Curiga!
“Apa yang kamu lakukan di kamarku, Jah?” tanya Mona pada pembantunya yang bernama Ijah.
“Ma-maaf, Buk. Saya hanya nganterin pakaian yang abis disetrika tadi,” jawab Ijah tergugu dan takut-takut memandang wajah Mona.
“Oh gitu. Ya udah sana, tolong bantu beresin dapur. Aku udah selesai masak buat Kiara.” Mona memberikan titah pada Ijah.
“Baik, Buk. Permisi dulu kalau gitu,” balas Ijah dan langsung berjalan keluar dari kamar majikannya itu.
Mona memandang Ijah dari ambang pintu dan melihat baju Ijah sangat berantakan. Mona menyipitkan matanya saat melihat bahwa ada tali menggantung di lubang tangan baju yang dikenakannya. Padahal, tadi rasanya Mona tidak melihat tali yang memang terlihat seperti tali itu bra di sana. Apa lagi, sejak berpapasan di pintu tadi Ijah hanya menautkan kedua tangannya ke depan dan menunduk seperti orang ketakutan pada Mona.
Tidak ingin berpikiran buruk pada pembantu yang sudah hampir setahun ini membantunya, Mona segera masuk ke dalam kamar dan melihat suaminya masih dalam keadaan tidur lelap. Mona menggeleng dan mendengkus kesal. Pasalnya, lelaki bernama Dani itu memang selalu tidur dan makan saja kerjanya. Dani memang terlahir dari keluarga kaya dan biasa hidup manja. Itu sebabnya ia tidak pernah ingin bekerja karena keuangan akan tetap berjalan lancar ke dalam rekeningnya.
Orang tuanya selalu mengirimkannya uang bulanan meski Dani sudah menikah dengan Mona dan memiliki seorang putri bernama Kiara yang baru saja genap berusia tiga tahun. Mona dan Dani sudah empat tahun menikah dan Dani masih tetap sama seperti dulu.
Mona dan Dani memang dijodohkan karena Mona adalah anak sahabat ayahnya Dani. Merasa berhutang budi pada sahabatnya yang telah tiada itu, Baskoro memutuskan untuk menikahkan Dani dengan Mona.
Tentu saja pernikahan itu penuh dengan drama karena Dani sudah memiliki seorang kekasih yang sudah berencana akan ia lamar. Namun, kehadiran Mona secara mendadak merubah segala yang sudah ia rencanakan itu.
Hingga pada akhirnya, Dani membuat protes dengan tidak akan bekerja apa pun selama pernikahannya dengan Mona dan menuntut orang tuanya untuk tetap memberikannya uang saku. Baskoro dan Puspita tidak bisa menolak permintaan Dani karena Dani adalah anak mereka satu-satunya.
“Loh, kok kasurnya berantakan gini? Tadi kan aku udah beresin yang sebelah sini? Dani juga kayaknya nggak pernah tidur lasak sampe akan membuat kasur sebegini berantakannya!” gumam Mona saat memperhatikan ranjangnya yang sangat berantakan saat ini.
Mona mengernyitkan kening dan menatap pada Dani yang masih terlelap dan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu untuk saat ini. Kemudian, Mona masuk ke dalam kamar mandi setelah menjangkau baju handuknya yang tergantung di sisi pintu kamar mandi.
Mona harus segera bersiap untuk pergi bekerja. Mona adalah seorang guru taman kanak-kanak dan dari penghasilannya itulah ia selalu mencukupi segala keperluan pribadinya sendiri. Sementara untuk keperluan Kiara semuanya masih dipenuhi oleh Dani atau orang tua Dani. Itu semua karena memang gaji Mona sebagai tenaga pengajar sangatlah minim. Setidaknya, untuk keperluannya sendiri Mona tidak perlu meminta lagi pada Dani.
Setelah selesai mandi, Mona berkemas. Setelah ia selesai berdandan tipis yang tetap tidak menutupi kecantikannya itu, Mona membangunkan Dani seperti biasa.
“Dan … bangun. Aku mau pergi ke sekolah,” panggil Mona sambil menggoyangkan tubuh suaminya itu.
“Hem … pergi aja. Aku masih ngantuk,” jawab Dani dengan suara khas orang ngantuk.
“Tapi, kamu udah janji mau nganterin aku pagi ini. Motor aku masih di bengkel, Dan,” ungkap Mona dengan lembut meminta pengertian Dani.
“Nganterin kamu? Aduuuh … mana sempat lagi sekarang. Kamu bisa telat, Mona sayang. Kamu naik taxi aja sana!” titah Dani tanpa membuka matanya yang ia tutup rapat.
“Tapi a …,” ucapan Mona terhenti karena ia tidak ingin terdengar mengeluh di depan Dani. Mona tidak ingin Dani menganggapnya seperti wanita lain yang hanya mengharapkan belas kasih suami dan meminta uang dalam hal apapun. Mona tidak mau menjadi wanita lemah di depan Dani karena ia sudah sangat hafal dengan sifat lelaki itu.
Dani bahkan pernah menuduhnya memaksa sang ayah agar menikahkan mereka karena Dani adalah lelaki tampan dan kaya. Tentu saja semua itu tidak benar dan Mona membela dirinya dengan memberi pernyataan yang akhirnya bisa diterima oleh Dani.
Itu sebabnya sampai detik ini Mona tidak pernah mengeluhkan apa pun dalam segi keuangan pada Dani karena tidak ingin lelaki itu kembali salah paham dengan ucapannya. Mona selalu menanggung masalahnya sendiri.
Kecuali jika itu adalah urusan Kiara, maka dengan tebal muka Mona akan mengatakan apa saja yang ia butuhkan pada Dani. Meski pun memang itu adalah kewajiban dan tanggung jawab Dani sebagai seorang ayah.
“Udah pergi sana. Kamu ganggu aku lagi tidur aja tau nggak!” gertak Dani dengan suara yang cukup tinggi.
“Ya udah kalau gitu. Aku pergi dulu, ya. Jangan lupa ingetin Ijah buat kasih makan siang Kiara kalau aku telat pulangnya nanti.” Mona beranjak dari sisi ranjang dan segera menyambar tas lusuhnya yang berwarna hitam di atas nakas.
“Hem ….”
Hanya suara deheman itu saja yang menjawab semua ucapan Mona. Dengan mengelus d**a, Mona keluar dari kamar pribadinya dan menuju ruang keluarga. Di sana Kiara sedang duduk sendiri sambil menikmati siaran tivi kesukaannya.
Mona berjalan diam-diam ke arah dapur karena tidak ingin Kiara mengetahui keberadaannya. Kiara bisa merengek dan mengamuk minta ikut jika nanti ia melihat Mona sudah bersiap akan pergi mengajar seperti ini.
Dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri yang takut ketahuan, Mona akhirnya berhasil sampai di dapur. Di sana ada Ijah yang sedang mencuci perkakas bekas Mona memasak menu sarapan dan makan siang Kiara nanti. Mona memang selalu memasaknya sendiri dan tidak mempercayakannya pada Ijah.
“Ijah, jangan lupa nanti Kiara disuapin sarapan sama makan siangnya juga. Aku udah bilang ke Dani juga tadi kalau kamu lupa dia bakal ingetin.” Mona berkata pada Ijah dengan tetap menelisik memandang wajah Ijah.
“Baik, Buk. Saya nggak akan lupa,” jawabnya dan masih menunduk seperti malu atau takut pada Mona.
Entah mengapa, rasanya pembantunya itu sedikit berbeda pagi ini. Tidak seperti biasa dan sikapnya pun sedikit mencurigakan. Ijah tidak biasanya terlihat menghindar dari Mona. Wanita itu biasanya sangat agresif dan suka sekali bercerita banyak hal. Namun, karena buru-buru untuk segera berangkat ke sekolah, Mona tidak punya waktu lagi untuk memikirkan dan menanyakan hal itu.
“Ya sudah kalau begitu, saya pergi dulu. Kamu nggak usah masuk ke kamar saya. Apa pun yang mau kamu kerjakan, nggak usah dulu aja. Suami saya masih tidur, nanti dia marah kalau ada yang berisik.” Mona memperingati Ijah sebelum akhirnya melangkah pergi melewati pintu belakang yang terhubung ke garasi. Meninggalkan rumah dengan perasaan yang sebenarnya masih sedikit merasa tidak tenang.
“Maaf, Mona. Tapi sepertinya saya harus melanggar perintah kamu itu,” ucap Ijah dengan sebuah seringai licik dari sudut bibirnya.