Di dalam mobil pribadi yang dikendarai oleh Dani saat ini, Ijah sedang mengganti pakaiannya yang tadi sangat kumal dan lusuh khas pembantu rumah tangga. Hanya daster usang yang selalu dia kenakan saat berada di dalam rumah itu.
Kini, wanita itu sudah menjelma menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan yang tadi masuk ke dalam mobil. Dress merah ketat melekat di setiap lekukan tubuhnya, rambut tergerai dengan polesan make up tebal dan lipstik merah menyala. Sepatu berhak tinggi tidak lupa sudah menghias di kakinya yang putih dan mulus.
“Sayang ... belahan bajunya terlalu ke bawah. Apa nggak ada baju yang lain yang bisa kamu pakai sekarang?” tanya Dani yang melihat bagian da*a Siska terekspos dengan sangat jelas.
“Duh, Sayang! Kamu kok sekarang jadi permasalahin baju aku sih? Aku kan emang udah biasa pakai baju yang seperti ini!” jawab Siska dengan sedikit menggerutu dan cemberut pada Dani.
“Bukan gitu sih maksud aku. Cuma kan kayaknya sekarang itu buah da*a udah makin montok aja. Pakaiannya kayak sempit dan pasti mengundang selera lelaki hidung belang nantinya saat melihat kamu keluar dari dalam mobil,” ungkap Dani lagi kepada Sisk dengan tetap memprotes pakaian wanita itu.
“Ini nih akibatnya kalau kamu udah kelamaan liat aku pakai baju daster pembantu. Apalagi tiap hari dan malam liat istri kamu yang pakaiannya juga begitu. Kusam, lusuh, nggak gaul! Sekarang jadi komplen sama baju aku yang begini. Padahal, dulu kamu tuh suka banget kalau aku berpenampilan begini!” ungkap Siska yang tak lain adalah Ijah – pembantu yang bekerja di rumah Dani dan Mona selama ini.
Wanita itu memang memiliki nama asli Siksa Manjalita. Namun, karena ingin penyamarannya menjadi sukses di dalam rumah Dani, terpaksa dia harus mengganti namanya menjadi Ijah. Padahal, Siksa adalah seorang yang termasuk berkelas dan juga memiliki pamor tinggi.
Hanya demi cintanya kepada Dani dan tentu saja karena uang yang terus mengalir ke rekeningnya dari Dani – Siska rela menyamar menjadi pembantu di kediaman kekasihnya itu. Dani dan Siska memang sudah lama menjalin kasih, bahkan sebelum Dani menikahi Mona atas dasar paksaan dari orang tuanya itu.
Itu pula sebabnya, Dani tidak bisa melepaskan Siska dan merek sama-sama merencanakan semua itu. Sudah bertahun-tahun lamanya Siska dan Dani tetap menjalin hubungan dan sampai pada akhirnya Siska memasuki rumah itu dengan penyamaran sempurnanya.
“Jangan bahas masalah dia, dong! Udah berapa kali aku bilang untuk nggak menyebut tentang dia saat kita sedang berdua!” ucap Dani dengan sangat tegas pada Siska.
“Makanya kamu jangan buat aku marah juga, dong!”
“Ya udah, aku minta maaf sama kamu, ya Sayang. Sekarang senyum lagi, dong. Kita udah sampai nih di toko perhiasannya. Kamu mau beli apa aja tadi?” tanya Dani berusaha membujuk Siska.
“Aku mau beli gelang keroncong satu lusin. Itu doang sih. Soalnya kan itu bakalan dipake pas arisan lusa sama ibu-ibu pejabat,” jawab Siska yang masih tampak merengut.
“Ya udah kalau gitu. Nanti pilih yang paling bagus dan oke, ya.”
“Makasih, Sayang. Kamu memang pacar yang paling pengertian dan sayang sama aku. Makanya aku juga rela jadi babu demi kamu.” Siska berkata seraya melempar senyum bahagianya.
Sepasang kekasih itu turun dari dalam mobil dan langsung saja memasuki sebuah toko perhiasan langganannya. Dani memang sudah biasa sejak dulu membawa Siska membeli perhiasan di toko ini sehingga pemilik toko dan para karyawannya juga sudah mengenal mereka berdua. Mereka bahkan berkata kepada semua orang tentang pernikahan mereka yang sebenarnya tidak dan belum pernah terjadi sama sekali.
“Pilih yang mana kau suka, Sayang. Aku akan membayarnya untukmu,” titah Dani dengan sangat lembut kepada Siska.
“Tentu. Itu sudah menjadi kewajibanmu membuatku bahagia,” sahut Siska dan menyunggingkan senyumannya kepada Dani pula.
“Kalian memang pasangan paling romantis dan paling awet yang pernah datang dan b**********n di toko ini. Aku salut pada kalian berdua dan untuk itu, khusus hari ini aku akan memberikan kalian bonus sebuah cincin permata yang baru selesai dibuat sore kemarin. Ini masih jadi satu-satunya,” ungkap wanita pemilik toko perhiasan itu dan mengeluarkan sebuah cincin permata merah dari dalam etalase kacanya.
“Wah ... ini beneran, Mba? Apa nggak salah kasih bonus semewah ini?” tanya Siska dengan takjub dan tak percaya melihat cincin permata merah yang sudah tersemat di jari manisnya.
“Ini serius, Mba. Sebagai bentuk rasa terima kasih kami pada pelanggan yang selalu setia selama bertahun-tahun berbelanja perhiasan di sini, kami berencana akan memberikan hadiah dalam bentuk dan model yang berbeda,” jawab pemilik toko yang masih berusia sekitar tiga puluhan tahun itu.
“Maksih banget deh kalau gitu. Kebetulan aku lagi suka warna merah sekarang,” ucap Siska dan terus tersenyum sembari mengelus permata cincinnya itu.
“Kamu suka, Sayang?” tanya Dani.
“Suka banget, Sayang. Mba nya baik banget deh kasih bonus cincin permata yang indah ini buat aku. Kamu juga baik banget, selalu bawa aku belanja di sini. Makasih, ya Sayang.”
“Sama-sama, Sayang. Bagiku yang penting kamu bahagia,” ucap Dani dan mengusap kepala Siska dengan penuh kasih sayang.
Memang, tidak ada alasan Dani untuk tidak royal pada wanita itu. Selama ini, Siska selalu bisa memberikannya kepuasan yang sama sekali tidak bisa dia dapatkan dari Mona. Dani mendatangi Mona hanya saat dia ingin tapi Siska tidak bisa membantunya menuntaskan hasr*tnya itu. Dan kehamilan Mona sama sekali bukan hal yang diinginkan oleh Dani pada awalnya.
Namun, semua sudah terjadi hingga dia mau tidak mau menerima semua itu. Dani semakin terikat dengan pernikahannya bersama Mona setelah Mona hamil dan melahirkan Kiara. Hal itu semakin membuat Siska sering marah dan Dani harus membujuknya terus dengan perhiasan dan uang saku yang banyak.
Setelah selesai membeli perhiasan yang dia inginkan, Siska dan Dani berencana akan makan siang di sebuah restoran yang menjadi tempat langganan mereka makan. Namun, saat akan masuk ke dalam mobil sebuah suara terdengar memanggil mereka.
“Dani ... kamu ngapain di sini? Dan ... Ijah? Kamu Ijah kan?”
Dani dan Siska menoleh bersamaan dan wajah mereka memucat bersama ketika melihat sosok yang memanggil nama mereka dengan sangat tepat dan juga dengan pandangan heran tak percaya itu.