Pelangi, dan Para Sahabatnya

1241 Kata
“Hidup lo bener-bener sempurna, ya, Ngie. Selalu dikelilingi orang-orang baik, termasuk sahabat-sahabat lo,” celetuk Yara tiba-tiba. “Lo pernah, gak, sih, ngerasa kesepian? Kaya … lo lagi kumpul bareng temen-temen, tapi lo tetep ngerasa sendirian gitu. Ketawa bareng, tapi dalam hati, lo lagi sedih banget.” Lanjutnya bertanya, setelah melihat secara saksama barisan foto-foto keakraban Pelangi bersama teman-temannya, yang menggantung pada sebuah lampu hias di ruang tengah. Gadis cantik yang tengah duduk di atas karpet, sembari menikmati sepotong buah semangka itu seketika menoleh ke belakang, melihat sekilas kepada Yara, kemudian ikut memandang objek yang tengah dilihat oleh temannya itu. “Pernah, kok. Sering malahan.” “Serius, Ngie?” tanya Yara lagi, meyakinkan. Dari perubahan sorot mata gadis itu, terlihat begitu jelas, jika dirinya benar-benar terkejut mendengar jawaban yang diberikan oleh Pelangi. Karena yang ia lihat selama ini, gadis periang di hadapannya itu tak pernah sendirian dan selalu dikelilingi oleh sahabat-sahabat terbaiknya. Pikir Yara … mana mungkin orang yang memiliki banyak teman dan memiliki kehidupan sempurna seperti Pelangi, akan merasakan kesepian? Benar, kan? Sayangnya, gadis berambut panjang tergerai itu mengangguk, mematahkan segala pemikiran Yara. “Gue juga pernah, kok, beberapa kali ingin mengakhiri hidup, dan bahkan hampir bunuh diri. Tapi, alasannya bukan karena gue kesepian.” Lagi-lagi, Yara dibuat terkejut oleh jawaban yang diberikan Pelangi, hingga gadis itu membelalakkan mata. “Ha??? Bunuh diri? SERIUS, NGIE?” “Serius, tanya aja Gala. Dia saksinya,” jawab Pelangi. “Kalau aja saat itu Gala gak dateng, atau misalkan terlambat datang, mungkin, saat ini gue udah jadi roh gentayangan di mess pramugari,” tambah gadis itu menerangkan dengan tenang, seakan tak ada beban sedikitpun saat menceritakan kejadian kelam yang pernah dia alami bertahun-tahun lalu. Saking penasaran, Yara pun akhirnya turun dari atas sofa, lalu duduk di samping Pelangi, kemudian bertanya, “kok, bisa, sih, setan-setan gila nguasain diri lo, Ngie? Padahal, lo termasuk salah satu orang yang cukup taat dalam ibadah dan sering berdzikir kalau lagi sendirian.” “Mungkin, karena gue terlalu cantik,” jawab Pelangi, memberi candaan ringan. Sayangnya, Yara sedang tidak ingin becanda, dan malah berdecak kesal. “Gue serius, Ngie!” Pelangi terkekeh, sebelum akhirnya menjawab, “gue terlalu frustasi karena selalu mendapat mimpi yang sama selama lebih dari lima belas tahun, tanpa tahu alasannya kenapa. Mending kalau mimpi ketemu Taehyung BTS. Lah, ini? Malah mimpi buruk.” “Mimpi buruk? Mimpi buruk seperti apa?” tanya Yara semakin penasaran. Pelangi mengedikkan kedua bahu. “Menurut gue, itu adalah mimpi buruk paling mengerikan yang gak jelas dan tidak menemui titik akhir.” “Mimpi dikejar setan?” tebak Yara. Pelangi menggeleng. “Bukan. Lebih mengerikan dari setan malahan,” jawabnya. “Banyak darah, suara ambulance, mobil sedan terbalik, dan mimpinya selalu dalam keadaan hujan deras … ya, pokoknya gak jelas, deh. Gue sendiri gak tahu, apa arti mimpi buruk yang selalu hadir setiap gue tidur?” jawabnya. “Ya, Tuhan … Ngie ….” Gumam Yara sembari menutup mulut dengan kedua tangannya. “Setelah kejadian itu, gue sampai dianter Gala untuk nemuin psikiater buat konsultasi. Mungkin, dia pikir gue gila kali, ya?” lanjut Pelangi, di sela candaan ringan yang terlontar. “Gala khawatir, lo kenapa-kenapa, Ngie! Bukan karena dia berpikiran negatif. Gak semua yang dateng ke psikiater itu gila, loh. Memang, kan, biasanya psikiater jauh lebih memahami hal-hal seperti itu,” sanggah Yara dengan cepat. Sembari memeluk kedua kakinya yang menekuk, Pelangi mendesah panjang. “Ya … psikiater memang jauh lebih paham mengenai hal-hal seperti ini. Tapi, kayanya, psikiater gak tahu, apa yang gue butuhkan, Ra?” “Memangnya, apa yang lo butuhin?” tanya Yara, hati-hati. “Keutuhan dalam kebahagiaan,” jawab Pelangi, pelan. *** “Angie! Sialan lu, ya!” Suara teriakan khas dari seorang pria, dengan kalimat yang biasa dikatakan terhadap Pelangi setiap kali mereka sedang menghadapi perang dingin, akhirnya kembali terdengar diucapkan dari balik pintu apartemen, diikuti suara ketukan dan bel yang sengaja dibunyikan secara bersamaan. Berulang kali, tanpa jeda! Ya, hingga Pelangi dan Yara yang berada dalam ruangan tersebut mendengkus kesal, sembari menutup kedua telinga mereka. Benar-benar sangat memekakan indera pendengaran. Belum lagi, ditambah suara backingan dari para sahabatnya yang lain. Sudah dapat dipastikan, jika tidak segera dipersilakan masuk, akan menimbulkan keributan lain yang bisa mengganggu para tetangga di unit apartemen lain. Dengan gerakan cepat, bahkan setengah berlari, Pelangi pun beranjak menuju pintu masuk, menggeser kunci bagian dalam ke sisi kiri, lalu mendorong gagang pintu, hingga terbuka lebar. “BERISIK!!! Kalau mau demo, jangan di apartemen gue! Di gedung DPR aja, sana!” gerutu Pelangi dengan raut wajah kesal. Tanpa membalas kalimat protes yang dilayangkan oleh gadis di hadapan mereka, Candra, Bryan, juga Galaksi, segera beranjak masuk melewati sahabat wanitanya itu, dan melepas alas kaki mereka di samping lemari sepatu. Meninggalkan Pelangi yang masih terlihat dongkol, di depan pintu masuk. Namun, tidak dengan Galen Pratama. Pria tampan berkulit putih itu justru membantu Pelangi menutup kembali pintu apartemen, dan merangkul pundak gadis itu, hendak mengajaknya berjalan bersama untuk kembali ke ruang tengah. Takut-takut, amarah Pelangi malah semakin memuncak melihat tingkah ketiga sahabatnya yang lain, dan mereka tidak diizinkan lagi datang ke apartemen tersebut. “Udah, jangan marah lagi. Ayo, masuk! Gue udah bawain salad buah kesukaan lo. Kita makan bareng-bareng di dalem,” ajak Galen dengan suara bariton berat nan khas. Jika itu Galen yang berbicara, entah kenapa, rasa kesal yang sedang menggelayuti dalam hati Pelangi pun akan seketika luluh lantak, hancur, hingga menghilang tanpa jejak. Seakan, rasa yang semula mengganggu dalam diri, lenyap tanpa sisa. Berganti dengan kesenangan lain yang berbeda. Tidak hanya sekali. Bahkan, sering terjadi, sejak mereka memutuskan untuk dekat sebagai teman bersama ketiga sahabatnya yang lain. Akan tetapi … apabila ada yang bertanya, apa Pelangi menyukai Galen? Tentu saja, gadis itu akan menjawab, TIDAK! Karena sudah jelas, sejak dulu, Pelangi hanya sebatas mengagumi sikap dewasa sahabatnya itu saja, hingga menumbuhkan rasa hormat dan segan, bukan karena hal lain. “Lo bawa yogurt blueberry juga, kan?” tanya Pelangi pada akhirnya. Setelah tahu, Pelangi sudah kembali tenang, Galen pun tersenyum sembari mengangkat tangan, memperlihatkan kantong plastik berwarna putih berisi lima kotak salad buah, dan sepuluh botol yogurt bermacam rasa untuk Pelangi. “Bawa, dong! Itu, kan, minuman yang wajib ada setiap kali kita ngumpul,” jawabnya. Dengan wajah sumringah, Pelangi pun mengambil kantong plastik tersebut, dan segera membawa barang bawaan pemberian Galen menuju dapur untuk memindahkan isi dari kelima kotak salad buah ke dalam mangkuk besar untuk disatukan, dan disantap bersama dengan kelima temannya yang lain. Sementara Galen, bergegas menyusul teman-temannya ke ruang tengah, dan duduk di samping Galaksi. “Pelet Galen emang terbukti paling ampuh dari peletnya Gala,” celetuk Bryan–sahabat Pelangi–pria tampan berkaos hitam yang tengah duduk di atas sofa. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi, Galaksi menjawab, “sorry, pelet gue lewat sepertiga malam. Jadi, gue memang mesti jauh lebih sabar ngadepin sifat kekanak-kanakannya Angie.” Tak mau kalah, Galen pun ikut berkomentar. “Sorry juga, Gal, tikungan gue lewat doa rosario, yang langsung didengar oleh Bunda Maria.” Mendengar hal seperti itu, memuat Galaksi seketika menoleh, menatap pada Bryan, lalu beralih menatap pada Galen dengan raut wajah serius. “Len, lu harus ingat! Bahwa tasbih Angie dan rosario milik lu, gak akan pernah bisa bersatu. Tuhan lu dan Tuhan Angie itu berbeda,” ujar Galaksi. Galen mengeleng, menyanggah persepsi sahabatnya itu. “Tuhan kita satu. Yang membedakan itu, adalah keyakinan yang kita anut, dan jalur doa yang berbeda pula.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN