Tiga

1070 Kata
Langkah kakiku terasa berat, bahkan kepalaku terasa pusing dan berkubang-kunang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana mengenakannya diriku sekarang ini. Banyaknya ungkapan prihatin dari para pasien dan juga perawat membuktikan betapa mengerikannya penampilanku. Sebisa mungkin aku mengabaikan pandangan bertanya dari mereka yang berpapasan denganku, sekarang bukan kalimat penuh simpati yang kuinginkan, tapi secangkir cafein dan juga sepotong croissant di Cafe depan rumah sakit. Jika aku tidak mendapatkan kedua asupan tersebut, mungkin hanya menunggu waktu untukku ambruk. Berhari-hari aku tidak tidur dengan benar, dan berhari-hari pula aku makan tidak benar. Semua kejadian yang menimpaku secara mendadak membuat hidupku yang awalnya teratur menjadi berantakan. Semua rencana yang sudah ku susun dengan begitu apik ternyata tidak di setujui oleh pemilik takdir, membuatku harus menata ulang semuanya dan menyatukan setiap retakan hatiku yang jatuh berhamburan. Katakan aku berlebihan, tapi apa yang dilakukan Raka dan Mbak Chandra benar-benar menggoreskan luka yang begitu dalam, mengoyak rasa percayaku pada setiap orang hingga habis tak bersisa. Jika dua orang di hidupku saja bisa dengan mudah mempermainkan perasaan dan kepercayaanku, apalagi orang lain. Bukan hanya aku yang mengalami guncangan hebat, tapi juga Ibu dan Ayah, pasca lamaran menyakitkan Raka pada Mbak Chandra, mbak Chandra langsung di boyong oleh keluarga Mantan kekasihku tersebut. Meninggalkan rumah yang sudah memberinya tempat bernaung selama 22 tahun. Salahkah jika aku kecewa? Salahkah jika Ayah dan Ibu sakit hati atas peristiwa yang sudah terjadi? Raka sudah terlalu dekat, dan hanya semalam dia menghancurkan semuanya tanpa tersisa. Dunia boleh menghakimi orangtuaku sebagai seorang yang pilih kasih terhadap anak kandung dan anak angkatnya, tapi orangtuaku sama sepertiku, tidak akan berharap jika tidak diberi impian? Manusiawi bukan jika setelah apa yang dilakukan Raka dan Mbak Chandra kami kecewa? Kesedihanku semakin menjadi saat melihat Ibu berkaca-kaca setiap kali menatapku, sekeras apapun aku mengatakan jika aku baik-baik saja, kedua orangtuaku mengetahui dengan benar apa yang kurasakan. Banyaknya pertanyaan dari rekan Ayah dan Ibu yang mempertanyakan kebenaran akan pernikahan Mbak Chanda dan Raka, membuat suasana di rumah semakin buruk. Sebagai wali dan orangtua Mbak Chandra, absennya Ayah dan Ibu dalam mempersiapkan pesta pernikahan, menjadi masalah lainnya yang mengganggu hari-hari kami. Kusesap kopiku perlahan, merasakan rasa pahit dan wangi dari americano kopi yang kini menjadi pilihanku, kini aku paham kenapa pada Bisnisman sukses selalu menjadikan kopi sebagai penyemangat, karena pahitnya kopi mengingatkan kita jika tak selamanya hidup terasa manis, dan tak selamanya juga hidup akan terasa sulit, ada nikmat tersembunyi di balik kepahitan yang kita rasakan. Ahhh inikah kepahitanku, menjaga jodoh Kakakku sendiri selama bertahun-tahun, menjaga jodoh Kakakku yang akan menghelat pernikahan tiga bulan lagi. Pernikahan yang menjadi mimpiku dan akan terlaksana tanpa aku di dalamnya. Miris. Kualihkan perhatianku keluar, menatap lalu lintas depan Cafe yang begitu padat di jam pulang kerja, suasana begitu ramai, berbanding terbalik dengan hatiku yang begitu kosong. Dan seolah semesta tidak membiarkanku untuk tetap menyendiri, mobil yang kuhapal betul pemiliknya kini turun menghampiriku, seorang dengan dinas hariannya yang dulu kedatangannya sangat kuharapkan. Tapi sekarang, aku ingin mempunyai kantung ajaib doraemon, dan menghilang secepat mungkin dari tempat sekarang ini. Dulu, hadirnya penyemangatku, tempatku bermanja di tengah penatnya tugas. Kalimat gurauannya yang begitu garing menghiburku dengan cepatnya. Mata kami bertemu, sebelum akhirnya langkah tegapnya menghampiriku. Membuatnya menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang kelewat tampan dan seragamnya yang mencolok. Raka tidak datang dengan tangan kosong, sebuah kertas warna hijau muda di tangannya yang kukenali sebagai kartu undangan. Tanpa diminta, seorang yang tidak kuharapkan kedatangannya ini langsung duduk di hadapanku, mengangsurkan kartu undangan tersebut padaku. Dengan hati yang sudah hancur tak karuan aku meraihnya, membaca nama dan tanggal yang tertera dengan perih. "Aku harap Ayahmu datang untuk menikahkan aku dan Chandra." Aku meletakkan kartu tersebut dan menatap Raka, menatap wajah laki-laki yang membawa semua hatiku tanpa memberikanku waktu untuk belajar patah hati. "Bagaimana jika kami tidak mau?" aku mencondongkan tubuhku kedepan, menatap lurus padanya yang hanya menatapku datar, tidak akan ada satu orang pun yang menyangka jika seorang yang begitu romantis sepertinya, setia dan tidak pernah mengecewakanku, hanya dalam waktu singkat menjadi begitu tega. "Bagaimana jika kami tidak sudi berhubungan dengan kalian." Tatapan Raka tidak berubah, dia seperti orang yang tidak pernah ku kenal, dia seperti bukan Raka kekasihku, atau memang aku selama ini tidak mengenalnya. "Aku juga tidak akan meminta tolong, jika bukan karena syariat. Ayahmu satu-satunya keluarga Chandra, jika ada keluarga lainnya, beritahu aku, aku akan meminta tolong padanya. Jika bukan karena Ayahmu yang tidak mau menerima teleponku dan Chandra, aku tidak akan meminta tolong padamu." Aku tertawa, tawa miris yang membuat perhatian para pengunjung Cafe melihatku dengan pandangan aneh. "Tenang saja, aku tidak akan menahan Ayahku untuk menikahkan Mbak Chandra, memangnya kamu pikir aku bakal menahan Ayahku? Menangis dan meratapimu seperti orang gila?" Aku berdecih, kini hanya tinggal harga diriku yang tersisa di depan mereka, harga diriku sudah hancur dan aku tidak ingin terlihat mengerikan di depan mereka, terlebih pada Raka yang sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang dia lakukan. Kini aku mulai meragu, rasa apa yang selama ini diberikan Raka, benarkah rasa cinta dan sayang, atau aku hanya menjadi batu pijakan Raka meraih mbak Chandra? Jika benar opsi kedua, sungguh Raka adalah laki-laki terbrengsek di dunia ini. Dan bodohnya, sampai sekarang aku masih begitu mengharapkan Raka menjelaskan alasan dibalik kebrengsekannya ini. "Apa kamu mengharapkan aku akan menjadi gila, menangis tersedu-sedu melihat pengkhianatan kalian berdua?" "Aky tidak ingin semuanya. Ini sudah jalan takdirnya, Na." Suara datar Raka terdengar, membuat tawaku mendadak hilang, "Aku sudah meminta maaf padamu sebelum datang kerumah." Kata maaf hanya melalui pesan singkat? Apa Raka sudah gila, dia benar-benar seperti bukan Letnan Dua Inf Raka Irwansyah yang ku kenal. Aku sama sekali tidak mengenalnya sama sekali. Ku gigit bibirku kuat, bahkan aku bisa merasakan jika kini bibirku terluka, tapi emosi yang menggelegak di dalam hatiku sudah tidak bisa terbendung lagi. "Jalan takdir yang sangat menjijikkan, aku mempercayai kalian melebihi diriku sendiri, bagaimana bisa pengkhianatan kamu sebut jalan takdir, hubungan kita baik-baik saja sebelum kamu menghilang, tiba-tiba 2 bulan kemudian kamu datang melamar mbak Chandra dan sebulan lagi kamu akan menikah? apa ini yang kamu sebut Takdir?" Nafasku terengah, menyampaikan segala rasa yang membuatku nyaris gila pada Raka yang sama sekali tidak bereaksi, melihat bagaimana diriku sekarang, seperti hiburan yang menyenangkan untuknya. "Ya, seburuk apapun kamu menilainya, itu jalan takdir kita, aku tidak akan meminta maaf untuk itu." Aku sudah tidak tahan lagi, tanpa ragu kusiram wajah tampan yang kini menjadi begitu menyakitkan di mataku dengan americano milikku. Suasana Cafe yang ramai mendadak sunyi, "Aku membencimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN