Malam berlalu dan hari berganti. Suasana terlihat ramai, khususnya di gedung perusahaan JR group yang kedatangan banyak tamu hari ini.
Kehebohan yang diciptakan Robin di acara lelang berhasil menarik banyak perusahaan, baik itu dalam kota ataupun luar kota. Mereka datang hanya demi mendapatkan kontrak kerja sama dengan perusahaan JR group.
Robin tidak berbicara omong kosong, dia telah menyiapkan beberapa kontrak dengan nilai ratusan milyar sampai dengan triliunan.
"Bos, perusahaan Wijaya mengikuti tender, mereka benar benar memakan suatu yang lebih besar dari mulut mereka." Robin memberikan daftar nama perusahaan yang telah datang pada kloter pertama.
Jason dapat melihat, setidaknya ada sekitar tiga puluh perusahaan yang ingin berpartisipasi dalam tender.
Dan benar seperti yang Robin katakan, perusahaan Wijaya termasuk ke dalamnya.
"Bagaimana masalah proyek pulau pribadi?" Jason meletakkan daftar nama di atas meja, melirik Robin yang terdiam ketika mendapat pertanyaan dari bos nya.
Jason menyipitkan mata, dia merasa ada suatu yang salah dengan pengerjaan proyek ini. "Apa ada masalah?"
"Itu bos -- " Robin mengeluarkan ponsel nya, memperlihatkan sebuah dokumen kepada Jason.
"b******n! Siapa yang mengerjakan proyek ini?" Jason hampir saja membanting ponsel di tangannya, beruntung Robin dengan cepat menahan tangan Jason dan menyelamatkan ponsel berharga miliknya.
"Aku tahu keluarga Wijaya memang begitu berani, tapi tak mengirim jika mereka berani tak menghiraukan persyaratanku." Jason mengeraskan rahang, dia sungguh kesal dengan keluarga Wijaya.
"Yang menjalankan proyek ini adalah dua tuan muda keluarga Wijaya, Septian Wijaya dan juga Tomi Wijaya. Mereka lah yang bertanggung jawab atas pembangunan mansion." Robin menyimpan ponselnya, sementara Jason yang mendengar jawaban Robin nampak ekspresi wajahnya semakin buruk.
"Bukankah aku sudah mengatakan jika harus Renata yang mengambil alih proyek?" Jason menatap tajam Robin, membuat pria muda itu diam tak bisa bicara.
"Bos, kamu tahu bagaimana keluarga Wijaya. Aku sudah mengatakan dan menekankan kepada istrimu, tapi sepertinya keluarga Wijaya memberi tekanan kepada nya." Robin menjawab dengan suara lirih, dia agak ragu saat menyampaikan pandangannya.
Jason tak menyalahkan Robin, dia sendiri tahu betapa b******n keluarga Wijaya, mereka merupakan kelompok penindas yang lemah, sangat pandai mengintimidasi seorang yang lebih rendah di mata mereka.
"Bos, apakah kamu ingin aku mendatangi mereka dan memberikan peringatan?" Robin menyatukan tangannya yang terkepal, memasang wajah gemas.
Namun Jason menggeleng. "Tidak perlu, biarkan saja. Aku ingin lihat apakah mereka dapat menanggung perbuatan mereka. Siapa yang akan menjadi sabaran ketika apa yang mereka lakukan sudah ketahuan."
"Maksudmu, bos?" Robin mengerutkan kening.
Jason tersenyum smirk, sambil mengangguk dia berkata. "Jadi kita hanya menunggu dan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau."
"Bos, keluarga Wijaya akan hancur jika itu terjadi, bukankah -- "
"Salah mereka sendiri, bermain main dengan uang perusahaan ku. Siapapun yang berani berbuat onar, aku akan memberikan pelajaran yang sepadan." Jason mendengus lemah, meraih cangkir moka di hadapannya.
Robin masih bergeming di tempatnya, dia sedikit tidak paham dengan apa yang akan dilakukan bos nya. Bukankah tujuan memberikan proyek adalah untuk membantu istrinya, mengapa malah akan berubah menjadi rencana untuk menjatuhkan keluarga Wijaya.
Jika masalah penggelapan dana yang dilakukan Septian Wijaya serta Tomi Wijaya tersebar ke permukaan, maka habislah riwayat keluarga Wijaya.
Namun berbeda dengan apa yang ada di dalam kepala Jason. Putra tunggal keluarga smith itu memiliki cara pikir yang tak tertandingi, memang terkesan seperti menempatkan keluarga Wijaya di ujung tanduk, tapi sebenarnya dia hanya membuka ruang untuk Renata menjadi kepala keluarga.
Jika Septian Wijaya serta Tomi Wijaya yang merupakan dua kandidat utama pewaris takhta kepala keluarga harus terjerat dalam kasus penggelapan dana, maka tidak ada kandidat lain selain Renata.
Meski seharusnya ada Silfi Wijaya yang notabenenya adalah adik dari Tomi Wijaya, tapi dalam hal kualitas dan keterampilan kerja, Renata jauh lebih unggul dari saudara sepupunya itu.
"Bos, ponselmu berdering." Robin mengingatkan.
Jason langsung meraih ponselnya, mengetahui siapa yang menghubungi, perlahan tapi kerutan di kening semakin terlihat.
Tut...
Jason menutup sambungan telepon, meletakkan kembali ponsel yang kemudian kembali berdering.
Robin yang penasaran mengangkat sedikit tubuhnya, melihat siapa sebenarnya penelepon yang menghubungi Jason, tapi baru saja akan melakukan aksi nya, tangan Jason menutup layar ponselnya.
"Jika kamu tidak ada pekerjaan, bersihkan kamar mandi di setiap lantai. Mungkin cleaning servis membutuhkan beberapa bantuan." Jason berkata sembari mengeluarkan tatapan tajam.
"Ah, aku mengingat ada yang harus dilakukan. Bos, aku pergi, sampai jumpa." Robin dengan cepat melarikan diri, tak lagi berani berada di dalam ruangan bos nya.
Jason menggeleng pelan, kemudian melirik ponsel nya yang sudah tenang. Namun saat akan meletakkannya di meja, suara notifikasi sebuah pesan terdengar.
'Jason, aku ingin bertemu. Ini sangat penting!' Begitulah isi pesan yang disampaikan.
Jason berpikir sejenak, dia bertanya tanya apa yang akan disampaikan Karen kepadanya, adakan masalah yang begitu pentingnya ng sampai dia menghubunginya berkali kali.
Setelah beberapa saat hanya diam, Jason menghubungi Karen. Sekali panggil saja sambungan telepon terbalaskan.
"Katakan lewat telepon, aku tak punya waktu ... Jika kamu tidak bicara, aku akan menutup teleponnya."
" ... Renata? Aku sudah tidak ada hubungan dengannya, ... Baiklah baiklah, jam tujuh malam, di Kafe Hipster." Jason menutup sambungan telepon, meletakkannya sambil memijit kening.
"Apa yang akan disampaikan olehnya, apakah ini ada hubungan dengan pengambil alihan proyek pulau pribadi? Namun itu sedikit tidak masuk akal, bagaimana mungkin orang luar seperti Karen bisa mengetahuinya." Jason menghela nafas panjang, menyenderkan punggung di sandaran kursi yang lentur.
Sambil menyeruput moka dari cangkir, dia menatap ke depan, tak ada yang dapat dilakukan kecuali bersantai. Akan rasa tapi suara ponsel menghancurkan masa istirahatnya.
"Jack, apa yang terjadi? ... Baik, aku akan ke sana." Jason mematikan sambungan telepon, melepas jas formal yang dikenakan, mengganti dengan sebuah hoodie.
Jason turun ke parkiran, tentu saja dia menggunakan lift pribadinya, tidak sampai satu menit, dia sudah berada di lantai terbawah dari lantai puncak.
Mengendarai Bentley continental GT yang baru saja dibelinya, dia melaju menuju Bar Silver Stone. Dia berharap bisa sampai di sana secepatnya, tidak menginginkan suatu yang buruk akan terjadi.
Beruntung jalanan tidak seramai saat pagi atau sore hari, karena siang hari kebanyakan orang masih versi bukan diri dengan pekerjaan masing-masing.
Jason membawa kendaraannya dengan cepat, setidaknya sudah mencapai angka seratus kilometer per jam. Dia memperkirakan akan tiba dalam waktu lima belas menit, itu jika tidak ada masalah yang menghadang di jalan.
Namun baru saja dia memasuki gang yang seharusnya membawanya ke Bar Silver Stone, banyak orang menghadang dengan membawa bongkahan kayu serta pipa besi.
Salah seorang dari mereka maju, pipa besi yang dapat bawa dia panggul di atas pundak. "Jalan diblokir, putar balik atau kau akan menyesalinya!"