Bab 1

1007 Kata
"Faster, baby!" Tubuh Seina menegang. Ia berdiri kaku di depan pintu kamar Nico, kekasihnya. Suara itu sangat jelas—erangan seorang wanita yang tidak mungkin berasal darinya. "Apa Nico berselingkuh? Tapi... dengan siapa?" Pikirannya kacau. Ia ragu, tetapi tangannya yang gemetar mencoba memutar kenop pintu. Pintu terbuka perlahan, dan pemandangan di depan matanya menghancurkan segalanya. Nico ada di sana, tubuhnya menindih seorang wanita di atas ranjang. Wajah wanita itu tidak terlihat, tetapi suara mereka cukup untuk mengiris hati Seina. Seina hanya berdiri terpaku. Ia merasa seperti dihantam gelombang besar, tubuhnya lunglai. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Seina pun merogoh tasnya kemudian merekam kejadian itu, dia akan menunjukkannya pada sang ayah. Setelah merasa cukup, Seina berniat memasukkan ponsel itu ke dalam tas. Namun sayang, karena terburu-buru, tas di tangannya terjatuh dengan suara keras. Nico tersentak. Ia langsung menoleh dan menyadari kehadiran Seina. "Seina! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" katanya sambil meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. "Seina..." Nico mencoba mendekatinya. "Jangan mendekat!" teriak Seina, suaranya pecah. "Siapa dia, Nico? Siapa wanita ini?!" Wanita itu akhirnya bangkit dari ranjang dan memperlihatkan wajahnya. Mata Seina membola saat melihat siapa wanita yang menjadi partner ranjang tunangannya. "Alya?" bisiknya, hampir tak percaya. "Sahabatku sendiri?" Alya tersenyum dingin. "Maaf, Seina. Tapi Nico tidak pernah benar-benar mencintaimu. Dia hanya mau menikahimu untuk membalas budi pada ayahmu." Nico berbalik, wajahnya marah. "Alya, diam kamu! Jangan ngomong sembarangan!" Namun, Seina tidak lagi peduli. Dadanya terasa sesak. Ia melangkah mundur, memandang Nico dengan tatapan penuh luka. "Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun darimu. Aku salah telah mempercayaimu!" Ia berlari keluar apartemen, meninggalkan Nico dan Alya yang terpaku di tempat. --- Hujan mulai turun ketika Seina melangkah keluar. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tidak peduli. Kepalanya penuh dengan pengkhianatan Nico dan Alya. Ia masuk ke mobilnya tanpa tujuan. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi wajahnya yang pucat. Saat melewati lampu kelab kelib sebuah klub malam, ia menghentikan mobilnya. "Aku harus melupakan semuanya. Setidaknya untuk malam ini," pikirnya. --- Di dalam klub, lampu kelap-kelip dan suara musik menghentak menggema di telinganya. Seina yang tak pernah minum alkohol sebelumnya, langsung duduk di depan bartender. "Berikan aku minuman terkuat yang kamu punya," katanya kepada bartender. Bartender memandangnya ragu. "Ini pertama kali Anda ke sini, Nona? Saya tidak merekomendasikan Anda meminum yang terlalu keras." Seina menatap tajam. "Aku bayar, jadi tolong jangan banyak tanya." Bartender menyerah. Ia menuangkan segelas minuman keras dan menyodorkannya. "Minumlah perlahan. Ini bukan jus," katanya dengan nada peringatan. Seina tidak peduli. Ia meminum isinya dalam sekali teguk. Tenggorokannya terasa seperti terbakar, tetapi ia tidak peduli. "Sepertinya kau tidak tahu caranya menikmati anggur, Nona" ujar seorang pria yang duduk di sebelahnya. Seina menoleh, sayangnya, lelaki itu tidak menatapnya sama sekali, jadi, Seina tidak bisa melihat wajahnya. "Apa urusanmu?" balas Seina dingin. Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanya ingin membantu. Kau akan kehilangan esensi minuman itu jika meminumnya seperti air putih." Seina mengerutkan dahi. "Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mabuk." Pria itu mengangkat bahu. "Baiklah. Tapi setidaknya biarkan aku menemanimu. Minum sendirian itu tidak asyik." Seina kembali memandang pria itu. Namun, lelaki itu tak sediktipun menoleh padanya. "Namaku Noah," kata pria itu, tanpa mengulurkan tangannya. "Aku tidak butuh teman," jawab Seina dingin. Noah tertawa kecil. "Baiklah. Tapi aku ingin, kau mendengarkan nasihatku. Kau pegang dulu gelasnya, lalu putar-putar. Seteguk dulu, lalu teguk lagi. Setelah itu, jangan langsung ditelan. Nikmati anggur di mulutmu untuk sementara waktu. Ingat, minum sedikit saja!" Seina akhirnya menyerah dan melakukan apa yang lelaki itu suruh. Ia meminum seteguk kecil, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sensasi hangat yang menenangkan. "Benar, kan? Tidak buruk," kata Noah dengan senyum tipis. Seina tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke gelasnya. "Apa yang membawamu ke sini?" tanya Noah, mencoba memecah keheningan. Seina menghela napas. "Kekasihku berkhianat," katanya singkat. Noah mengangguk pelan. "Aku bisa menebaknya. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang patah hati" Seina memutar matanya. "Kau terlalu banyak bicara." Noah tertawa lagi. "Dan kau terlalu keras kepala. Tapi tidak apa-apa. Semua orang punya cara masing-masing untuk menghilangkan rasa sakit." Setelah beberapa gelas, Seina mulai merasa pusing. Dunia di sekitarnya seperti berputar. "Noah... bisakah kau membantu aku? Aku tidak bisa pulang," katanya pelan. Noah mengernyit. "Ke mana aku harus membawamu?" Seina menggeleng. "Aku tidak tahu. Tolong bawa aku pergi dari sini ... aku tidak ingin pulang." Noah terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan membawamu ke tempatku. Tapi hanya untuk malam ini." --- Noah membawa Seina ke sebuah hotel mewah. Ia menyewa sebuah kamar dan membaringkan Seina di atas ranjang. "Kenapa kau begitu baik padaku?" tanya Seina dengan suara serak. Noah duduk di kursi dekat ranjang. "Karena aku tahu seperti apa rasanya dikhianati. Dan aku tidak suka melihat wanita menangis." Seina tersenyum pahit. "Terima kasih... meski aku tidak tahu siapa kau." Noah tersenyum tipis. "Kau tidak perlu tahu. Cukup istirahat malam ini." Namun, sebelum Noah bisa pergi, Seina menggenggam tangannya. "Jangan pergi," bisiknya. "Aku tidak ingin sendirian. Tidurlah di sampingku, aku ingin kamu menemaniku malam ini." Noah tertegun. Hatinya berdebar, tetapi ia menahan diri. Ia duduk kembali di kursinya, menatap Seina yang perlahan tertidur. Wajah damai Seina membuat lelaki itu merasa familiar. Noah pun merogoh ponselnya dan membuka foto yang beberapa hari lalu dikirim oleh Nico putranya. "Dia calon menantuku," pikirnya keras-keras. "Aku tidak boleh membiarkan diriku terlibat lebih jauh." Namun, melihat Seina yang tertidur dengan wajah penuh luka, ia merasa tidak bisa tinggal diam. "Bodoh sekali kamu Nico! Jangan salahkan Papa jika Papa akan merebutnya darimu" gumamnya pelan. Beberapa saat kemudian, Seina kembali mengigau dan menangis. Noah yang tidak tega akhirnya memeluk tubuh Seina yang tertidur dengan bahu yang terus bergetar. Merasa nyaman, Seina pun memeluk erat tubuh Noah. Gadis itu terus saja menelusupkan kepalanya di d**a Nico. "Nona, jangan bangunkan singa yang sedang tidur." Noah mencoba melepaskan pelukan mereka. Namun, Seina justru mengangkat kakinya dan menaruhnya diatas kaki Noah seolah lelaki itu adalah guling yang empuk. Nico adalah pria normal, berada di dekat seorang wanita cantik seperti Seina secara alami tentu membangkitkan hasratnya. "Nona, jangan salahkan aku jika aku membuatmu tidak bisa berjalan besok pagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN