Bagian 21 : Aksa dan Asoka

1305 Kata
Lunara melahirkan bayi setelah beberapa pekan berlalu sejak kelahiran putra Inka, Asoka. Dia dibantu oleh dukun beranak yang dituakan di dalam istana. Seorang nenek yang dulu juga pernah membantu Ratnadewi dalam persalinannya, bahkan dibuat tak sadar saat mencoba melindungi Arunika. "Ni, bagaimana keadaan bayiku?" tanya Lunara saat tangis bayi pecah usai proses persalinannya. Dukun beranak itu terdiam. Dia tahu bahwa sosok yang dibantu dalam persalinannya bukan seorang manusia. Namun, dia tahu ada darah lelembut dan manusia menetes pada bayi yang baru saja terlahir. Jadi kemungkinan, sosok yang berada di hadapannya memiliki keterkaitan dengan petinggi istana. Dia menjelma dalam wujud Inka untuk mengelabui semua orang. Sekarang, pertanyaan dalam benaknya adalah : Apakah mungkin terusirnya Raja Agastya karena persekutuan Babad dengan sosok lelembut? "Ah, jadi kau sudah tahu siapa aku?" tanya Lunara bangkit dari ranjang tidurnya. Karena ilmu yang tinggi, dia tak merasakan lemas seusai persalinan bayinya. "Kau … lelembut?" tanya dukun beranak yang masih menggendong bayi milik Lunara. "Benar. Aku adalah lelembut. Aku bisa membaca pikiranmu." Lunara terus melangkahkan kaki semakin dekat. Sebuah kejadian yang terasa tak asing. Ini pernah terjadi saat dia mencoba merebut Arunika dari genggaman dukun beranak itu. Sampai ketika bayi miliknya telah berhasil di rebut, dia memanggil lelembut lain. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya dukun beranak tadi. "Kau sudah tua. Kematian ingin menjemputmu ke Nirvana atau … Naraka Jahanam." Sesaat Lunara tersenyum, tapi tak lama wajahnya tak berekspresi apa pun. Lelembut yang tadi datang kemudian berdiri di belakang sang dukun beranak. Awalnya dia hanya memeluk, hingga kemudian merasuk ke dalam tubuh sang dukun beranak. Kedua jiwa yang ada dalam satu tubuh tersebut saling berebut agar bisa mengendalikan. Namun, yang terjadi adalah mereka hanya melukai tubuh tersebut hingga berdarah-darah. Lunara sudah kembali ke atas ranjang tidur dan bersandiwara seolah lemas. Sosok lelembut yang ditugaskan untuk menjaga bayi dari Inka memberikan Asoka ke pangkuannya. Saat tubuh sang dukun beranak sudah benar-benar terluka, jiwanya pun keluar dan tak dapat kembali. Mulailah Lunara berteriak menggemparkan seisi istana. "Tolooong …" Bruk! Penjaga mendobrak pintu yang dipalang dari dalam. "Ratu Inka, anda sudah dapat berbicara kembali?" tanya salah seorang penjaga. Lunara mengangkat tangan dan menunjuk ke arah dukun beranak yang masih menyakiti dirinya sendiri. "Ya ampun, Ni. Apa yang terjadi?" Seorang penjaga terkejut melihatnya menyakiti diri sendiri. Lalu, perlahan sang dukun beranak mengangkat pandangannya dengan tatapan mengerikan. Dia tertawa melengking membawa tubuhnya terbang ke luar istana. Para penjaga segera keluar dari bilik Inka untuk memanggil Babad dan memberitahu para prajurit tentang sang dukun beranak yang tengah kerasukan. Di pekarangan istana, jiwa lelembut yang menguasai tubuh dukun beranak tersebut bertarung dengan prajurit Kerajaan Manbara. Tujuannya agar tubuh tersebut terus tersakiti dan kematian memang benar-benar menjemput jiwa dukun beranak itu. Ketika tak sengaja seorang prajurit menancapkan tombak ke perut, jiwa lelembut baru keluar. Segumpal cahaya terbang ke langit meninggalkan Istana Manbara. "Tidaaak!" Jiwa sang dukun beranak menangis melihat raganya penuh dengan luka. "Ni …" Suara yang tak asing memanggilnya. "Ratu Inka?" Dukun beranak itu melihat jiwa dari Inka. Sesaat kemudian pandangannya beralih ke ranjang tidur ratu. Lunara berbalik melirik mereka dengan tatapan tajam. Dia berkata kepada dukun beranak, "Nikmati empat puluh hari sisamu berada di dunia fana, Ni." Datanglah Babad bersama para dayang, lamont dalam tubuh kahil dan para prajurit. "Ratuku … apa yang terjadi?" tanya Babad bersandiwara. Pandangannya beralih kepada dua bayi dalam pangkuannya. Pada akhirnya, dia lega bahwa jati diri Asoka tak lagi disembunyikan. Lunara menitikan air mata palsu, seolah dia tengah menatap haru karena rasa tak percaya. Kemudian sebuah kalimat terlontar, "Aku tidak tahu. Setelah melahirkan bayi kembarku, aku bisa melihat dan berbicara. Namun, nini terlihat menyakiti dirinya sendiri." "Ratu Inka." Babad memeluk Lunara. Sungguh, sandiwara mereka membuat jiwa Inka tersakiti. Namun, beberapa hari lagi jiwanya akan segera pergi dari dunia fana, dan akan hidup tenang dalam keabadian. Babad melepas pelukan dan beralih menatap kedua bayi di pangkuan Lunara. Naluri mendorongnya untuk mengambil Asoka dari tangan Lunara. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, Lunara terlebih dahulu menjauhkan bayi Asoka. Dia mengisyaratkan agar Babad menggendong bayinya yang juga seorang laki-laki. "Bolehkan aku memberinya nama, Ratuku?" tanya Babad setelah menggendong bayi dari Lunara. "Tentu." Memang itu yang Lunara mau. "Aku akan memberinya nama Aksa." Babad mencium keningnya. Lalu menatap bayi dari Inka. Sekali lagi dia memanggil nama yang sudah diberikan sebagai sebuah berita agar semua orang mengetahuinya. "Dan dia … Asoka." ⁂ Kentungan di depan gapura Istana Manbara berbunyi. Matahari sudah berada di arah barat, namun belum cukup tenggelam. Sehingga kabar akan kelahiran bayi dari Ratu Inka harus di umumkan kepada rakyat Manbara sebelum malam menjelma. Selain itu, kabar kesembuhan dari cacat yang dialaminya harus diberitakan pula bersamaan dengan ini. "Rakyat Manbara, Ratu Inka telah melahirkan putra kembar hari ini. Putra pertama mereka bernama Aksa dan saudaranya Asoka," ungkap Lamont sebagai pengganti Kahil sebagai penasihat istana. Semua orang menyambutnya dengan suka cita, riuh suara tepuk tangan terdengar hingga ke dalam istana. ⁂ "Kau sepertinya terlihat gelisah?" Lunara menerka isi hati Babad. "Tidak! Aku sama sekali tidak apa-apa!" ungkap Babad tak berpaling. Dia melihat kerumunan rakyat Manbara dari jendela biliknya. "Aku tahu. Kau pasti kecewa karena aku tak mengizinkanmu menggendong Asoka." Lunara menerka perasaan Babad. Namun, laki-laki itu masih tak mau berpaling. Sudah sejak lama, dia tidak bisa membaca pikiran Babad. Sepertinya dari hari ke hari, ilmu Babad semakin berkembang. 'Sepertinya, aku harus mencari cara untuk melumpuhkan mantra pelindung Babad,' batin Lunara sambil menerka bahwa ilmu Babad didapat dari kitab peninggalan Raja Danasura. Maka, penangkalnya pun pasti ada dalam salah satu kitabnya. "Babad, aku ingin kau menanamkan kepada diri Asoka bahwa dia harus selalu melindungiku, karena aku adalah ibunya. Dia juga harus melindungi Aksa, karena Aksa adalah calon pewaris takhta, dan selamanya, Asoka hanya akan msnjadi seorang pesuruh." Babad menghela napas. "Mereka masih sangat bayi. Apa yang ada dalam pikiranmu?" Sambil berpaling menatap, kepalanya tak henti menggeleng. Lunara tak melepas pandangannya. Dia berkata, "Apa yang kupikirkan? Kau sendiri sedang memikirkan apa? Kenapa aku semakin lemah untuk membaca pikiranmu sekarang ini?" Babad tersenyum, kali ini dia merasa menang. "Rupa-rupanya, Rama Danasura memang seseorang yang memiliki ilmu tinggi. Aku menyesal tak mencuri ilmunya sejak lama." Dia lantas meninggalkan Lunara di bilik tersebut sendiri. 'Kau boleh merasa menang sekarang. Namun, kau harus tetap ingat bahwa aku pun bukan lelembut biasa. Rama Danawa saja kewalahan menghadapiku. Ah, rama ... bagaimana dengan keadaan dia? Sudah lama aku tak mendengar kabarnya sejak terakhir kudengar kondisinya memburuk.' ⁂ Di depan sebuah cermin Danawa menatap dirinya. Kerutan-kerutan di wajah yang membuatnya terlihat semakin tua menandakan keabadian sudah meluntur darinya. Karena dia takut jika usianya tak sampai untuk menurunkan ilmu kepada cucunya, maka dia menurunkan ilmunya terlebih dahulu kepada Harsa. "Rama ... apakah hari ini kita akan berlatih kembali?" Harsa memasuki bilik Danawa. "Tentu, Putraku. Mari!" Danawa mengambil langkah di depan Harsa. Mereka berjalan menuju gelanggang pertempuran Istana Lembahiyang. Dahulu, di tempat itu pula Danawa menurunkan banyak ilmu kepada Lunara. Perasaan gelisah kemudian berkecamuk tatkala mengingat pengelihatannya akan masa depan. Dia tak kuasa menerima jikalau putrinya akan perang darah dengan cucunya. "Rama!" Harsa menepuk pundak Danawa, seketika langkahnya terhenti. "Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Danawa tersadar. Mereka sudah sampai di tempat tujuan. Bisa-bisanya selagi kaki melangkah, dia justru tak sadarkan diri memikirkan hal-hal dari ketakutannya. "Maafkan, Putraku. Baiklah kalau begitu, kita mulai untuk berlatih kembali." Danawa berdiri sebagai seorang guru sekarang. Dia meninggalkan perasaan-perasaan welas asih sebagai seorang ayah. Karena hakikatnya, seorang guru harus tegas kepada muridnya. "Harsa! Aku ingin kau bersumpah seperti biasanya." Danawa melakukan ritual seperti biasanya sebelum memulai untuk menurunkan ilmunya. "Baik, Rama. Aku bersumpah kepada pemilik alam semesta, bahwa ilmu yang kudapat darimu akan kuturunkan kepada putraku Rega sebagai seorang Amara. Jika tidak, aku tidak akan mendapat kemaslahatan sepanjang hidupku." Alam semesta mendengar sumpahnya. Langit yang bergemuruh karena guntur seolah menyahutnya. Sumpah adalah perkataan yang memiliki timbal balik antara kemaslahatan dan karma. Maka sebaiknya, janganlah bermain-main dengan sumpah. . . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN