Bagian 14 : Inka Vara

1295 Kata
Dahulu, terkisah seorang perempuan yang tangguh bak ksatria. Meskipun begitu, kecantikannya tersebar di seluruh dataran Maitreya. Namun, tak ada seorang pun pangeran yang mau meminangnya sebagai permaisuri. Sebab, dia terlalu sempurna. Bukan hanya kedudukannya sebagai putri yang cantik, akan tetapi ketangguhannya yang selalu membawanya terlibat dalam peperangan. Sehingga, para pangeran sudah terlebih dahulu berkecil hati untuk melamarnya. Dia adalah Inka Vara. ⁂ "Apa? Kau jangan bercanda. Manbara adalah indung bagi beberapa kerajaan. Tidak mungkin aib sepertiku mau dibawa ke kerajaannya." Inka begitu terkejut mendengar seorang dayang membawa kabar bahwa Pangeran dari kerajaan Manbara ingin meminangnya sebagai permaisuri. Untuk sekarang ini, dia bukanlah Inka yang dulu. Dia telah kehilangan kesempurnaanya hanya karena tak bisa melihat. Dia menggantungkan segalanya kepada para pelayan untuk membantunya dalam segala hal. "Tidak, Putri. Itu yang hamba dengar dari bilik Maharaja dan Maharani. Sekali lagi ampuni hamba bila telah lancang mendengar perbincangan mereka. Namun, sungguh. Hamba benar-benar tidak sengaja mendengarnya saat melewati bilik mereka." Seorang dayang yang memberikan kabar tersebut meyakinkannya dengan sungguh. Sesaat Inka terdiam. Lalu dia berkata, "Aku tidak akan menerima lamaran dari kerajaan Manbara. Bukan karena aibku yang tidak bisa melihat ini. Namun, apa mereka lupa bahwa aku tak dapat melihat karena peperangan dengannya dulu?" Dayang yang berdiri di samping tempat tidur Inka menelan ludah. Dia tidak yakin akan mengatakannya. Kalau dia memberanikan diri, bisa-bisa lehernya dipenggal karena telah lancang mengatakan hal yang membuat putri tak nyaman. "Dayang, antarkan aku untuk bertemu dengan Rama dan Biung." Inka beranjak dari tempat tidurnya. Namun, dayang di hadapannya justru kebingungan. Terdengar suara terbata-bata darinya. "Ta—tapi, Putri. Apakah tidak sebaiknya kita tunggu Maharaja dan Maharani menyampaikan kabar tersebut kepada anda?" Inka tersenyum kecil. Namun, mimik wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan terhadap apa yang didengarnya. Dia pun bertanya, "Apa kau takut karena sudah mengabarkan berita tersebut padaku?" Getar bibirnya berkata dengan lirih, "I—iya, Putri." "Kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan mengatakan kepada Rama dan Biung, jikalau aku mengetahuinya darimu," ucapnya tersenyum menenangkan. "Baiklah kalau begitu, Putri." Inka dan dayang lantas segera berjalan menuju bilik kedua orang tuanya. Tuk … tuk … tuk … Suara dari kayu jati yang berulang kali diketuk oleh tangan sang dayang. Mereka sudah berada di depan pintu bilik kedua orang tua Inka. "Siapa gerangan di sana?" Suara berat dari Raja Maitreya, Ranendra, bertanya. "Saharsa hyang, Yang Mulia. Hamba mengantar Putri Inka untuk bertemu anda," ucap sang dayang. Tak lama, pintu pun terbuka. Dayang itu seketika menundukkan wajahnya. Dia terkaget dengan mimik wajah Sang Raja. Jelas sekali tersirat kekesalan tak dapat disembunyikan. Untunglah Inka tak dapat melihatnya. "Ada apa, Putriku?" tanya Ranendra. Suaranya terdengar tak bersahabat. Kenyataan bahwa dia tak menutupi suasana hatinya hanya karena Inka tak dapat melihat. Dia sampai lupa kalau sanubari putrinya masih bisa merasakan. "Aku ingin berbicara denganmu, Rama." Inka mengembangkan senyum. Dia menutupi suasana hati yang sebenarnya sama seperti Ranendra. "Maaf, putriku. Mungkin lain kali saja kita berbincang." Ranendra hendak menutup pintu kembali. Namun, seketika Inka menghentikannya dengan berkata, "Apa kau risau dengan lamaran dari Kerajaan Manbara, Rama?" Ranendra terkejut. Darimana putrinya tersebut tahu? Sedangkan kabar tersebut hanya diketahui olehnya dengan sang permaisuri, Gistara. "Darimana kau mendengar kabar tersebut, Putriku?" tanya Ranendra keheranan. Dalam situasi tersebut, dia melihat bahwa dayang di samping Inka terlihat gugup. Dia pun menghela napas dan merangkul putrinya. Berkata, "Baiklah, kemari putriku." Mereka berdua memasuki bilik dan menutup pintu. Maharani Gistara yang sedang merenung tetiba bangkit menyambut putrinya. Dia juga kebingungan dengan kedatangannya tersebut, "Putriku Inka, ada apa kau kemari?" "Dia sudah mengetahui perihal lamaran yang disampaikan Kerajaan Manbara, Permaisuri," ungkap Ranendra. Berbeda dengan sikap suaminya yang sangat kesal, Permaisuri Gistara justru merangkul putrinya untuk menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir, Putriku. Aku yakin jika Kerajaan Manbara tidak mungkin sembarangan dalam mencari seorang permaisuri untuk pangerannya. Jika mereka telah memilihmu, itu artinya kau adalah seorang putri istimewa." Namun sayang, lontaran kalimatnya begitu menyakitkan, menusuk sanubari. "Apa?" gumam Inka lirih. "Apa biung lupa kalau kondisiku seperti ini karena pangeran dari Kerajaan Manbara?" Dia perlahan meninggikan suaranya. "Tenanglah, Putriku." "Tidak, Rama!" Inka tak mengizinkan mereka mengeluarkan sepatah kata pun. "Lagipula, bukankah Pangeran Agastya telah menikah dengan putri dari kerajaan Sangkara?" Mereka berdua terdiam. Bagaimana mereka menjelaskan jika pangeran yang tengah mengirimkan lamaran tersebut adalah Babad Guntara. Apalagi, Pangeran Babad sudah terkenal di berbagai dataran sebagai seorang lelaki yang suka bermain perempuan. Dia bahkan tak pandang bulu dalam memilih. Jika napsu berahinya sedang naik, maka seseorang dari kalangan rendahan pun bisa menjadi pemuasnya. "Putriku, bagaimanapun sekarang Maitreya adalah kerajaan b***k. Kita tidak bisa menolak lamaran tersebut," ungkap Ranendra menyesal. "Rama …" Inka menarik napasnya panjang. "Daripada aku harus menikahi Pangeran Agastya, lebih baik aku mati!" "Jaga ucapanmu! Jangan sembarangan sesumbar kau ini!" Ranendra marah. Namun, dalam kepalanya sama sekali tak terlintas jalan keluar dari permasalahan ini. Dia tidak mau jikalau Inka mengakhiri hidupnya, tapi dia juga tidak mau melihat putrinya sengsara karena menikah dengan pemuda yang tidak dicintainya. "Lagipula, bukan Pangeran Agastya yang melamarmu. Melainkan Pangeran Babad," ungkap Permaisuri Gistara kembali menyakitkan hati. Inka tertawa kecil. Dia tak dapat mempercayainya, "Apa yang Biung katakan?" "Biungmu benar, Putriku. Pangeran yang tengah melamarmu adalah Pangeran Babad Guntara." Ranendra memperjelas perkataan Gistara. "Aku sedikit heran kepadamu, Putriku. Kau tahu perihal lamaran ini, tapi kau melewatkan banyak kejadian dari mulai Agastya bukan lagi seorang pangeran melainkan raja. Hingga melahirkan seorang bayi kutukan dan melepaskan takhta lalu terasing ke hutan Bendu." Mendengar untaian kalimat dari Biungnya, Inka gelagapan. Namun, dia masih kukuh untuk menolak lamaran tersebut. 'Apa? Bayi kutukan?' Sesaat Inka terdiam. "Aku tidak peduli, Biung. Pada hakikatnya, aku tidak akan menerima lamaran dari Kerajaan Manbara. Entah itu Pangeran Agastya atau pun Pangeran Babad," ungkapnya. Dia pun hendak berbalik badan. Meskipun tak ada dayang yang mengapingnya, tapi setidaknya dia masih tahu tata letak seluruh ruangan di istana Maitreya. "Inka, putriku. Kau tidak bisa menolak lamaran ini. Lupakan sejenak tentang kepedihanmu di masa lalu!" Ranendra mulai berbicara dengan tegas. "Rama …" Inka terhenti, tapi tubuhnya urung berbalik. Untuk apa? Sebab, dia bahkan tak memiliki pandangan. "Kenapa kau tak membiarkan saudari-saudariku saja yang menerima lamaran dari Kerajaan Manbara?" "Pangeran Babad hanya menginginkanmu, Putriku." Gistara kembali bersuara. Hanya menginginkanmu? Apa yang sebenarnya Pangeran Babad inginkan? Jelas, kecacatan Inka justru akan membuatnya kesusahan. Atau, mungkinkah Pangeran Babad menjadikannya permaisuri hanya sebagai pemuas napsu berahi? Prasangka-prasangka menyeruak dalam sanubarinya. Bagaimanapun juga, dia adalah mantan ksatria yang berpengalaman membaca siasat musuh. "Kutekankan kepada kalian berdua, Aku, INKA VARA, menolak lamaran dari Kerajaan Manbara. Lebih baik, aku pergi dari istana ini." Inka melangkahkan kaki dengan cepat, perlahan dia pun berlari. "Putriku … TUNGGU!" Ranendra tak tinggal diam. Dia mengejarnya dan berteriak kepada para penjaga, "Tangkap, Putri Inka!" 'Ya Gusti, hamba mohon berikan kuasamu agar aku bisa keluar dari istana ini.' Inka memanfaatkan indra pendengarannya untuk menjaga diri. Dia mendengar langkah kaki dari para penjaga yang mulai mendekat. Lalu, setelah sekian lama dia tak mengeluarkan tenaga dalamnya, kali ini dia kembali untuk melindungi diri. Dia bertarung dalam kondisi keterbatasan dengan beberapa penjaga yang mencoba menangkapnya. Rupa-rupanya, dia masih tangguh seperti dahulu. Beberapa prajurit yang menghadangnya tumbang. Namun, ilmu bela diri dalam keterbatasan bukan tandingan Ranendra. Sehingga Inka berhasil ditaklukkan olehnya. "Penjaga, bawa dan kurung Putri Inka dalam biliknya. Buatkan pasung untuk mencegahnya lari dari istana. Lalu, kabarkan kepada Kerajaan Manbara kalau Inka sudah bersedia untuk dikawini." Perintah Ranendra kemudian segera dilaksanakan. Putri Inka terpasung dalam biliknya hingga sampai pada hari pernikahannya nanti. ⁂ Di Istana Manbara. "Saharsa hyang, Pangeran Babad. Kita sudah mendapat kabar bahwa Kerajaan Maitreya menerima lamaran dari anda." Lamont, lelembut yang berada dalam tubub Kahil melaporkan berita tersebut. "Bagus. Segera persiapkan semuanya, Paman." Babad tersenyum licik. Tak lama lagi setelah dia memiliki seorang pendamping, maka penobatan raja di Tanah Manbara akan segera dilangsungkan. Sejarah baru tentang seorang raja yang bukan seorang putra mahkota akan segera dimulai. . . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN