Main Belakang

1112 Kata
Mona sampai di sekolah tempat ia mengajar dan mulai menjalankan profesinya dengan sangat baik. Seperti biasa, Mona memang selalu pandai mengambil hati anak-anak dan tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menyukai Mona sebagai guru. Anak-anak terlihat tidak sabar untuk dapat diperhatikan dan dibimbing oleh guru kesayangan mereka itu. Mona sudah berusia dua puluh tujuh tahun saat ini. Namun, wajahnya masih sama seperti anak Sekolah Menengah Pertama. Mona memang memiliki wajah yang sangat mungil dan imut-imut sekali. “Bu Guru, kenapa adek Kiara nggak dibawa ke sini lagi?” tanya Intan, salah satu murid yang sangat aktif dalam kelas Mona. “Adek Kiara belum saatnya ke sekolah, Sayang. Adek Kiara sekolahnya baru tahun depan, saat Kakak kakak di sini udah masuk Sekolah Dasar. Nggak ketemu, ya.” Mona menjawab dengan memasang wajah sedih pada Intan. “Iya. Nggak ketemu deh sama kita di sini. Tapi, sekarang dedek Kiara sama siapa di rumahnya, Bu Guru?” tanya Intan lagi. “Sama papanya, Sayang.” “Oh, jadi papa dek Kiara nggak kerja, ya. Di rumah aja kayak papa aku dulu, Bu Guru. Tapi, terus papa aku ninggalin aku sama mama. Dia pergi sama si mbak yang jagain adek aku yang bayi itu, Bu Guru. Aku benci sama papaku, Bu,” isak Intan yang tiba-tiba saja mencurahkan isi hatinya pada Mona. Untung saja saat ini tidak ada anak lain di dalam kelas karena memang sedang jam istirahat. Intan biasanya memang lebih suka duduk di kelas bersama Mona. Tak jarang mereka makan bekal bersama. Mona memang mengetahui bahwa saat ini ibunya Intan adalah seorang single parents. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan Intan juga. Itu sebabnya dia tidak pernah bisa tepat waktu menjemput Intan saat jam pulang sekolah. Hal itu juga lah yang selalu menjadi keterlambatan Mona pulang ke rumah. Ia sering kali harus mengantarkan Intan ke pabrik minuman gelas tempat ibunya bekerja karena sang ibu tidak bisa keluar pabrik dikarenakan pekerjaan yang banyak. Mona merasa kasihan pada Intan dan ia sangat menyayangi Intan seperti anaknya sendiri. namun, pengakuan yang baru saja Intan curahkan padanya sangat membuat hati dan perasaan Mona sedih bercampur iba. Gadis sekecil ini harus menjadi korban perpisahan orang tuanya. Ia tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi pada Kiara juga. Pasti Kiara akan sangat sedih dan menderita. Mengingat kembali perkataan Intan tentang sang ayah yang pergi bersama si mbak yang menjaga adiknya, Mona teringat pada Ijah di rumah. “Sayang, kamu makan aja nih bekal Ibu yang tadi Ibu bawa dari rumah. Ibu masih kenyang,” titah Mona pada Intan yang lagi-lagi tidak dibekali makanan dan minuman oleh ibunya. “Beneran, Bu? Asik … makasih, ya, Bu Guru.” Intan langsung melahap burger telor dan daging yang dibawa oleh Mona tadi. Saat Intan sedang asik mengunyah makanannya, Mona segera mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor telepon Dani. Mona menelpon suaminya dan tidak mendapatkan jawaban dari lelaki itu. “Apa Dani masih tidur jam segini? Biasanya juga udah bangun,” lirih Mona bermonolog. Kemudian, dengan perasaan tak menentu Mona mencoba menghubungi nomor telepon Ijah. Masuk dan berdering sangat lama. Sampai tiga kali tetap tidak ada jawaban dari Ijah. Hal itu semakin membuat Mona gelisah dan takut. Entah apa yang ditakutkan oleh Mona saat ini, ia sendiri pun tidak tahu pasti. Yang jelas, setelah mendengarkan ucapan Intan tadi, pikirannya berkelana entah ke mana saja dan membayangkan hal yang tidak-tidak telah terjadi antara pembantunya dan suaminya di rumah sepeninggal dirinya bekerja. Tentu saja Mona tidak ingin hal buruk itu terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Setelah beberapa saat, Mona mencoba lagi menghubungi Ijah dan kali ini akhirnya Ijah menjawab panggilan telepon darinya itu. “Halo, Ijah! Kamu ke mana aja? Aku telponin dari tadi juga!” gerutu Mona kesal pada pembantunya itu. “Ma- maaf, Bu. Tadi sa-ya lagi di kamar man-di,” jawab Ijah tersengal sengal seperti sedang berusaha menahan sesuatu. Mona merasa heran dengan nada bicara Ijah. “Mana Bapak?” tanya Mona to the point. “Nggak ta-u, Bu. Mungkin ma- masih tidur,” jawabnya lagi masih dengan suara yang terdengar gagap. “Kamu lagi ngapain sih, Jah? Kok suara kamu aneh banget!” tanya Mona curiga dan juga penasaran. Sesaat tidak terdengar suara apapun dari seberang telepon itu dan Mona masih menunggu jawaban dari Ijah. Entah apa yang kini sudah merasuki pikiran Mona hingga membuatnya merasa curiga pada Ijah. Padahal selama ini Mona tidak pernah sekalipun mencurigai pembantunya itu seperti ini. Sejak tadi pagi, sikap dan perilaku Ijah sudah memperlihatkan perbedaan yang akhirnya mengundang kecurigaan pada Mona. Namun, Mona tidak tahu apa itu sehingga ia tidak bisa menuduh sembarangan pada Ijah. “Aaakkhh ….” Terdengar suara pekikan dari seberang sana dan jantung Mona langsung berdetak dengan sangat kencang. “Kamu kenapa, Jah?” tanya Mona dengan hati yang tak karuan. “Nggak apa-apa, Bu. Jari saya kena pisau, Bu. Saya lagi ngiris bawang merah, makanya tadi bicara seperti itu karena mata berair. Barusan kena iris pula, makanya saya teriak kesakitan.” Ijah menjawab dengan sangat lancar pada Mona tanpa cacat sedikitpun. “Kiara mana, Jah? Udah kamu suapin makan siangnya?” tanya Mona pada Ijah beruntun. “Ada di kamar bermainnya, Bu. Tadi dia minta main ke sana, jadi saya anterin,” jawab Ijah lagi dengan santai. Namun, meski demikian santainya jawaban Ijah, Mona masih dapat mendengar dengan jelas suara deru napas orang yang sedang terengah engah dan menahan teriakan dengan sangat erat. Mona bukan lah gadis bodoh yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman pribadi yang menarik. Namun, urusan rumah tangga tentu saja Mona tidak akan berani macam-macam. Yang mana untuk mempertahankannya saja itu sangat sulit. “Kok kamu tinggal sendirian, sih? Udah sana, temenin Kiara,” titah Mona dengan kesal pada pembantunya itu. “Baik, Buk. Saya akan menemani Nona Kiara setelah pekerjaan saya yang satu ini selesai. Kalau gitu, udah dulu, ya Bu. Saya mau fokus dulu beresin dapur dikit lagi!" Ijah berkata dengan suara yang seperti sedang menahan desahan dan itu sangat terdengar jelas oleh Mona. “Buruan!” titah Ijah dan kembali membuat kening Mona mengkerut mendengar hal itu. “Kamu bicara sama siapa, Jah?” tanya Mona heran. “Eh, Ibu. Ini, Bu. Cuma sama si Tella, kucing kesayangannya Kiara,” elak Ijah yang kini tanpa sepengatahuan Mona sedang mengurut d**a pertanda lega. Sementara itu, di atas tubuhnya ada tubuh kekar seorang lelaki dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pu. Keduanya saling bertatap muka dan kemudian saling membalas senyum saat Ijah dengan sengaja mematikan telepon dari Mona. Hal itu karena menurut Ijah, panggilan dari Mona sangat mengganggu pekerjaannya saat ini. “Kau sangat pintar berakting, Sayang.” Lelaki itu berkata dengan mendaratkan sebuah kecupan di bibir Ijah dan mereka kembali melanjutkan aktifitas panas itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN