Aku menatap Ibu, bertanya pada seorang yang telah melahirkanku ini bahwa aku telah salah dengar, tapi suara Om Fadil yang terdengar semakin memperkeras guntur di hatiku.
"Bagaimana Pak Yudi, apa lamaran Raka ke Chandra di terima?"
Air mataku menggenang, hancur sudah hatiku saat menatap Raka yang bahkan tidak sedikitpun melirikku. Melihat bagaimana dia telah berhasil membunuh hatiku.
"Bagaimana bisa kamu melamar Chandra, Ka? Jika selama ini yang menjadi kekasihmu itu Rana?"
Suara Ayah bahkan hingga bergetar, menahan emosi yang sama besarnya sepertiku, mungkin jika Ayah bukan seorang yang berpendidikan, sudah pasti kepalan tangan Ayah akan melayang pada wajah datar yang ada tepat di hadapannya.
"Yang saya lamar Chandra Ayu, Pak Yudi. Karena disini, Anda yang menjadi wali Chandra, saya meminta Putri angkat Anda untuk saya pinang."
Begitu tegas, tidak ada keraguan sedikitpun di suara Raka, membuat mimpiku bersanding dengannya dibawah upacara Pedang Pora langsung pupus tak bersisa.
Suara tawa Ayah terdengar, begitu keras hingga memenuhi ruang tamu keluarga ini, suara tawa penuh sarkas menanggapi tamunya kali ini.
"Lucu sekali kamu Raka, saya menitipkan Chandra pada kamu, karena saya pikir kamu adalah kekasih Rana, calon adik iparnya Chandra. Tapi ternyata_"
Aku beranjak, menghampiri Ayah dan mengusap tangannya, aku tidak ingin Ayah menjadi buruk karena kekecewaan ini.
Tatapan pilu kudapatkan dari beliau, mengetahui dengan benar bagaimana bentuk hatiku sekarang ini, selama aku mengenal lelaki dan mencintainya, hanya satu nama yang selalu ku sebut di setiap perbincangan dengan beliau.
Nama Raka Irwansyah. Sosok yang kini bukan melamarku, tapi melamar putri angkat beliau.
Semua yang menjadi tanyaku akan menghilangnya kontak dua orang yang sangat ku percaya kini terjawab. Dari sekian banyak opsi, ternyata pengkhianatan yang menjadi pilihan.
Sangat menjijikan.
"Ayah, sudahlah. Nggak perlu marah." aku hancur, tapi tidak ingin kedua orangtuaku turut hancur karenaku. Sebisa mungkin aku tersenyum, menenangkan hati beliau, menunjukkan jika aku tidak akan menangis dan merengek karena kepercayaanku telah di khianati oleh Kakak dan juga kekasihku. "Jawab saja Yah, apa Ayah menerima lamaran ini?"
Aku beralih menatap Raka dan juga kedua orangtuanya, aku sudah terlanjur dekat dengan Tante Siska, melihat beliau yang menunduk bersalah membuatku tidak tega.
Aku membenci Putranya yang bahkan tidak mau melihatku, tapi aku tidak akan sebuta itu untuk membenci kedua orangtuanya.
"Rana yakin, jika seorang laki-laki sudah datang dan meminang seorang perempuan, pasti dia datang membawa keyakinan yang besar. Entah sudah berapa lama, mereka berdua meyakinkan diri satu sama lain hingga mantap untuk menikah."
Akhirnya Raka menatapku, senyuman terlihat diwajahnya sekarang ini. "Senang kamu mengerti, Na."
Aku tersenyum sama lebarnya, sungguh bertolak belakang dengan jiwaku yang kini terasa hampa, pengkhianatan Raka membuat hatiku mati dalam sekejap. Terlebih tidak ada rasa bersalah sedikitpun darinya sekarang ini.
"Rana_" aku menggeleng, tidak ingin Ayah membuatku terlihat semakin menyedihkan di depan orang yang tanpa perasaan.
"Rana nggak apa-apa, Yah. Sudah ya Yah, Rana masuk ke kamar dulu, mau selesaiin tugas Koass, disini bukan kapasitas Rana."
Tanpa menunggu jawaban dari satu orang pun di ruangan ini aku beranjak pergi, menaiki tangga perlahan tanpa ingin melihat lagi sosok Raka.
Aku tidak ingin melihat sosok yang dengan teganya membunuhku dengan begitu kejam.
Wajah cantik bak rembulan layaknya namanya kini menyambutku diujung tangga, berbeda denganku yang tidak sudi mengeluarkan air mata di depan orang-orang ini, tatapan sendu terlihat di wajah mbak Chandra.
Hal yang sontak membuatku muak, selama hidupku, aku mempercayainya, menyanyanginya layaknya Kakak kandungku sendiri, tidak ada perlakuan yang berbeda antara aku dan dia didalam keluarga.
Dan kini, semua hal dibalas begitu menyakitkan olehnya, jika seperti ini, apa dia berharap aku akan memelas melihat wajahnya yang bersedih.
Aku berdecih, jika Mbak Chandra saja tega mengkhianatiku, merebut kekasihku dengan begitu teganya, bukan tidak mungkin kesenduan ini hanya sekedar kedok belaka, menyembunyikan wajah bahagianya sudah melihatku hancur berkeping-keping.
"Rana, Mbak_"
Aku mengangkat tanganku, tidak ingin mendengar lebih banyak kata keluar dari seorang pengkhianat sepertinya. Bagiku sudah tidak ada tempat untuk Mbak Chandra dari sisi perasaan.
"Selamat atas lamarannya! Dan tolong, jangan pernah muncul lagi di depan Rana."
Ya, aku sudah muak dengan kedua orang yang menghancurkan hidupku dalam sekejap.
Ku tutup pintu kamarku tepat di saat Mbak Chandra akan menahanku. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk melihat wajahnya, aku sudah tidak punya daya lagi untuk tetap baik-baik saja menerima kenyataan yang menghancurkan mimpi indahku.
Kulempar dengan kuat cincin paja yang kujadikan liontin kalungku, benda yang sedari awal kuyakini sebagai tanda keseriusan Raka, layaknya arti cinta itu sendiri.
Tangis yang sedari kini kutahan kini tumpah tanpa berusaha kuhentikan, raungan tangisku akan perihnya hatiku, tidak mampu mengurangi sakitnya. Aku bukan seorang berhati malaikat, yang akan memberi selamat atas apa yang terjadi di depan mataku.
Kini aku merasa Takdir mempermainkanku dengan begitu rupa, aku yang diberikan harapan, dan Kakakku sendiri yang diberi kepastian.
Diantara berjuta manusia di bumi ini, kenapa harus Mbak Chandra, Raka? Apa tidak ada orang lain yang menarik hatimu hingga kamu melupakan jika aku bersaudara dengan mbak Chandra?
Tidak ada niat sedikitpun rasa untuk mengusap air mataku, aku ingin air mataku ini mengurangi rasa sakitnya, memburamkan mataku dari banyak kenangan indah yang kini terasa begitu menyakitkan.
Aku ingin tangisku meredam semua suara yang terdengar diluar sana, aku hanya ingin sendiri, mengadukan ketidakadilan ini pada Tuhanku.
Tuhan, jodoh memang rahasiamu, milikmu dan kuasamu. Engkau yang mengatur bagaimana seseorang bisa datang dan menemui jodohnya, tapi haruskah seperti ini jalannya?
Begitu hina, dan menjijikkan.
Mendadak, kolase fotoku dan Raka yang ada di dinding kamar, tertempel rapi di dekat tempatku belajar, bukan hanya foto, tapi juga goals yang kurancang indah bersamanya.
Hanya tinggal satu planning yang belum tercapai, Married, satu kata yang belum kami lingkari, satu tujuan yang kandas hari ini setelah banyak hal kami lalui.
Semua hal pemberian Raka kini seolah mengejekku, senyuman Raka yang begitu lebar saat dia datang ke wisudaku seolah mengolokku, wajah bangga saat dia merangkulku di malam makrab kini seolah mentertawakan kehancuranku sekarang ini.
Ku kumpulkan semua barang tersebut dalam satu kotak besar, tidak sudi rasanya menyimpan semua hal yang akan membunuhku perlahan dengan begitu mematikan.
Dan kini, dihalaman belakang rumahku, aku membuang semuanya, seluruh simbol kenangan dari Raka, semua hal yang kuanggap berarti, tapi di khianati begitu saja.
Nyala api yang menyala-nyala, berkobar dan membakar semua barang tersebut, kini lidah apinya yang besar berkilat didepan mataku.
Bukan hanya membakar kenangan akan aku dan Raka, tapi juga hatiku yang turut menjadi abu. Seumur hidupku aku tidak melupakan rasa sakit ini. Rasa yang membuat kematian terasa lebih indah.