***
Jemari lentik Jesslyn menggenggam revolver dengan erat, menekan ujungnya di kening sang bodyguard. "Berani kau membuat perlawanan, maka aku tidak akan segan menghancurkan kepalamu," desisnya tegas. Sang bodyguard merasakan ketegangan memuncak saat ia mencoba meraih senjata yang tersimpan di balik punggungnya, tapi Jesslyn sudah hafal dimana senjata mematikan itu disimpan.
Tubuh sang bodyguard menegang kaku, mencoba menelan air liur dengan susah payah untuk membasahi tenggorokannya yang kian mengering. Keringat dingin mulai terlihat di sekitar pelipisnya, menandakan ketegangan yang menggelayut.
Sambil menggenggam erat revolver di tangannya, kedua mata Jesslyn melirik tajam pada Abigail. Dalam sekejap, dengan gerakan secepat kilat…,
BUGH!
Jesslyn menghantam sisi leher sang bodyguard dengan kekuatan penuh menggunakan punggung revolvernya, membuat pria bertubuh kekar tersebut roboh ke lantai dengan gemuruh.
Para pengunjung di sekitar sontak memekik histeris, berdiri dari duduk mereka dan berusaha menjauh dari kegaduhan yang kian menjadi-jadi.
"Aarrhkkk..." teriakan kencang sang bodyguard menusuk telinga, menahan rasa sakit saat salah satu kaki jenjang Jesslyn menginjak kejantanannya tanpa ampun.
"Beruntung kau berurusan denganku di tempat umum seperti saat ini. Andai tidak, akan kujamin hari ini adalah hari terakhirmu melihat dunia dan segala keburukannya!" desis Jesslyn tajam sebelum menjauhkan kakinya dari atas kejantanan sang bodyguard, meninggalkan keheningan tegang di sekitar mereka.
Sementara di belakang Jesslyn, Livi menutup mata dan bersembunyi di balik punggung Nova, merasa ngilu melihat tindakan kejam sang sahabat terhadap pria tersebut.
Jesslyn memang dikenal tegas dan pemberani, namun Nova dan Livi belum pernah melihatnya bertindak sedrastis ini sebelumnya. Mereka bahkan tak menyadari bahwa Jesslyn diam-diam membawa senjata mematikan, sebuah pistol.
Dalam suasana hati yang kacau, Jesslyn tak peduli dengan kondisi sekitar. Ia melangkah menjauhi kekacauan yang dipicunya, namun berhenti setelah beberapa langkah saat mendengar ucapan Abigail.
"Demi Tuhan, kamu akan menyesal telah berurusan denganku!" Abigail menatap tajam punggung sempit Jesslyn.
Jesslyn, masih membelakangi Abigail, terkekeh pelan sebelum ekspresinya kembali serius. Dengan gerakan yang mantap, ia berbalik dan membalas tatapan tajam Abigail.
Dengan langkah yang mantap, Jesslyn mendekati Abigail. "Coba ulangi sekali lagi apa yang tadi kau katakan," perintahnya dengan suara tegas, berhenti tepat di hadapan Abigail, menunjukkan keberaniannya yang tak tergoyahkan.
Dengan penuh keberanian, Abigail mengulang kalimat yang akan membawa malapetaka baginya sendiri. "Kamu akan menyesal telah berurusan denganku!" desisnya tajam, tatapannya penuh kebencian mengarah pada Jesslyn.
PLAK!
Sebuah tamparan keras dari tangan Jesslyn mendarat dengan kuat di pipi kanan Abigail. Kali ini, gadis itu tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya dan jatuh tersungkur ke lantai sambil memekik kesakitan, mengisi ruangan dengan suara kepedihan yang menusuk.
Sementara suasana di cafe terasa semakin mencekam, beberapa petugas yang berada di sana enggan mendekat saat melihat Jesslyn memegang revolver.
Jesslyn mendekat pada Abigail, kemudian merendahkan punggungnya dan berjongkok di hadapan gadis yang tersungkur di lantai.
"Perlu kau tahu satu hal... Aku tidak akan pernah menyesal telah berurusan dengan siapapun, termasuk denganmu," desis Jesslyn dengan suara yang tenang namun penuh dengan ketegasan.
"So... Kau tak perlu mengancamku karena aku muak mendengar suaramu. Berhenti mencoba memancingku sebelum aku merobek mulutmu. Bahkan, aku tak akan ragu mencabik-cabik pita suaramu dan selamanya kau tidak akan bisa berbicara!"
Perlahan, Abigail beringsut mundur sambil menatap Jesslyn penuh kecemasan. Sementara itu, Jesslyn berdiri dan menegakkan tubuhnya, melangkah maju dengan sengaja menginjak pergelangan kaki Abigail. Gadis itu berteriak pilu, kesakitan terpancar jelas dari ekspresinya.
Dengan langkah mantap, Jesslyn keluar dari cafe menuju mobilnya sambil menyimpan revolvernya ke dalam tas branded. Ekspresinya terlihat begitu dingin dan bengis, menunjukkan sisi kejam yang tersembunyi di balik sikapnya yang sedikit bicara dan cuek.
Jesslyn Valentina Gonzales, gadis yang dikenal sedikit bicara dan sangat cuek, namun siapa sangka di balik semua itu ia memiliki sisi kejam yang tak terduga. Namun, perlu diingatkan bahwa meskipun menyandang nama Gonzales, ia tetap merupakan seorang Blaxton yang sejati. Ketegasan dan sikap tanpa ampun kepada siapapun yang berani mengusik, telah menjadi ciri khas seorang Blaxton yang sesungguhnya.
***
"Apa yang terjadi dengan Jesslyn?" suara serak dan berat Morgan Blaxton di ujung telepon terdengar menggema di pendengaran seorang lelaki yang saat ini duduk waspada di dalam mobilnya. Lelaki itu bernama Ryle, salah satu orang kepercayaan Morgan.
Sebelum menjawab pertanyaan sang Tuan, Ryle menelan saliva sekadar untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia melihat keluar jendela dengan tatapan awas, menyaksikan langit senja yang mulai gelap. "Seseorang sepertinya tengah mencari masalah dengan Nona Jesslyn, Tuan," ucapnya dengan nada khawatir.
"Siapa dia?" tanya Morgan dengan nada tajam.
"Seorang gadis, namun saya belum mengetahui identitasnya karena sebelumnya gadis ini tidak pernah terlibat konflik dengan Nona Jesslyn," terang Ryle dengan tegas. "Setelah saya mengamati kejadian dari beberapa sudut, saya merasa gadis itu bukan gadis biasa, karena dia ditemani oleh seorang Bodyguard."
"Jika begitu, tugasmu adalah mencari tahu. Temukan informasi selengkap mungkin tentang gadis itu," perintah Morgan, suaranya penuh otoritas dan ketegasan.
"Baik, akan segera saya lakukan," sanggup Ryle dengan sigap, siap untuk melaksanakan tugasnya.
Kemudian Morgan kembali bertanya, "Lalu bagaimana dengan Jesslyn? Apakah dia terluka?"
"Nona Jesslyn baik-baik saja, hanya terkena siraman dari orange Just, tidak lebih dari itu," jawab Ryle menjelaskan dengan lega. Di ujung telepon, Morgan bergumam pelan sebagai respon atas penjelasan Ryle, sebelum akhirnya pria itu memutuskan sambungan telepon.
Ryle menjauhkan ponsel dari telinga, matanya menatap sejenak layar canggih yang menyala terang di depan wajahnya. Dengan gerakan terampil, ia ngutak-ngatik perangkat tersebut sejenak sebelum akhirnya mematikan layar dan menyimpannya ke dalam saku celananya.
Mobil melaju perlahan-lahan meninggalkan area gedung apartemen tempat tinggal Jesslyn. Ryle fokus pada jalanan, pikirannya terbagi antara tugas yang baru saja diperintahkan oleh Tuan Morgan Blaxton dan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik di benaknya.
***
"Cepat antarkan aku ke tempat Gerald," perintah Abigail kepada sang sopir.
Sopir itu melirik ke samping kanan, tatapannya bertemu dengan sang Bodyguard. Lalu Bodyguard itu membuka suara, "Kami mohon maaf, Nona Abigail, tetapi saat ini Tuan DeVille sedang berada di markas dan Anda tidak diperbolehkan ke sana," terangnya dengan tegas.
Mendengar ucapan sang Bodyguard tersebut, Abigail naik pitam. Gadis itu tidak terima aksesnya begitu dibatasi, padahal dia memiliki hubungan spesial dengan Gerald. Sang Mafia.
"Mengapa aku tidak diizinkan untuk ke tempat Gerald. Apa kalian lupa siapa aku?!" suara Abigail melengking tajam, mencerminkan kemarahan yang tak dapat disembunyikan. "Aku adalah kekasihnya Gerald! Aku berhak menemuinya di manapun dan kapanpun, termasuk di markasnya! Kalian tidak memiliki wewenang apapun untuk melarangku ke sana, kalian paham?!" serunya dengan suara menggema di dalam mobil, dadanya tampak naik turun akibat napas yang memburu.
"Kami paham, Nona, tetapi sekali lagi saya katakan kami mohon maaf, kami tidak bisa mengikuti apa yang Anda perintahkan. Jika Tuan DeVille menghubungi saya dan meminta agar saya mengantarkan Anda ke markas, maka saya akan melakukannya dengan senang hati," ucap Bodyguard dengan suara tak kalah tegas dari Abigail.
Abigail mengepalkan kedua tangan di atas paha sambil menatap tajam pada Bodyguard tersebut. Merasa tak ada gunanya berdebat dengan mereka, Abigail pun beralih merogoh ponsel di dalam tas brandednya.
Dengan gerakan cepat, ia mengutak-atik perangkat canggih tersebut dan tak lama kemudian menemukan kontak Gerald. Abigail membawa ponsel ke dekat telinga dan membiarkan menempel di sana. Namun detik-detik berikutnya, Abigail mengumpat kesal karena panggilannya tak kunjung dijawab oleh sang Mafia.
Frustasi, Abigail berteriak di dalam mobil bagaikan orang gila, sedangkan supir dan Bodyguard di depan hanya diam saja. Mereka sudah terbiasa melihat Abigail seperti ini ketika diabaikan oleh Tuan mereka, sang Mafia Gerald DeVille.
Meskipun Abigail memiliki hubungan yang spesial dengan Gerald, gadis itu tidak diberi akses untuk berkunjung ke markas Egglen, bahkan lokasinya pun Abigail tidak tahu. Bahkan kediaman Gerald pun juga tidak diketahui oleh Abigail.
Setiap kali sang Mafia ingin bertemu dengannya, lelaki itulah yang akan datang ke apartemen yang diperuntukkan khusus untuk Abigail, atau gadis itu yang diminta menemuinya di hotel sekedar untuk menuntaskan hasrat.
Terkadang hal seperti ini membuat Abigail kesal, merasa bahwa Gerald terlalu membatasi setiap aksesnya. Rasa kesal dan kekecewaan mulai merayap di hati Abigail, seiring dengan perasaan bahwa hubungan mereka mungkin tidak seimbang.
***
Markas Dark Egglen…
Di pinggiran kota Milan, terletak bangunan megah yang menjadi markas Dark Egglen, Mafia terkuat di Italia. Bangunan ini tersembunyi di antara hutan-hutan pinus yang rindang, menjauh dari pusat kota yang sibuk.
Dikelilingi oleh keheningan alam dan udara segar pegunungan, bangunan tersebut menonjol dengan arsitektur klasik dan elegan yang mencolok di tengah alam semulajadi.
Bangunan itu terlihat megah dan kokoh, memberikan kesan kekuatan yang melambangkan kekuasaan Dark Egglen di dunia Mafia. Suasana mencekam dan aura misterius terasa begitu kuat di sekitar markas tersebut.
Pintu besi besar yang dijaga ketat oleh penjaga bersenjata menandai masuk ke dunia rahasia sang Mafia. Di sekitar bangunan, terdapat mobil mewah parkir dan beberapa anggota yang berjaga-jaga, siap melindungi markas mereka dari siapa pun yang berani mengganggu.
Di dalam markas tersebut, terdapat pintu rahasia yang tersembunyi di sudut ruangan yang tidak mencolok, menuju ruang bawah tanah. Setelah melewati pintu tersebut, terdapat lorong-lorong sempit yang dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar aneh dan lambang-lambang misterius, menciptakan atmosfer yang mencekam dan misterius.
Di ujung lorong, terbuka sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan barang-barang berharga yang dicuri, dan di tengahnya terdapat meja besar di mana bos Mafia tersebut biasanya duduk sambil merencanakan rencana-rencana kejam berikutnya.
Di ruang bawah tanah yang gelap dan angker ini, terdapat sel-sel kecil yang terbuat dari beton tebal dengan pintu besi yang terkunci rapat. Dinding-dinding sel dipenuhi dengan bekas-bekas darah dan goresan-goresan yang menggambarkan penderitaan, menciptakan suasana yang menakutkan dan mencekam.
Peralatan penyiksaan yang mengerikan terpajang di dinding, seperti rantai besi, cambuk, dan alat-alat lain yang digunakan untuk menyiksa para tahanan. Suara tangisan dan erangan para tahanan terdengar samar-samar di kejauhan, menambah ketegangan di ruangan tersebut.
Bau darah dan rasa takut menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer yang mencekam dan penuh ketakutan. Para sandera terlihat lemah dan pucat, terikat dengan rantai besi, sementara penjaga kejam berjaga di sekitar ruangan dengan senjata teracung, siap untuk melaksanakan perintah sang bos Mafia.
“Jadi kau tetap tidak mau memberitahu siapa Tuanmu, huh?!” Geram Sang Mafia sembari menatap. Darah mengotori dagu sang lelaki, sementara ujung revolver kokoh terpegang erat di tangan sang Mafia.
Lelaki itu menatap sang Mafia dengan tatapan lemah dan penuh ketakutan. Kelopak matanya terasa begitu berat, dan suaranya tercekik di tenggorokan karena ketakutan yang memenuhi hatinya. Ia ingin berbicara, namun kata-kata terasa begitu berat untuk diucapkan.
Kemudian, sang Mafia bangkit dari duduknya dan menjauh dari lelaki tersebut dengan gerakan mundur beberapa langkah sebelum berhenti. Sejenak, suasana hening tercipta di antara keduanya, sang Mafia menatap pria itu dalam diam sebelum akhirnya bergumam pelan, "Sudah tidak berguna." Tanpa ampun, sang Mafia mengokang senjata di tangannya dengan dingin dan kejam.
DOR!
DOR!
Suara letusan tembakan menggema di ruang bawah tanah, memecah keheningan dan membuat suasana kian mencekam. Lelaki yang merupakan sandera sang Mafia meregang nyawa dalam hitungan detik setelah timah panas mengoyak jantung dan kepalanya, tubuhnya terjatuh tanpa kehidupan.
"Gunakan cara lain dan temukan pelakunya," ucap Gerald tanpa menoleh pada Carlos yang berada di dekatnya. Ekspresi wajahnya tak terbaca, tetapi matanya memancarkan keputusan yang tegas. Dengan langkah mantap, Gerald meninggalkan ruang bawah tanah tanpa dosa dan rasa bersalah.
Di belakangnya, ruangan itu kembali tenggelam dalam keheningan yang menakutkan, sementara aroma darah segar masih menyelimuti udara.
Sementara Carlos menatap penuh perhatian punggung lebar sang tuannya yang menjauh, ia merenung sejenak sebelum akhirnya bergegas melaksanakan tugas yang baru saja diperintahkan. Tugasnya adalah untuk mencari tahu siapa dalang di balik kegagalan transaksi besar yang dilakukan semalam.
Kerugian besar dialami oleh sang Mafia karena transaksi yang direncanakan gagal total. Sejumlah besar narkoba, kokain, dan senjata ilegal yang seharusnya sampai ke pihak pembeli, justru diciduk oleh Polisi. Hal ini membuat sang Mafia murka dan berusaha keras untuk menemukan siapa yang berada di balik kegagalan tersebut.
Dalam waktu beberapa jam setelah kejadian, anak buah Gerald berhasil menemukan salah satu dari mereka, yaitu pria yang baru saja terbunuh di tangan dingin sang Mafia. Keberhasilan dalam menemukan pelaku membawa sedikit kelegaan bagi sang Mafia, namun mereka tahu bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk menemukan seluruh jaringan yang terlibat dalam kegagalan transaksi tersebut.
Namun, saat pria itu diinterogasi selama berjam-jam, ia tetap tidak mau membuka mulut mengenai siapa dalang di balik kejadian tersebut. Kegigihan sang Mafia untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan semakin memuncak, dan akhirnya Gerald memutuskan untuk mengambil tindakan dengan membunuhnya.
“Permisi, Tuan DeVille,” seru salah satu bodyguard dengan hormat saat memasuki ruangan. Gerald menghentikan langkahnya dan menatap datar pada sang bodyguard, menunggu informasi yang akan disampaikan.
Bodyguard tersebut kemudian menyampaikan kepada Gerald tentang Abigail, serta permasalah yang tengah mengalami oleh gadis itu. Wajah Gerald sedikit berkerut saat mendengar, dan ia langsung bertanya, “Sekarang dia di mana?”
“Nona Abigail menunggu Anda di apartemen. Tadi dia sempat marah karena supir dan bodyguard yang bersamanya menolak mengantarnya kemari. Dia sungguh ingin bertemu dengan Anda, Tuan,” terang sang bodyguard setelah menjawab.
Terdiam sejenak, Gerald kembali bertanya, “Dengan siapa dia bermasalah?”
“Dengan Nona Jesslyn di sebuah cafe,” jawab sang bodyguard dengan suara mantap.
Deg!
Gerald tertegun sejenak sebelum menatap tajam pada sang bodyguard. “Apa yang Abigail lakukan terhadap Jesslyn?” Tanyanya dengan suara dingin, langkahnya mendekat pada sang bodyguard.
Dengan tatapan gugup, sang bodyguard dengan cepat menjelaskan kejadian sebenarnya untuk menghindari amukan sang tuan.
“Kau tahu apa resikonya jika kau berani berbohong?” ujar Gerald sambil mengusap punggung revolver yang ada di tangan kanannya, tatapannya tajam menghujam sang bodyguard.
Glek!
Sang bodyguard menelan saliva dengan kasar. “Saya... sudah mengamankan rekaman CCTV mengenai kejadian tersebut, Tuan. Anda bisa memastikan sendiri jika penjelasan saya kurang meyakinkan. Nona Jesslyn tidak sampai terluka, malah sebaliknya dia yang melukai Nona Abigail.”
“Segera kirimkan rekamannya kepadaku!” perintah Gerald dengan suara tegas yang tak terbantahkan, dan sang bodyguard pun langsung menyanggupi dengan sigap untuk mengirimkan rekaman yang diminta.
Gerald tetap berdiri dengan posisi tegak, memperhatikan perangkat canggih yang berada dalam genggamannya. Ia mengamati detik demi detik durasi video yang diputar pada perangkat tersebut hingga selesai, lalu menyimpan kembali perangkat tersebut dalam saku celananya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sang Mafia melangkah dengan mantap keluar dari markas menuju mobilnya. Ia masuk ke dalam kendaraan mewah tersebut dan melaju dengan gagah melintasi pintu gerbang yang menjulang tinggi.
***