BAB 6| Jesslyn vs Abigail

2268 Kata
*** Setelah Jesslyn menerima hasil pemeriksaan integritas selaput dara dari dokter, dia membacanya dengan seksama. Suara napas lega bergema dalam hatinya saat kekhawatiran yang menghantui sejak pagi tadi akhirnya pupus; hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa integritas selaput daranya masih terjaga dengan baik. Melipat kembali selembar kertas di tangannya dengan hati-hati, Jesslyn kemudian memasukkannya ke dalam amplop putih dengan rapi, menjadikannya sama seperti semula. Ketika ia mengangkat wajahnya, tatapan Jesslyn bertemu dengan dokter wanita di hadapannya. Dengan senyum ramah, Jesslyn mengucapkan, "Terima kasih, Dokter. Jika begitu, saya permisi," sambil bangkit dari kursinya dan meraih mini bag di pinggir meja. Tangan kanannya terulur ke arah dokter wanita tersebut dalam tanda terima kasih. Sang dokter menyambut Jesslyn dengan ramah, dan keduanya berjabat tangan sejenak sebelum melepaskan genggaman. Setelah Jesslyn menarik tangannya, ia bergegas melangkah keluar dari ruangan tersebut. Dengan langkah mantap, Jesslyn berjalan di lorong rumah sakit. "Gila, aku tidak menyangka hal seperti ini sukses membuatku kalang kabut dalam satu hari," gumam Jesslyn, menggeleng pelan sambil terus melangkah. Setelah tadi pagi ia menghubungi Maureen dan menceritakan kejadian yang ia alami semalam, Jesslyn akhirnya diberi solusi untuk memeriksakan diri langsung ke dokter. Sore ini, Jesslyn mengikuti saran dari Maureen, datang ke rumah sakit, dan bertemu dengan dokter spesialis ginekologi. Jesslyn menjalani serangkaian pemeriksaan untuk memastikan kondisi selaput daranya. Setelah menerima hasil pemeriksaan, Jesslyn merasa lega karena ternyata integritas selaput daranya masih terjaga dengan baik. Gadis itu merasa lega karena mengetahui bahwa pria yang tidur bersamanya semalam di hotel tidak sampai melakukan tindakan yang lebih jauh padanya. ‘Sebenarnya siapa lelaki itu? Dia seperti... mengenalku dari lama,’ bisik Jesslyn dalam hati sambil melangkah menuju mobilnya di tempat parkir. ‘Dia berinisial G. Dan kalau diingat-ingat, tidak ada satupun kenalan pria-ku yang berinisial G.’ Tambahnya dalam hati. Jesslyn sungguh penasaran dengan sosok yang dianggapnya misterius. Lelaki yang semalam mencumbu seluruh tubuhnya, bahkan meninggalkan bekas jejak kepemilikan “kissmark” yang begitu banyak di sekujur tubuhnya, namun anehnya lelaki itu tidak sampai merampas satu-satunya mahkota berharganya. Jesslyn menyadari betapa langka lelaki seperti itu dijumpainya. Kenikmatan sudah begitu dekat, namun justru disia-siakan. Tidak, Jesslyn tidak merasa menyesal karena lelaki itu tidak menyentuhnya; sebaliknya, hal itu membuatnya merasa aneh. Jesslyn agak bingung karena masih ada lelaki yang mengabaikan kesempatan yang begitu jelas di depan mata. Ia mendesah pelan sambil menggelengkan kepala. Semakin lama ia memikirkan hal tersebut, kepalanya semakin pusing dan berdenyut. Setibanya di tempat parkir, Jesslyn membuka pintu mobil, masuk, dan duduk nyaman di kursi kemudi. Dia menyalakan mesin mobilnya sebelum memasang seatbelt di tubuhnya. Sejenak, Jesslyn terdiam, menatap kosong ke depan, terlihat sedang melamun. Pikirannya masih terus berputar mengenai sosok lelaki misterius itu. "G..." Inisial nama lelaki itu bergema dalam hatinya. Jesslyn sangat penasaran, ia tak bisa mengabaikan pikirannya yang terus melayang mengenai lelaki tersebut. "Hah!" Jesslyn mendesah kasar, lalu menggelengkan kepala berulang kali. "Sudahlah, sebaiknya aku tidak perlu memikirkan lelaki tidak jelas seperti itu!" ucapnya dengan rasa kesal. Jesslyn melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Saat sedang dalam perjalanan, tiba-tiba ponsel Jesslyn berdering. Sambil fokus menatap jalan di depannya, ia merogoh perangkat canggih tersebut di dalam tas yang diletakkan di atas kursi di sampingnya. Jesslyn melihat layar yang menyala terang di depan wajahnya, dan ternyata yang menghubunginya adalah Nova, sahabatnya. Dengan segera, Jesslyn menggeser tombol berwarna hijau lalu menekan tombol speaker. "Halo, Jes," seru Nova di ujung telepon. Suaranya menggema di dalam mobil. "Hmm," sahut Jesslyn dengan deheman singkat sambil menyimpan ponsel pada tempat khusus yang tersedia di dalam mobilnya. "Kamu lagi dimana sekarang?" tanya Nova. "Aku sedang di perjalanan," jawab Jesslyn. "Habis dari mana?" tanya Nova lagi. "Ada keperluan sedikit di luar, tapi sudah selesai," terang Jesslyn setelah menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia memutuskan untuk merahasiakan kejadian semalam bersama lelaki misterius dari Nova dan juga Livi. "Oh, oke. By the way... Aku dan Livi lagi di cafe tempat biasa. Kalau kamu tidak sibuk dan tidak terburu-buru, singgahlah kemari, sekedar me-time walaupun hanya sebentar," ajak Nova. Sejenak, Jesslyn terlihat berpikir sambil pandangannya tetap fokus ke arah depan. "Oke, aku kesana sekarang," jawabnya setelah berpikir sejenak. Jesslyn merasa tidak ada salahnya untuk menikmati waktu sebentar bersama sahabatnya, hitung-hitung untuk menghilangkan penat dan rasa pusing akibat permasalahan yang menimpanya. Setelah mendapat respon dari Nova, Jesslyn pun mengakhiri panggilan lalu memutar arah menuju cafe tempat sahabatnya menunggu. Tak begitu lama, Jesslyn tiba di tempat tujuan. Ia memarkirkan mobilnya, turun dengan cepat, dan melangkah dengan mantap memasuki cafe tersebut. Cafe ini adalah tempat favorit Jesslyn bersama kedua sahabatnya. Cafe ini memang agak berbeda dengan cafe-cafe pada umumnya, di mana pengunjung diperbolehkan merokok dengan bebas. Saat Jesslyn masuk, di ujung sana ia melihat sahabatnya, Livi, berdiri sambil tersenyum ke arahnya dan melambaikan tangan. Jesslyn melangkahkan kakinya dengan mantap menuju meja tempat Livi berada. “Tumben kamu ada keperluan di luar tapi tidak mengabari kami,” sembur Livi begitu Jesslyn berhenti dan duduk di salah satu kursi kosong. “Memangnya kamu ada keperluan apa, Jess? Bikin penasaran saja,” tambah Livi. Jesslyn melirik sejenak. “Kau mau tahu saja urusan orang!” sahutnya dengan nada ketus, membuat Livi terkikik geli. Sementara itu, Nova memesan kopi latte kesukaan Jesslyn. “Kalian juga tumben datang kemari tapi tidak menghubungiku.” Jesslyn menatap Nova dan Livi bergantian, menunggu jawaban atas pertanyaannya dari kedua sahabatnya. Nova mengedikkan bahu. "Kata Livi, kamu tidak berniat keluar hari ini karena ingin beristirahat," jelasnya. "Entah kenapa tadi aku hanya iseng ingin menghubungimu. Kebetulan sekali kamu sedang di luar," tambah gadis itu, dan diangguk pelan oleh Jesslyn sebagai tanda respon. "Terima kasih," ucap Jesslyn pada waitress yang mengantarkan minuman untuknya. Waitress itu pun membalas dengan sopan sebelum berlalu pergi. Jesslyn mengangkat cangkir yang terbuat dari bahan dasar keramik menuju bibirnya, lalu menyesap kopi latte kesukaannya dengan penuh nikmat. Setelah itu, ia menyimpan kembali cangkir tersebut ke atas meja dengan elegan. “Jes, by the way, aku punya kabar yang sungguh fenomenal yang ingin aku sampaikan kepadamu,” ucap Livi dengan ekspresi yang selalu terlihat antusias. Tanpa melihat pada Livi, Jesslyn bertanya, "Hm, kabar tentang apa itu?" sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari dalam tasnya. Dia melihat Livi yang menatapnya dengan mata berbinar. “Kamu, ‘kan bukan member di Wh*tsApp Group karyawan di kantor,” jeda Livi sejenak sambil melirik Nova yang terlihat cuek, lalu beralih pada Jesslyn. “Hari ini di Wh*tsApp Group itu sangat ramai sekali oleh suatu berita, berita yang sungguh menghebohkan, Jes!” pekiknya dengan kedua mata melotot, seakan apa yang ingin disampaikannya itu adalah berita paling penting di bumi ini. “Kamu tahu, ‘kan aku orangnya seperti apa?” kesal Jesslyn menatap sahabatnya dengan dingin. Ia mulai jengah karena gadis itu terkesan berbelit-belit. Seketika, Livi menelan saliva lalu mengangguk kaku, membuat Nova di sampingnya tersenyum simpul. “Iya, aku tahu kamu orangnya tidak suka berbasa-basi. Tapi, ‘kan aku memang seperti ini, Jes. Seharusnya kamu, sebagai sahabat setia, mengerti dan memaklumi kelebihan sahabatmu ini,” ucapnya dengan dramatis. Jesslyn memutar mata dengan malas, semakin jengah dengan tingkah berlebihan sahabatnya itu. Livi mengalah dan berkata, “Oke, jadi begini. Tadi siang, salah satu member di Wh*tsApp Group menyampaikan bahwa—,” ia kembali menjeda sambil melirik pada Nova dan Jesslyn bergantian, kemudian melanjutkan, “dalam waktu dekat ini, pemilik Fortuna Branding Company akan tampil di publik!" “Ya, terus masalahnya di mana?” tanya Jesslyn dengan nada yang terkesan tak peduli. “Letak fenomenanya di mana?” tambahnya, menatap serius pada Livi. Livi sontak melongo, tidak percaya, matanya melotot dan bibirnya terbuka seperti huruf 'o'. “Ya Tuhan, Jesslyn sayang, apakah kamu tidak penasaran dengan sosok pemilik perusahaan tempat kita bekerja selama ini? Dia sangat misterius, bahkan namanya tidak tercantum di database perusahaan. Kita bahkan tidak tahu siapa namanya, apalagi sosoknya bagaimana," ucapnya dengan nada menggebu-gebu. “Paling juga tidak jauh-jauh dari pria tua kepala botak, berkacamata bulat, serta perut yang membuncit,” timpal Nova, membuka suara dan mencela sosok sang pemilik Fortuna Branding Company. Dengan gerakan cepat, Livi menoleh dan menatap melotot pada Nova. “Mengapa imajinasimu tentang sosok pemilik Fortuna Branding Company begitu buruk?! Bagaimana kalau dia itu adalah sosok yang tampan, gagah, dan perkasa? Kalian yakin tidak akan tergoda?!” Livi memicingkan kedua matanya pada Nova dan Jesslyn agak kesal. “Tidak,” jawab Jesslyn, menjeda sejenak sebelum kembali melanjutkan, “Aku hanya penasaran bagaimana perkembangan karirku kedepannya,” ia kembali menghisap rokoknya dengan santai. Terdiam sejenak, Livi menatap kesal pada sahabatnya. Lalu, dia mendengus. "Kalian ini seperti bukan wanita normal saja!” ketusnya. “Jangan sembarangan bicara!” hardik Nova, menatap kesal pada Livi. Gadis itu hanya menanggapi dengan memutar malas kedua matanya. “Padahal, sejak beberapa saat lalu, aku asyik membayangkan betapa tampan dan gagahnya pemilik Fortuna Branding Company,” gumam Livi setelah menarik pandangannya dari Jesslyn dan Nova. Gadis itu menyangga dagunya dengan sebelah tangannya sambil wajahnya terpancar raut kesal. “Tapi kalian dengan tega merusak imajinasi ku tentangnya,” tambahnya dengan nada yang penuh kekesalan. Jesslyn melirik Nova, pandangannya bertemu dengan sahabatnya, kemudian ia mengedikkan bahu dengan ekspresi bingung, sementara Nova hanya tersenyum kecil tanpa suara. Mereka nampak puas karena berhasil menjahili Livi, menyadari bahwa sahabat mereka itu terlalu polos dan mudah tertipu. Terlebih lagi, jika sudah menyangkut urusan pria, bahkan yang tampan sekalipun, atau bahkan yang biasa saja, seringkali membuat Livi berperilaku berlebihan. Sementara itu, Jesslyn tidak terpengaruh sedikitpun oleh gosip yang dikemukakan sahabatnya tadi. Selama bekerja di Fortuna Branding Company, ia memang tidak pernah bertemu atau melihat pemilik perusahaan tersebut secara langsung. Jesslyn hanya mengenal CEO perusahaan, yang bernama Moren Octavius. Meskipun pria itu tampan dan gagah, Jesslyn tidak pernah merasa tertarik untuk memperhatikan atau mengenalnya lebih jauh. Bagi Jesslyn, fokus utamanya bekerja di perusahaan itu benar-benar untuk membangun karirnya, dan ia sungguh menikmati serta mencintai pekerjaannya tanpa terlalu terpengaruh oleh hal-hal di luar tugasnya. *** “Nona Abigail, kita sudah sampai,” ucap sang sopir memberitahu gadis di belakangnya. Namanya Abigail Khosam berusia 22 tahun. “Ya, aku tahu aku tidak buta,” balas Abigail dengan nada sarkastik, membuat sang sopir terdiam sejenak, kemudian meminta maaf jika telah menyinggung perasaan gadis tersebut. Abigail melepas kacamata yang bertengger manis di pangkal hidung mancungnya dan menyimpannya ke dalam tas branded miliknya. Tak lama kemudian, pintu di sampingnya dibuka oleh seorang bodyguard yang selalu setia mengawalnya kemanapun ia pergi. “Kamu ikut denganku, tapi tunggu aku di depan pintu saja,” perintah Abigail kepada sang bodyguard. “Baik, nona, silakan,” jawab bodyguard itu patuh. Sang gadis melangkah dengan langkah panjangnya masuk ke dalam cafe. Sejenak, ia berhenti, memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya melihat salah satu temannya yang ingin ia jumpai. Abigail melanjutkan langkahnya, sementara sang bodyguard berhenti di sisi pintu, berdiri dengan sikap yang tegas seperti yang diperintahkan sebelumnya oleh Abigail. Di meja yang berbeda, seorang gadis yang tak lain adalah Jesslyn, bangkit dari kursinya. Jesslyn memberi salam perpisahan pada kedua sahabatnya sambil meraih tas di atas meja, kemudian mengangkatnya ke bahunya dan melangkah menuju pintu keluar. Namun tiba-tiba... BUGH! "Damn!" maki seorang gadis yang bertabrakan dengan Jesslyn, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang hampir tersungkur ke lantai. Gadis tersebut tak lain adalah Abigail. "Sorry, sorry..." Jesslyn mencoba membantu dengan mengulurkan tangan pada Abigail, namun tawarannya ditolak dengan kasar. Nova dan Livi sontak berdiri dari duduk masing-masing, menatap cemas pada sahabat mereka. "Sorry...?!" sergah Abigail dengan tatapan menusuk tajam pada Jesslyn. "Apakah matamu tidak berfungsi dengan baik sehingga kau tidak melihat keberadaanku di sini?!" Terdiam sejenak, Jesslyn menatap wajah Abigail dengan penuh perhatian sebelum akhirnya berkata, "Aku minta maaf, aku tidak sengaja menabrakmu." Suaranya tenang dan penuh kesungguhan saat ia meminta maaf, meskipun sebenarnya Abigail juga turut bersalah karena kurang hati-hati. Abigail tidak menerima permintaan maaf dari Jesslyn. Gadis itu terkekeh dengan nada sinis sambil menatap remeh Jesslyn. Abigail melirik ke atas meja salah satu pengunjung di sampingnya dan melihat sebuah gelas yang berisi orange juice. Dengan gerakan cepat, Abigail meraih gelas tersebut dan menyiramkan isinya ke wajah Jesslyn. "Oh, astaga!" pekik Livi melihat kejadian tersebut, matanya melotot sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Menggeram marah, Nova tidak terima sang sahabat diperlakukan demikian. Ia bergerak cepat mendekat ke arah Jesslyn. Saat hendak melintasi sahabatnya untuk menyampaikan ketidakpuasan pada Abigail, langkah Nova terhenti karena Jesslyn menahan lengannya. Dengan ekspresi yang tetap tenang, Jesslyn menggeser tubuhnya dan menarik tiga lembar tisu dari meja pengunjung di dekatnya. Ia lalu membawa tisu-tisu tersebut ke wajahnya dan membersihkan bekas jus yang meninggalkan rasa lengket di kulitnya. Namun dengan gerakan secepat kilat, Jesslyn meraih sebuah botol kaca bekas minuman yang terletak di atas meja, lalu... BUG! Praangg! Dengan kekuatan yang luar biasa, Jesslyn menghantam botol kaca tersebut ke pelipis Abigail hingga pecah berkeping-keping dan meninggalkan separuhnya di tangannya. "Aakhhh...!" Abigail memekik kesakitan sambil memegang pelipisnya yang terluka. Darah segar mengucur cukup banyak, menciptakan suasana yang tegang dan memicu kekacauan di sekitar mereka. Kemudian Abigail beralih menatap Jesslyn dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. "Sialan, apa yang—," Jesslyn menyela dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai tanda agar Abigail diam. "Usstt..! Jangan sampai aku merobek wajahmu yang mulus dengan pecahan botol ini!" ancamnya, menatap dingin sambil mendekat ke arah Abigail, membuat gadis itu mundur perlahan dengan raut wajah ketakutan. "Apa yang kau lakukan?!" bentak sang bodyguard yang mendekati Jesslyn dengan langkah cepat. Melempar pecahan botol yang ada di tangannya, Jesslyn dengan cepat mengambil sebuah revolver dari dalam tasnya, lalu mengarahkannya ke arah pria itu. "Sebaiknya ajarkan sopan santun kepada nonamu ini daripada kau membentakku!" desis Jesslyn sambil menekan ujung senjata mematikan itu di kening sang bodyguard. Dengan tubuh bergetar ketakutan, Abigail menatap Jesslyn dengan tatapan tak percaya. ‘Astaga, dia memiliki senjata berbahaya seperti itu?’ bisiknya dalam hati. ‘Aku harus mengadukan hal ini kepada Gerald,’ lanjutnya dalam hati dengan penuh tekad. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN