"Aku mau kamu menyelidiki kematian seseorang. Pastikan semua informasinya aku dapatkan dalam waktu satu jam," perintah Noah pada anak buahnya.
Dia harus segera bergerak, karena dia tak sabar ingin segera menikah dengan Seina.
Satu jam kemudian, anak buah Noah sudah mendapatkan semua bukti itu.
"Semua laporannya ada di map ini, Tuan." Anak buah Noah menaruh sebuah map coklat di meja kerja Noah.
"Bagus, sekarang aku mau, kamu siapkan pernikahanku dengan Seina menggantikan Nico, ingat dokumennya pun sudah harus berganti," kata Noah.
Senyum mengembang di bibir lelaki itu. Dia berniat membawa laporan itu ke rumah Seina. Namun, saat dia akan berbalik, seorang wanita cantik tiba-tiba ada di hadapannya. Wanita itu memeluk erat tubuh Noah.
"Aku merindukanmu, Noah."
Noah langsung melepaskan pelukan Maya, menatap wanita itu dengan tatapan tajam.
"Mau apa kamu ke sini, Maya?" tanyanya dingin.
Maya tersenyum kecil, tidak terpengaruh oleh sikap dingin Noah. Wanita itu mencoba mendekatinya lagi, tetapi Noah segera mundur, menciptakan jarak di antara mereka. "Duduk saja di situ. Katakan apa maumu," lanjutnya to the point.
Maya berjalan anggun menuju sofa, duduk dengan posisi santai seolah-olah masih memiliki kendali atas situasi. "Aku ingin kita kembali seperti dulu," katanya tanpa basa-basi.
Noah menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah mendorong Maya menjauh.
"Hubungan kita sudah berakhir, Maya. Pergilah!" Noah mengucapkannya dengan nada dingin tanpa melihat mantan istrinya sama sekali. "Mau apa kamu datang kemari?"
Maya tertawa kecil, meskipun ada kepedihan yang terlihat di matanya. "Kau benar-benar tega, Noah. Setelah semua yang kita lalui, kau pikir aku bisa melupakanmu semudah itu? Aku tahu kau masih mencintaiku."
Noah menggelengkan kepala dengan senyum sinis. "Aku tidak punya waktu untuk masa lalu, Maya. Apalagi untuk seseorang yang pernah menghancurkan hidupku."
Maya mendekat lagi, meskipun Noah mundur satu langkah. "Kalau begitu, kenapa kau tidak menceraikanku hingga saat ini? Aku tahu kau masih menginginkanku."
Noah tersenyum sinis. "Kamu terlalu percaya diri, Maya. Aku tidak menceraikanmu bukan karena aku ingin bersamamu. Aku hanya terlalu sibuk untuk mengurus hal yang tidak penting. Tapi tenang saja, setelah ini, aku akan segera menceraikanmu."
Maya tersenyum penuh arti, lalu menatap Noah dengan sorot mata tajam. "Kau yakin akan menceraikanku? Atau kau hanya takut menghadapi kenyataan bahwa aku masih bisa mengendalikanmu?"
Noah mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarahnya. "Dengar, Maya. Kali ini, aku tidak akan lagi tertipu olehmu. Aku yakin, kedatanganmu kemari bukan karena ingin kembali padaku. Tapi kamu ingin meminta bantuanku untuk mengurusi masalah yang tidak bisa kamu selesaikan."
Maya tersenyum licik. "Kamu memang sangat pengertian, sayang. Kenapa kamu tidak mau kembali padaku? Ah, aku tahu! Ini tentang wanita baru itu, bukan? Aku tahu kamu sudah memiliki wanita lain. Kau pikir dia lebih baik dariku? Bukan hal yang tidak mungkin kalau dia juga akan menendangmu setelah apa yang dia inginkan tercapai! Sama seperti yang aku lakukan dulu!"
Noah menatap Maya dengan tajam. "Dia bukan seperti dirimu, Maya. Gadis ini masih polos, cantik, dan yang paling penting, dia tulus padaku. Tidak sepertimu yang hanya mempermainkan perasaanku."
Kata-kata itu membuat Maya terdiam sejenak, sebelum senyum di wajahnya berubah menjadi penuh kebencian. "Kau akan menyesal, Noah. Aku pastikan, kau akan menyesal telah memilih wanita itu daripada aku."
Noah menatapnya dengan dingin. "Kau tidak punya tempat lagi di hidupku, Maya. Jangan coba-coba mengganggu aku lagi, kalau tidak, kau tahu sendiri akibatnya."
Maya mendesah berat, lalu melangkah mundur. "Baiklah, Noah. Tapi aku pastikan, kamu tidak akan bisa melupakanku, karena aku, jauh lebih segala-galanya dari dia."
Noah menghela napas kasar setelah Maya pergi meninggalkan rumahnya.
"Kamu tidak pernah berubah, Maya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Seina, sedikitpun."
---
Hari itu, aula hotel dipenuhi tamu undangan. Dekorasi warna emas menghiasi setiap sudut. Tak hanya itu, papan tulis nama pasangan pengantin terbuat dari kaligrafi warna emas menandakan betapa mewahnya acara pernikahan ini. Semua orang hadir dengan ekspektasi bahwa Seina akan menikahi Nico, putra Maya. Namun, suasana berubah tegang saat pengantin pria yang diharapkan tidak pernah muncul.
Di depan meja penghulu Seina duduk dengan gaun pengantin putih yang anggun. Wajahnya tegang, matanya terus melirik ke arah pintu masuk, menanti seseorang yang tidak kunjung datang. Maya, yang duduk di kursi VIP, terlihat gelisah, sementara tamu-tamu mulai berbisik-bisik.
Saat suara langkah kaki menggema di aula, para tamu pun melihat ke arah pintu masuk.
Noah berjalan dengan langkah mantap, mengenakan setelan jas warna gold elegan yang membuatnya terlihat sangat tampan. Tak ada yang mengira jika Noah sudah berkepala empat. Senyumnya dingin, tapi penuh percaya diri. Tamu-tamu langsung terdiam, terpaku oleh kehadiran pria itu yang seolah membawa aura d******i ke dalam ruangan.
Seina tersenyum kala melihat Noah menepati janjinya. “Kamu datang?” bisiknya.
Noah berhenti tepat di hadapan Seina, menatap wanita itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkanmu menikahi pria yang bahkan tidak berani menunjukkan dirinya di hari pernikahannya sendiri,” katanya dengan suara rendah namun tegas.
Sebelum Seina bisa membalas, penghulu yang sebelumnya sudah bersiap di tempatnya segera menoleh ke Noah.
Maya shock, dia berdiri dari kursinya, matanya menyala penuh amarah.
“Noah, apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan pernikahanmu!” serunya.
Noah hanya tersenyum sinis. “Benar, Maya. Tapi sekarang, aku akan membuatnya menjadi pernikahanku.”
Dia kemudian menoleh ke penghulu. “Lanjutkan prosesi. Aku adalah pengantin prianya.”
Seina menggeleng, tak percaya Noah berani berkata seperti itu pada mantan istrinya.
Noah menatap Seina dengan sorot mata serius. “Seina, aku akan membahagiakanmu, dengan segenap jiwa dan ragaku."
Maya melangkah maju, hendak menghentikan semuanya, tetapi pengawal Noah segera menghalanginya.
“Kau tidak bisa menghentikanku, Maya,” kata Noah tanpa menoleh. “Ini adalah keputusanku, dan Seina adalah calon istriku, dan ibu dari anakku. Dia adalah cintaku. Dan aku tidak akan mungkin mengkhianatinya seperti putramu yang b******k itu!”
Seina terdiam, menatap Noah dengan mata berkaca-kaca. “Kau ...” Seina tak sanggup lagi berkata-kata.
Noah mengangguk. “Ya. Aku tidak akan membiarkan wanita baik sepertimu jatuh ke tangan lelaki yang salah lagi.”
Beberapa detik kemudian, penghulu pun menginterupsi untuk segera memulai akad nikahnya. Noah pun tersenyum. "Baiklah Pak. Kita mulai acaranya,” katanya lirih.
Penghulu mulai membaca ijab kabul, dan semua tamu menyaksikan dengan mata terbelalak, termasuk Maya yang tampak hampir pingsan karena marah. Setelah Noah dengan tegas mengucapkan kalimat akad itu hanya dengan satu tarikan napas. Saksi pun berteriak, "Sah!"
Cincin pernikahan pun dipasangkan, Noah menarik Seina mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya.
“Mulai hari ini, tidak ada yang bisa menyakitimu lagi. Tidak Nico, tidak Maya, tidak siapa pun.”
Seina hanya bisa menatapnya, matanya penuh dengan rasa haru yang bercampur aduk. Meskipun semua terasa seperti mimpi, dia tahu satu hal—dia telah membuat keputusan besar, dan hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di sisi lain aula, Maya menggertakkan giginya, menatap pernikahan itu dengan sorot mata penuh kebencian.
“Ini belum selesai, Noah,” gumamnya pelan, tetapi cukup untuk dirinya sendiri.