Kereta kencana membawa Babad beserta rombongan Kerajaan Manbara menuju ke Tanah Maitreya. Lalu, penyambutan meriah pun sudah dirasakan olehnya ketika melewati pedesaan-pedesaan yang berada di bawah kepemimpinan Ranendra. Suara gamelan sudah terdengar saat jarak semakin dekat untuk sampai. Dia kemudian melihat para dayang yang menari di pekarangan Istana Maitreya.
Ketika diri sudah menapakkan kaki di Tanah Maitreya, seorang dayang dan abdi datang menghampirinya. Mereka mengalungkan bunga melati sebagai salah satu rangkaian penyambutan calon pengantin. Kemudian, disusul oleh datangnya Ranendra dan Gistara.
"Selamat datang di Tanah Maitreya, Pangeran Babad," ucap Ranendra penuh wibawa. Meskipun dia tahu, kalau kewibawaannya telah jatuh karena menerima lamaran dari kerajaan yang sudah mengalahkannya.
"Terima kasih banyak, Raja Agung Ranendra. Aku merasa terhormat sekali dengan penyambutan meriah ini. Maka kiranya, mungkin beberapa peti emas dan hasil ternak beserta tani yang kubawa cukup setara untuk semua ini." Babad tak berlagak angkuh, wajahnya cukup mumpuni untuk bersandiwara sebagai orang yang dermawan. Sehingga Ranendra dan Gistara pun mulai gelap mata. Mereka melupakan kepedihan serta dendam akan kekalahan yang merenggut pengelihatan putrinya.
"Kurasa ini sangat berlebihan, Pangeran Babad. Kalau begitu, mari kita menuju sanggah untuk segera melakukan upacara suci perkawinanmu." Ranendra membuka jalan lebar bagi Babad untuk memasuki Istana Maitreya.
Inka, putrinya itu telah melakukan banyak pengorbanan demi kerajaan ini. Jadi, perkawinan ini pun serasa tak percuma. Bagi kedua orang tuanya, perkawinan ini akan mengangkat kembali kejayaan dari Kerajaan Maitreiya. Dimana nanti, kerajaan ini bukanlah lagi sebagai b***k. Melainkan besan yang teramat istimewa. Kasihan sekali Ranendra dan Gistara, terbuai dalam angan yang dibangun oleh kebaikan Babad.
Sementara itu, Inka yang masih berada di biliknya meringis pilu. Bilakah ini hukuman untuknya yang menyalahi kodrat di masa lalu, maka ingin sekali dia memanjatkan harapan kepada Sang Hyang Widi. Dia ingin agar nyawanya dicabut saja dan ruhnya terlahir kembali sebagai sebuah reinkarnasi. Di masa mendatang itu, dia tak akan melawan takdir. Jika dia perempuan, maka selayaknya akan berlaku sebagaimana perempuan, begitupun sebaliknya. Dia tak akan lagi mengikuti peperangan seperti ksatria bilamana dilahirkan kembali dalam raga seorang perempuan.
"Saharsa hyang, Putri Inka. Pangeran Babad dari Kerajaan Manbara telah sampai dan menunggu anda di sanggah perkawinan." Seorang dayang memasuki biliknya dan mengabarkan tentang kedatangan lelaki itu.
Wajah Inka semakin jelas menampakkan kekecewaan pada hidupnya. Sebagai seorang putri yang dulunya terkenal hebat, kini dia harus menanggung penderitaan bertubi-tubi. Bahkan sebelum hari ini tiba, berhari-hari tubuhnya terpasung agar tak melarikan diri. Tahu-tahu, sekarang dia terlepas untuk melakukan sebuah perkawinan.
"Putri, apa engkau baik-baik saja?" Seorang dayang lain yang duduk di samping membantunya sedari tadi merias diri bertanya.
"Kurasa begitu. Apakah kau sudah selesai mendandaniku?" Suka atau tidak suka, semua ini harus dihadapi. Jadi, biarlah takdir yang mengatakan apakah semesta merestui perkawinan mereka atau tidak.
"Sudah, Putri. Hamba sudah menyelesaikan semua tugas untuk merias anda. Engkau tampak cantik sekali hari ini," katanya memuji. Namun, Inka sama sekali tak peduli dengan penampilan sebenarnya. Dia hanya mengikuti semua rangkaian ritual ini semata demi ayah beserta ibunya. Sebab, secantik apa pun dirinya, dia tetap tak bisa melihatnya.
"Baiklah. Mari kalau begitu kita menuju ke sanggah." Inka berdiri. Kemudian kedua dayang mengapingnya berjalan.
Inka menghitung langkahnya. Dia hapal jarak dari biliknya menuju sanggah perkawinan. Tiba-tiba, langkahnya terhenti dan salah satu dayang bertanya, "Ada apa, Putri?"
"Bagaimana sosok Pangeran Babad?" tanyanya. Sebab, meskipun dia sering mendengar nama tersebut, dia sama sekali belum pernah bertatap muka semasa bisa melihat.
Para dayang mengalihkan pandangan kepada pangeran Babad sesaat. Mereka mengatakan bersamaan, "Beliau lelaki yang tampan, Putri."
Inka menghela napas. Dia sedikit berharap kalau kedua dayang di sampingnya bisa membaca karakter Babad. Namun, mereka hanya menginformasikan apa yang terlihat secara kasat mata saja. Kakinya kembali melangkah secara perlahan. Akhirnya, dia pun sampai dan duduk berdampingan dengan Babad.
'Sayang sekali. Jika saja dia dapat melihat, maka kecantikannya akan jauh lebih sempurna. Kalau begini, apakah dia tidak akan merepotkanku?' Babad memandangi wajah Inka sangat dalam. Seorang tetua yang kemudian membaca petuah-petuah dari kitab leluhur tak diindahkan olehnya. Tahu-tahu, ritual telah selesai dan mereka sudah menjadi sepasang mempelai.
Pagelaran seni kembali dilanjutkan, keduanya kemudian berpindah tempat, duduk di kursi yang telah disediakan. Tak disangka, sekalipun paras perempuan di sampingnya begitu cantik, Babad masih saja tergoda melihat tubuh-tubuh para dayang yang berlenggok dalam tarian.
"Putri Inka, maaf. Apakah aku boleh menari bersama para dayang di sana? Rasanya terus terduduk dalam menikmati pagelaran seni ini membuatku bosan. Apakah engkau mengizinkannya?"
Inka tersenyum. Bahkan tanpa persetujuannya pun, lelaki ini berhak untuk menari dengan perempuan lain. Tidaklah dia memiliki keberdayaan, sebab menolak perkawinan ini pun tak mampu. Dia berkata, "Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan."
Babad memicingkan mata. Masih membekas dari cara bicaranya jejak seorang ksatria perempuan. Namun, dia tidak terlalu peduli dan mulai berjalan menuju panggung pagelaran. Satu kendi kecil berisi arak dibawa dalam genggamannya. Dia menari dengan brutal dan melupakan kalau posisinya akan menjadi seorang raja. Semua orang dalam istana terkejut, tapi demi menjaga kehormatan Kerajaan Maitreya, Ranendra memerintahkan para prajurit untuk membungkam mulut semua orang dan merahasiakan kejadian ini agar tak sampai ke luar istana.
Setelah waktu berlalu cukup lama, Inka merasa keberadaannya tiada arti. Karena Babad tak kunjung kembali duduk di sampingnya. Dia pun memanggil seorang dayang yang berdiri di samping tempat duduknya.
"Dayang, tolong antarkan aku ke bilik. Aku merasa lelah," ungkapnya.
"Baik, Putri." Dayang tersebut mengapingnya berjalan meninggalkan perayaan perkawinannya sendiri.
Ketika keduanya sampai di bilik Inka, dayang itu dimintai untuk membantunya melepas riasan pengantin. Inka merasa lelah meskipun hanya duduk saja. Dia ingin segera beristirahat. Tak ada sedikit pun dalam pikirannya untuk melepas kesucian di malam pertama sebagai seorang permaisuri. Dia tertidur begitu saja dengan pulas.
Namun ….
Inka merasakan sebuah sentuhan menggeranyam tubuhnya. Perlahan, dia terbangun dan berhasil menggenggam tangan seorang lelaki. "Siapa kau?" tanya Inka panik. Dia lupa kalau beberapa waktu lalu telah melakukan perkawinan dengan sorang pangeran. "Lancang sekali menyentuh tubuh seorang putri," lanjutnya murka.
"Ah … maafkan aku Putri Inka. Tapi bukankah, sekarang kau adalah permaisuriku?" Suara Babad terdengar penuh nafsu. Dia terlalu banyak menengguk arak sehingga mabuk.
"Pangeran Babad?" Inka gemetar mengatakannya.
"Benar Putri." Babad kembali menggeranyam tubuhnya. Dia kemudian mengecup pipi Inka dan berlabuh di bibir manisnya.
Sekali lagi, Inka merasa nasib nahas menimpanya kembali. Dia pun tak mampu berkutik sama sekali dan membiarkan Babad merenggut kesuciannya. Tangis disertai bibirnya yang terus mengerang tak membuat Babad merasa kasihan. Berahi lelaki itu justru semakin memuncak dan bersemangat.
Malam itu, tak ada yang mengabarkan tentang kisah mereka berdua. Kebetulan, Lamont tidak diikutsertakan dalam rombongan kerajaan. Sebagaimana jejak Kahil yang menjabat sebagai penasihat kerajaan, maka dia yang kini menempati tubuhnya diminta tetap tinggal di istana untuk berjaga. Pertautan dua insan itu tak diketahui oleh Lunara.
⁂
"Lepaskan aku, Rama!" Lunara telah ditangkap oleh para prajurit alam gaib.
Danawa terdiam sesaat. Dia bisa saja merubah takdir, tapi resiko yang diambil teramat berat. Jika Lunara tak bersedia untuk menyudahi semua siasatnya, maka dengan terpaksa dia harus merenggut nyawa putrinya tersebut, dan semua itu terasa berat. Dia terpaksa membelenggu Lunara dengan seutas tali yang dibubuhi mantra kuat.
"RAMA!" Lunara murka. Suara lantangnya menyadarkan Danawa dari lamunan.
"Bukankah kau sudah tahu, Putriku. Jika dirimu tengah menjadi buronan oleh para lelembut. Dan hari ini, kau justru menyerahkan dirimu sendiri. Jelas aku tak akan melepaskanmu dengan percuma." Danawa mencoba menyembunyikan kelemahannya. Semoga saja, dia bisa mengesampingkan kasih sayangnya sebagai seorang ayah demi kemaslahatan dua alam.
"Hah! Apakah aku salah jika ingin melihat keponakanku sendiri?" Pertanyaan Lunara membuat Danawa berpaling dengan tatapan sinis. Dia kemudian kembali berkata, "Sosok lelembut yang katanya telah merenggut banyak ruh di hari kelahirannya. Benarkah itu, Rama?"
Danawa terdiam. Tidak heran jika Lunara mengetahui hal tersebut. Dia adalah sosok lelembut yang memiliki ilmu tinggi serta b***k-b***k yang teramat tunduk padanya. Jadi, kemungkinan dia banyak mendapatkan informasi alam gaib dari para budaknya tersebut.
"Benar, Putriku. Namanya adalah Rega." Sosok lelembut yang nantinya akan membinasakanmu, kata hatinya.
Kekuatan Lunara membaca pikiran dan isi hati tidak bekerja pada Danawa. Sebab, ayahnya tersebut mempunyai ilmu lain yang membuat isi hati dan pikirannya terjaga.
.
.
.
Bersambung.