Hantu Tanpa Nama (3)

1224 Kata
Nadin tertidur nyenyak. Semalam mama tidur bersamanya. Membuka mata pelan, ia yang tadinya miring ke kanan berbalik ke kiri. Matanya membulat, bukannya sang Mama yang ia lihat justru makhluk yang semalam sudah tak ia lihat lagi yang memandangnya sambil tersenyum. "Huwaaaa.." Kagetnya, baru membuka mata sudah melihat rupa menakutkan itu. "Biasa aja kali teriaknya, bisa budek kuping Gue dengarnya." Lelaki itu berbaring miring menghadap Nadin sambil menopang kepalanya dengan tangan. "Lo. Lo kok masih di sini? Kenapa Gue masih bisa lihat Lo? Mama," teriaknya. "Nyokap Lo udah berangkat. Tu lihat aja tadi dia nulis pesan di atas nakas samping Lo." Nadin ragu, namun berbalik memang ada secarik kertas note di atasnya. Mama ke kantor dulu ya, ada pertemuan sama klien. Kalau ada apa - apa cepat telpon mama atau ke rumah tetangga. Jangan lupa sarapan. Pesan Mamanya. Nadin menoleh lagi ke arah sosok yang masih dengan santainya berbaring sembari memperhatikannya. Ia bingung bukannya semalam dirinya sudah tak bisa melihat sosok ini? Kenapa sekarang bisa lagi? "Lo gak pengen pergi aja?" "Pergi ke mana?" "Terserah Lo ke mana. Pulang kek ke alam Lo, sono." "Emang alamnya itu di mana? Caranya gimana?" "Ya mana Gue tahu, kan yang hantu Elo. Lo gak punya rumah emang?" Ia menggeleng. "Nggak. Belum nemu rumah yang bagus. Apa Gue tinggal di sini aja ya?" Nadin melongo, menggeleng cepat. Jangan sampai hal itu terjadi. "Apa? Gak, pergi sana. Keluar gak?" "Gak mau. Gue suka di sini." "Guenya yang gak suka." Nadin frustasi, tak tahu bagaimana cara mengusir makhluk ini. "Pergi dari rumah Gue." "Tega banget. Gue ini kaum duafa loh, gak punya tempat tinggal. Di bantu kenapa?" Astaga, Nadin bingung apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bisa hantu satu ini berbeda dari yang pernah ia temui. Nadin sepertinya sudah ketempelan. "Kaum duafa? Lo pikir Lo manusia?" "Y, yah tetap aja kan Gue gak punya rumah." Nadin memukul kepalanya, mencoba membangunkan diri kalau - kalau ini hanya mimpi atau halusinasinya saja. "Nanti bodoh loh kalau kepalanya dipukul terus." "Menurut Lo gara - gara siapa Gue begini?" Lelaki itu menaikkan bahunya tak acuh. Dengan kesal Nadin mengacak rambutnya. "Lo gak apa - apa? Gak kesurupankan?" Ya tuhan. Jika saja sosok itu bisa di sentuh sudah sejak tadi Nadin memukulinya dan menyeretnya keluar. "Gimana mau kesurupan kalau setannya aja Lo," sinisnya kemudian mencoba masa bodoh dan memilih melenggang menuju kamar mandi. "Lo mau ke mana?" "Menurut ngana? Ya mau mandi. Awas ya Lo kalau ngintip. Gue bacain ayat kursi Lo," ancamnya. Lelaki itu hanya mengangkat jempol kirinya. "E eh tunggu," cegahnya. Nadin mau bodo amat tapi ia malah tetap meladeninya. "Apa?" "Nyalain TV dong. Gue mau nonton." Nadin mendesah berat, kok bisa ada hantu modelan ini, santai sekali hidupnya. Dengan malas Nadin menyalakan TV dan memilihkan channel yang lelaki itu mau. "Udah. Jangan ganggu Gue lagi." "Oke. Terimakasih," katanya kemudian fokus pada layar televisi. *** Keluar dari kamar mandi Nadin melihat lelaki itu sedang duduk di atas tempat tidurnya, bukan duduk lebih tepatnya melayang turun naik dengan santainya. "Udah selesai? Cepat amat? Mandi apa tayamum?" Ya tuhan, ini hantu julid amat, pikir Nadin dalam hati. Tapi ia mengabaikannya. Nadin pergi ke dapur, di meja makan sudah ada nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan s**u yang sudah agak dingin. Ia meminum susunya. Niatnya di akhir pekan ini dia mau joging, sengaja mandi dulu supaya gak bau - bau banget pas berkeringat. "Lo mau ke mana?" Nadin mendongak, kemudian bodoh amat tak mau menyahut. Mari gunakan cara lama, cuekin saja, anggap tak kelihatan dan biasanya mereka akan menjauh karena bosan sendiri. Ia harus bertahan paling tidak sampai neneknya bisa dihubungi. Lelaki itu mulai mengekori Nadin. "Lo mau joging? Gak pemanasan dulun nanti sakit - sakit loh badannya." Nadin berhenti berlari dan mulai pemanasan. Walau dia tak mau menghiraukan sosok ini tapi apa yang ia katakan benar juga. "Lo sariawan ya? Atau sakit mulut? Kok gak mau ngomong?" Nadin masih diam saja tak mau terpancing. "Hallo... Apa Lo belum sikat gigi jadi takut bau mulut?" Ampun sekali. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menjawab, inikah yang namanya godaan setan. Lelaki itu masih terus mengoceh, mencoba mengajak bicara. Sampai tiba - tiba ia menjauhi Nadin dan mendekati Stroller bayi yang sedang berjemur di depan rumah tetangganya tersebut. "Mau ngapain tu orang?" Nadin panik takut sosok itu akan mencelakai bayi tersebut. Ia berlari mendekat. Ibu bayi tersebut menyapa saat Nadin mendekat. "Joging Mbak?" "Iya," jawab Nadin canggung. Bayi itu tertawa renyah, sosok berwajah menakutkan itu nampak mengajak bayi itu becanda. "Lo ngapain?" bisik Nadin pelan sambil tersenyum ke ibu bayi, sebisa mungkin pelan agar ibu itu tidak mendengarnya. "Bayinya lucu banget. Lihat deh gemas." Mendesah pelan, Nadin bingung sebenarnya lelaki ini masuk ke kategori spesies apa? Baru kali ini ia bertemu hantu yang hidup layaknya manusia dan tahu banyak soal manusia, apa mungkin dia memang arwah penasaran? "Jangan diganggu. Ayo pergi," bisiknya lagi. "Kalau pergi Lo mau ngomong sama Gue?" Nadin tersenyum canggung ke arah ibu bayi itu yang menatapnya aneh. "Em. Saya duluan Mbak mau lanjut joging," ucap Nadin tidak mau ada masalah. Lelaki itu mengekori Nadin kembali. "Kata Lo muka Gue seram tapi bayinya ketawa senang tuh pas ngelihat Gue." Nadin menoleh ke arahnya. Yah sebenarnya gak seseram itu kok, cuma banyak darah saja tapi tetap saja menakutkan. Ia menggeleng tak mau menjawab. "Kata Lo kalau pergi dari sana tadi, Lo mau ngomong sama Gue. Dasar manusia tukang bohong." "Lo mau Gue dikatain gila karena ngomong sendirian?" Nadin tak suka dipandang aneh oleh orang lain. Cukup belasan tahun belakangan ini dia diperlakukan begitu jangan sampai sekarang juga. Lelaki itu menggaruk kepalanya. "Nadin," seru seseorang. Nadin menoleh. Reza sedang berlari ke arahnya. "Loh Reza? Kok di sini?" "Gue lagi joging," katanya begitu sampai di samping Nadin. "Joging? Di sini? Bukannya rumah Lo jauh dari sini ya?" Bingungnya, karena kok bisa mereka bertemu. "Semalam Gue nginap di rumah Tante. Minta tolong ditemanin mereka." Nadin mengangguk mendengar alasannya. "Joging sendiri aja Lo?" "Iya. Gue baru pindah ke lingkungan ini jadi belum terlalu banyak kenalan," jelas Nadin yang masih beradaptasi dengan kehidupannya sebagai orang normal. "Oh. Jadi gak apa - apakan kalau Kita joging bareng?" Nadin hanya tersenyum. Mereka berjalan bersama. "Bisa aja kang gombal," sindir sosok lain yang tak bisa di lihat Reza. Sosok iti terlihat tak suka padanya. "Itu rame - rame ada apa?" "Lo gak tahu?" Nadin menoleh ke arah Reza. "Kenapa emang?" "Semalam ada perempuan ditemukan tewas di kamar mandinya. Dalam bathtub, ada bekas luka gores di lengan. Dengar - dengar sih bunuh diri," jelas Reza. Nadin merinding. Bisa - bisanya ada kasus begini di dekat rumahnya. "Dan di sebelahnya itu rumah Tante Gue. Karena Om lagi dinas luar jadi mereka minta Gue temanin," jelasnya lagi. "Ngeri ya. Kok bisa sampai begitu." "Entahlah. Katanya sih gara - gara berantem sama suaminya terus frustasi, ngancam bunuh diri. Dikira suaminya cuma gertakan gak tahunya beneran." Warga banyak yang berdatangan melihat lokasi, nampak beberapa orang sedang menangis histeris. "Seharusnya Kami tidak bertengkar kemarin. Seharusnya Aku gak egois. Kalau saja Aku gak pergi keluar setelah bertengkar. Hu hu huuu," tangis seorang pria setengah baya. Sepertinya suami korban. Warga nampak prihatin karena suami korban itu terkenal baik oleh warga sekitar. "Dasar air mata buaya. Padahal dia yang bunuh. Pintar banget aktingnya biar gak dicurigai." Nadin menoleh ke arah suara. Menatap sosok itu takjub. "Maksud Lo?" tanya Nadin tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN