta apa?" selidik Akbar
"Masa mantan pembantu, mantan pacar atau mantan istri, lah." Intan memutar bola matanya. Sementara itu Akbar terkikik lebay.
"Bu Intan kan tahu, Abay mah jomlo sejati. Masih ting-ting belum ada mantan-mantanan."
"Salah, dong!"
"Apanya yang salah, Bu?"
"Salah karena curhat sama kamu," sergah Intan.
"Jomlo bukan berarti Abay gak bisa diajak curhat, kan, Bu? Ini soal ayahnya Gia ya?" tanya Akbar penasaran.
"Lebih dari itu, Bay. Kemarin aku menikmati hidup banget nemenin Abay jadi jomlo, bebas. Pikiran hanya seputar kursusan sama harga kain yang naik terus."
"Harga koran bekas juga, Bu," potong Akbar, dia tahu betul atasannya itu selalu menggerutu karena harga koran bekas naik hampir tiap bulan.
"Diem dulu!" Intan melempar potongan perca ke arah Akbar.
Pria itu bersedekap, tangannya dia lipat di atas meja, "Oke, atuh. Abay dengerin dulu."
"Lagi enak-enak menikmati hidup sendiri tiba-tiba Gia sakit."
"Itu teguran, Bu. Makanya nikmatin hidup jangan sendirian, ajak Gia sama Abay juga."
"Bay!" Intan melotot, Abay hanya nyengir.
"Coba dulu mamah gak nyuruh aku buat anterin Gia ke Klinik. Aku gak bakal ketemu Niko. Terus kenapa juga si Alif pake dateng lagi. Bay, hidupku kali ini lebih ribet dari pada pola Jas. Lebih rumit dari pada bikin bustier."
"Ibu sendiri yang bikin ribet, coba ikuti kata hati, siapa yang akan Ibu pilih, Niko atau ayahnya Gia. Atau justru tidak keduanya. Simpel, sih, Bu!"
"Simple karena kamu hanya bisa bicara, Bay. Aku yang menjalani nyatanya sulit banget." Intan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kegaduhan anak didiknya karena kesulitan membuat kantong paspoal tidak dia hiraukan. Akbar dengan sigap menghampiri mereka, meninggalkan Intan yang sibuk dengan galaunya.
Intan Anindya, luka telah membuat hatinya tertutup. Luka telah membuatnya tidak percaya terhadap cinta. Luka telah mengubah kepribadiannya.
Dia pernah terluka melihat Niko dengan mesra memeluk Sara pada suatu malam. Meski itu adalah salah paham, tapi pada saat itu cemburu telah membutakan matanya. Dia enggan untuk sekedar mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi.
Remaja yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas itu lantas berlalu begitu saja. Dia menghiraukan tatapan heran Mang Didin, tukang ojek langganannya. Paper bag berwarna biru muda dia tinggalkan begitu saja di depan rumah Niko.
Minibus sewaan Bapaknya meninggalkan kota Garut setelah subuh. Intan menggapai kesempatan yang hanya satu kali bapaknya berikan. Lulus kali ini Alhamdulillah, jika tidak lulus maka tidak ada tes di tahun berikutnya. Menjadi anak tunggal membuat bapaknya sangat over protektif. Lelaki itu lebih senang Intan melanjutkan kuliah di STKIP, nantinya bisa jadi guru dan mengajar dekat rumah sehingga pria tua itu tidak perlu susah-susah mengawasi putri kesayangannya.
Sungguh, itu semua bukan cita-cita Intan. Menjadi designer adalah keinginan terbesarnya, bahkan dia rela mogok makan agar bapak mau mengabilkan keinginannya ikut seleksi di salah satu sekolah fashion.
Namun Niko mengacaukan semuanya. Intan tidak bisa fokus. Serangkaian tes tidak dia ikuti dengan baik sehingga hasilnya tentu saja tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
Sedihnya, bapak tetap dengan pendiriannya. Intan tidak boleh ikut tes di lain kesempatan. Dia pulang dengan hati patah-patah.
Beberapa tahun kemudian di kota Kembang.
Intan yang senang membaca sedang melakukan perburuan n****+ di toko buku yang terdapat pada salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Bandung. Kebetulan di sana sedang diakan acara Fan meeting, pertemuan antara penggemar dan tokoh idola.
Intan heran, siapa yang mereka idolakan, dari lantai dua dia hanya melihat beberapa pria berbadan tegap sedang berbicara diteriaki oleh perempuan-perempuan yang membawa bunga, boneka dan poster dengan tulisan tangan warna-warni.
Hingga matanya tertuju pada sosok tegap berbaju biru. Dia mengingat itu adalah Alif Akbar, kakak kelasnya, mantan jajaka kota Garut. Oh, tampan sekali, senyumnya membuat Intan sedikit tersipu.
Saat itu, takdir manis sedang berpihak pada Intan, di sudut food court yang ramai perempuan itu sedang menikmati bakso rusuk, mau tidak mau harus berurusan dengan Alif.
Pria tampan itu mengenali Intan. Mereka berbincang sebentar kemudian bertukar nomor telepon. Intan masih ingat bagaimana judesnya wajah sang manager saat Alif tertawa bersama Intan.
"Lif, Ingat di sini banyak Fans mu. Jangan sampai mereka kecewa melihatmu ngobrol sama perempuan kampung itu," bisik manager Alif. Tetapi Intan masih bisa mendengarnya. Reaksinya biasa saja, senyum. Intan hanya mengulum senyum.
Seminggu kemudian Intan mendapatkan satu pesan di ponselnya. Alif akbar. Entah mengapa jantungnya berpacu cepat, jedak jeduk tidak karuan.
[Lagi sibuk tidak, Intan?]
Dengan cepat jemarinya mengetik balasan untuk Alif.
[Biasa aja, kenapa, Lif?]
Tidak ada balasan, Intan tersenyum hambar, tentu saja, memangnya apa yang Intan harapkan? Berbalas pesan?
Dia kembali menggulung tubuhnya di bawah selimut. Hingga gelapnya malam mengantarkannya ke dalam buaian. Dia terlelap dan tidak menyadari sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya yang di setting mode silence.
Saat Intan bangun keesokan paginya, lima panggilan tak terjawab dari Alif membuatnya dilanda rasa sesal. Kenapa semalam buru-buru tidur, kenapa ponselnya di setting mode silence, kenapa tidak sabar nunggu balasan Alif. Ah kenapa pula Intan harus menyesal.
[Intan sudah tidur, ya? Semoga mimpi Indah]
Emoticon hati menutup pesan Alif membuat d**a Intan hangat seketika. Sudah lama sejak putus dari Niko Intan merindukan hal-hal seperti ini dari seorang kekasih. Masalahnya, Alif bukan kekasihnya. Duh Intan terlalu percaya diri.
[Maaf, semalam ketiduran, ada yang bisa aku bantu, Lif?]
Sebuah panggilan masuk beberapa saat setelah pesan untuk Alif terkirim. Mau tidak mau Intan tersenyum, dia mendekap gawainya di atas d**a, mencoba meredam getaran di dalamnya.
"Pagi, Manis?" sapa Alif, kalau saja dia melihat saat ini Intan tengah tersenyum dengan muka yang merona.
"Pagi, Alif," jawab Intan canggung.
Keduanya sempat terdiam beberapa saat hingga Alif yang pandai membawa diri mampu mencairkan kecanggungan mereka. Dua jam lamanya Intan mendengarkan lembut dan renyahnya suara Alif.
Pria itu romantis, beberapa kali Alif kirim buket bunga mawar ke Intan Fashion. Menemani Intan menjelajah toko buku dan toko Kain. Dia akan membawakan belanjaan Intan dengan senang hati, meski dalam beberapa kesempatan Alif harus memakai masker dan sweater berhoodie demi menutupi identitasnya.
Hingga pada satu waktu, dimana Intan berulang tahun Alif menyatakan cinta. Tidak ada pesta kejutan ulang tahun, yang ada kejutan lamaran dalam pesta ulang tahun. Intan menangis haru, kedua orang tuanya memeluk Intan, merestui hubungan keduanya hingga berlangsunglah sebuah pernikahan sederhana di kediaman Intan.
Tidak ada Kedua orang tua Alif, mereka sedang berada di luar negeri saat itu. Tidak ada sanak saudara Alif yang datang memberikan selamat. Alif hanya datang bersama dua sahabatnya.
Meski sedikit aneh, tapi Intan bahagia. Akhirnya dia benar-benar move on dari cinta pertamanya yang bernama Niko.
"Bu Intan, cowok itu, Bapaknya Gia atau dokter Niko?" bisik Akbar, Intan yang dari tadi melamun kini mengangkat wajahnya.
Netranya yang masih memakai softlens abu-abu bertemu dengan netra tajam seorang Pria. Dia tersenyum manis, senyum yang selalu bisa melambungkan Intan. Senyum yang akhir-akhir ini menjadi bagian dari mimpi Indahnya.
Niko.
"Melihat senyum Ibu, Abay tahu siapa yang Ibu pilih," papar Akbar, sesaat kemudian asisten Intan itu menjerit karena mendapat cubitan di lengannya.
"Angin apa yang membawamu sampai kemari?" tanya Intan, kemudian dia membawa Niko menuju ruangannya yang berada di lantai dua.
"Angin cinta, lah."
"Cinta apaan?" cibir Intan. Niko tidak menanggapi pertanyaan Intan, dia berkeliling melihat ruangan Intan. Sebuah maneken dengan gaun yang menjuntai menyapu lantai tersimpan di dekat pintu masuk. Di dinding terpasang beberapa sertifikat, piagam penghargaan dan surat izin mendirikan Lembaga Pendidikan Kursus dari dinas Pendidikan dan Dinas tenaga kerja.
"Wow, aku tidak menyangka kamu bisa melakukan semua ini?"
"Kenapa?"
"Yang aku tahu cita-cita mu menjadi designer, bagaimana dengan impianmu mengunjungi kota Paris?"
"Ternyata duniaku disini, berbagi bersama orang-orang yang luar biasa gigih, berbagi ilmu bersama narapidana, bersama para tuna wisma yang terciduk dan di bina oleh dinas Sosial. Bersama ibu-ibu rumah tangga yang pantang menyerah belajar menjahit. Aku bahagia," papar Intan. Dia menyodorkan segelas minuman dingin pada Niko, pria itu menenggaknya hingga tandas.
"Haus?"
Niko mengangguk cepat, lelehan air di sudut bibirnya dia usap menggunakan punggung tangan, "bagaimana dengan Paris?"
"Biarlah itu hanya menjadi impian saja, sekarang sih realistis, ada uang mending buat umroh mamah." Intan mengikat rambutnya, sehingga lehernya yang jenjang membuat Niko menelan ludah.
"Aku bisa wujudkan keinginanmu pergi ke Paris," ungkap Niko.
"Jangan ngaco," sergah Intan.
"Enggak ngaco, kamu nikah sama aku, nanti bulan madu kita ke Paris." Niko menyerahkan gelasnya yang kosong meminta untuk diisi kembali.
"Aku belum bisa."
"Tidak apa aku bisa nunggu, kok!"
"Kenapa kamu belum menikah?" tanya Intan.
"Nunggu kamu!"
Intan melihat kesungguhan dalam wajah Niko. Tetapi dia masih takut, takut menangis karena ditinggalkan, takut dengan pendapat orang, takut memulai, takut kebebasannya terkekang seperti saat menjadi istri Alif. Takut dia jatuh dan tidak bisa bangkit lagi.
Apalagi dalam hidupnya kini ada Gia. Niko menyayangi Gia. Tetapi bagaimana dengan keluarganya? Bukankah menikah itu menyatukan kedua keluarga besar?
"Kamu mikirin apa lagi, Ntan? Kita sudah tidak muda lagi." Niko menyadari perubahan wajah Intan, dia menjadi redup.
"Gia sehat?" Niko berusaha mengalihkan pembicaraan, dia takut Intan marah lagi.
"Alhamdulillah, tadi dari sini."
"Syukurlah."
Nyatanya, pada hari ini Intan belum bisa membuka hati sepenuhnya. Segigih apa pun Niko, sekeras apa pun usaha dokter itu untuk meluluhkan Intan.
Ah, hati sampai kapan kamu bertingkah sekeras ini?