Bagian 22 : Satu Dekade Kemudian

1291 Kata
Waktu sudah bergulir selama satu dekade. Seorang gadis berlari dengan kaki telanjangnya menyusuri hutan. Kecepatannya menyeimbangkan diri dengan seekor rusa yang sedang dikejarnya. Saat langkah semakin mendekat, tangan bergerak menarik anak panah dari busurnya. Lalu, ujung runcing itu melumpuhkan buruannya. "Hah! Mampus kau. Malam ini aku akan makan enak. Biung dan Rama pasti senang dengan buruanku." Arunika … dia telah tumbuh menjadi gadis cilik yang pintar. Beberapa ilmu yang diwariskan oleh Agastya mampu dikuasai dengan cepat. Namun, dia belum mengetahui keistimewaan dirinya sebagai Amara. Terlebih mengenai jati diri sebagai putri dari kerajaan Manbara. Suara dari semak-semak seketika membuatnya waspada. Barangkali, itu adalah makhlul buas yang dikuasai aura keburukan untuk menyerangnya. Dia sudah menarik anak panah dari busurnya. Bidikan matanya menerawang sosok apa yang ada di balik semak-semak tersebut. Langkahnya berjalan pelan menghampiri. Hingga … "Gadis kecil, tolong nini …" seorang perempuan tua keluar dari semak-semak. Cara berjalannya bongkok dan kakinya gemetar. "Siapa kau?" tanya Arunika. Dia tidak mencium bau lelembut darinya, tapi kedua orang tuanya juga selalu bilang kalau tak ada manusia selain mereka. Selain itu, perawakannya terlihat berbeda dengan kedua orang tuanya. "Tolong … nini kelelahan dan lapar." Nurani Arunika tak membiarkannya menyerang. Dia kalah dan megurungkan diri untuk melesatkan anak panahnya. Sesaat, dia berpikir untuk membawanya ke gubuk. Namun, perjalanan akan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, dia mengajak perempuan tua di hadapannya untuk membakar daging rusa yang baru saja dia buru. "Duduklah di sebatang pohon besar yang mati itu. Kita akan membakar daging rusa hasil buruanku. Namun, aku akan mengumpulkan kayu dulu sebentar." Arunika bersiul memanggil burung-burung di sekitarnya. Tak lama, sekawanan burung datang ke hadapannya. Dia berkata, "Bantu aku untuk mengumpulkan kayu bakar." Burung-burung pun beterbangan lagi meninggalkan Arunika. "Kau bisa berbicara dengan seekor burung?" tanya perempuan tua. "Ya … aku bisa berbicara dengan semua binatang di hutan ini," jawabnya sambil memotong daging rusa tadi. "Kalau begitu … rusa yang kau bunuh juga bisa berbicara denganmu?" Dia bertanya lagi. "Tentu saja. Tadi, dia memohon kepadaku untuk tidak memburunya." Arunika tertawa kecil menganggap hal tersebut lucu. "Lalu, kenapa kau masih memburunya?" Perempuan tua itu terlalu banyak bertanya, hingga Arunika berhenti memotong daging rusa tersebut. "Kau tahu … Rama bilang, hewan dan tumbuhan adalah karunia dari Sang Hyang Widi untuk manusia bertahan hidup. Jika saja aku boleh meminta, aku juga tidak ingin memiliki karunia untuk dapat berbicara dengan mereka." Sekawanan burung yang tadi dimintai tolong oleh Arunika telah kembali membawa ranting-ranting pohon. Obrolan di antara mereka pun terhenti sejenak. Arunika kembali mempersiapkan semuanya. Dia menggesekkan kedua batang ranting untuk menyalakan api. Tak lama saat api menyala, dia segera membakar ranting pohon lainnya yang telah disusun untuk membuat api unggun. "Omong-omong, siapa namamu?" Setelah sekian lama terdiam, perempuan tua kembali bertanya. Daging rusa yang dipanggang Arunika telah matang. "Arunika!" jawabnya tersenyum sambil menyodorkan daging matang di tangannya. "Terima kasih, Arunika." Mereka kemudian menyantap daging rusa itu bersama. Setelah beberapa suapan, Arunika baru tersadar kalau air di sebatang bambu yang dibawanya habis. "Ah, aku lupa. Kau tunggulah aku sejenak di sini." Dia berlari menuju anak sungai terdekat dan mengisi kembali air pada sebatang bambu. Saat kembali, perempuan tua sudah selesai menghabiskan daging miliknya. Arunika pun mengulurkan bambu tersebut dengan berkata, "Minumlah." Dia kembali duduk dan menyantap daging miliknya kembali. "Nini berasal darimana? Rama bilang, tak ada manusia selain kami di sini. Karena kami terusir dari kampung." Arunika kembali mempertanyakan tentang jati diri perempuan tua. Dia baru tersadar, kalau pertanyaan awal darinya tak dijawab. Malah, perempuan tua itu yang terus bertanya. "Benarkah ramamu berkata seperti demikian? Apa saja yang dia ceritakan?" Arunika menarik napas. Dia melempar daging yang ada di tangannya pada kobaran api yang masih menyala. "Aku sudah bertanya kepadamu sebanyak dua kali. Tapi, kau terus mengalihkan jawaban dari pertanyaanku. Siapa kau ini sebenarnya?" tanya Arunika sekali lagi. Perempuan tua tersenyum, tapi masih belum menjawab pertanyaan. "Kau memang tak berniat menjawab pertanyaanku, bukan? Baiklah." Arunika bangkit mengambil busur dan anak panahnya. Dia berlalu meninggalkan perempuan tua sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah teriakan terdengar. "LUMINA! katakan itu kepada ramamu." Sosok perempuan tua menghilang saat Arunika berbalik. "Aku sudah menduganya. Dia pasti lelembut, tapi kenapa aku tidak bisa mencium aroma khasnya?" gumam Arunika sambil berpikir sejenak. Lalu, kedua bola matanya menangkap kembali sisa daging rusa yang tadi belum di bakar. "Ah, aku hampir lupa. Akan kubawa pulang untuk Rama dan Biung." Arunika tak terlalu memikirkan banyak hal dan berjalan pulang. ⁂ "Kakang … bagaimana mengenai jati diri Arunika. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk mengatakan kepadanya?" Sudah beberapa hari berlalu, Ratnadewi ingin membahas hal tersebut dengan Agastya. Tapi, dia belum menemukan kelonggaran dari keberadaan Arunika sampai datangnya hari ini. Gadis itu pergi cukup lama. "Entahlah, Diajeng. Lumina sudah sejak lama tak datang menemuiku. Tepatnya, saat dia datang ke kerajaan lelembht waktu kita ditangkap mereka." Agastya masih menunggu kedatangannya. Meskipun terkadang, firasat buruk hinggap dalam benaknya. "Mau sampai kapan kita menunggunya, Kakang? Mungkin saja, sesuatu yang buruk telah terjadi padanya saat itu," ungkap Ratnadewi. "Tapi, dia seorang Amara, Diajeng. Aku yakin! Dia pasti kembali." Agastya bersikukuh dengan keyakinannya. Hingga suara pintu terdorong mengagetkan mereka. "Arunika …" ucap Agastya dan Ratnadewi bersamaan. "Sampurasun, Rama … Biung … aku telah memburu rusa untuk makan malam kita." Arunika memamerkan buruan di tangannya. "Rampes …" mereka mengucapkannya bersamaan lagi. "Lalu, kenapa kau pergi lama sekali. Apakah buruanmu begitu sukar ditangkap?" tanya Ratnadewi sedikit khawatir. Meskipun dia tahu, bahwa pasti tidak akan terjadi hal buruk kepadanya. "Ah … itu." Arunika memberikan daging rusa terlebih dahulu kepada ibunya. "Aku bertemu dengan seorang nini tua tadi," ungkapnya sambil duduk di samping Agastya. "Nini tua? Siapa?" Agastya mengernyitkan dahi penasaran. Kemudian Arunia memijat lembut jidatnya, mencoba mengingat kata yang dia lupakan. "Em … Lu …" Agastya membelalakkan mata. Dia menerka jika Arunika akan mengatakan, "Lumina?" "Ah, benar. Aku tidak mencium bau lelembut darinya, tapi saat dia mengatakan dirinya Lumina, dia menghilang begitu saja." Agastya bahagia mendengarnya. Rupa-rupanya, sosok Lumina sudah menemui kembali Arunika. Berarti, telah sampai pada saatnya pula sang putri harus mengetahui tentang jati ditinya. "Ada banyak hal yang harus kau ketahui, Putriku. Dengarkan baik-baik." Agastya mulai bercerita tentang Kerajaan Manbara, kematian Raja Danasura, hingga perebutan takhta yang membuat Arunika terlahir berbeda bahkan Permaisuri Ratnadewi tak sadarkan diri. Sampai nasib nahas kemudian membawanya terasing ke hutan Bendu. Pertemuan dengan sosok Lumina pun terjadi. "Engkau adalah putri dari kerajaan Manbara. Dan kau … adalah seorang Amara." Agastya menutup penjelasannya. "Amara? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Bukan hanya kata terakhir yang kau katakan, tapi semuanya. Terdengar seperti lelucon, Rama." Arunika mengangkat tubuhnya. Dia menyimpan panah miliknya di tempat biasa. Lalu, Ratnadewi mendekat kepadanya. "Apa kau … pernah memerhatikan perawakanmu?" Arunika mengernyitkan dahi. Perlahan dia menggelengkan kepala. "Sekarang, kau tatap mataku. Di sana ada pantulan dirimu. Apakah kau sama seperti kami? Rama dan Biungmu." Arunika terkejut, ternyata dirinya memang berbeda. Kenapa selama ini dia tak pernah sadar akan hal ini? Dibandingkan dengan ayah dan ibunya, dia justru lebih mirip dengan nenek tua yang ditemuinya tempo lalu. Jadi … "Apa itu Amara?" tanya Arunika bersungguh-sungguh. "Senang kau mempertanyakan hal tersebut." Sosok Lumina tiba-tiba ada bersama mereka. Perawakannya memang sedikit terlihat agak tua, tapi tidak setua yang dilihat Arunika tadi. "Kau … siapa sebenarnya dirimu?" Mata tajam menatap Lumina penuh kecurigaan. "Aku adalah Lumina. Leluhurmu, leluhur biungmu dengan ras yang berbeda. Darah Amara menetes kepada kita," ungkapnya memberi jawaban. "Aku … aku masih belum paham." Arunika tiba-tiba merasakan kegelisahan yang tak beralasan. "Tidak apa-apa. Seiring waktu, kau akan paham dengan sendirinya. Sekarang, kau hanya perlu menerima semua ilmu yang akan kuwariskan kepadamu. Karena semua yang akan berhadapan denganmu juga sedang mempersiapkan diri. Baik itu musuh atau pun kawanmu." Arunika terdiam, kehabisan kata-kata. Namun, dalam benaknya dia penasaran pada kalimat terakhir Lumina. 'Siapa yang dimaksud olehnya?' . . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN