BAB 2. Marah

1830 Kata
Ketika Adrian pulang ke rumah Lisa sudah tidur di kamar Regarta. Membuat laki-laki itu mendesah. Kemudian Adrian melangkah ke dapur dan kembali mendesah kesal karena Lisa tidak memasak apapun untuk makan malam padahal dia lapar. Biasanya saat Lisa marah, dia masih akan mengurusi Adrian. Dari pakaian hingga makan Lisa tidak pernah seperti sekarang. Laki-laki itu kemudian menggulung kemejanya dan mulai membuka kulkas hendak memasak sesuatu tapi ternyata tidak ada apapun di kulkas. Sungguh kesabaran Adrian sedang di uji sekarang. Laki-laki itu mengusap wajahnya frustasi, hendak marah tapi sudah hampir tengah malam. Dan tepat ketika Adrian selesai merebus air untuk setidaknya dia bisa memakan satu-satunya mie instans yang tersisa di dalam kulkas, Lisa keluar. Tatapan mereka bertemu. “Kamu nggak masak?” Adrian akhirnya bertanya. Nadanya masih biasa saja tapi Lisa tahu laki-laki itu kesal. “Sejak pagi Rega panas dan baru beberapa jam lalu dia mau tidur jadi aku nggak sempet ngapa-ngapain.” Jawab Lisa yang entah kenapa terdengar begitu dingin di telinga Adrian. Tadinya laki-laki itu hendak protes tapi langsung terdiam seribu bahasa. Merasakan seperti ada pisau yang menyayat hatinya. “Bukannya tadi kamu habis makan malam kan?” Sebuah pertanyaan dengan nada yang lebih dingin keluar dari mulut Lisa. “Kamu tahu dari mana?” Tanya Adrian lagi. Lisa diam tanpa ekspresi. Mengambil sebotol air mineral di dalam kulkas dan meminumnya. “Sekertaris kamu yang kasih tahu waktu aku telpon kamu karena Rega muntah parah tadi.” Jawab Lisa lagi. “Rega muntah? Udah di bawa ke dokter?” Tanya Adrian dengan nada khawatir. “Udah tadi.” Jawab Lisa singkat. Tanpa menoleh ke arah Adrian. Tangannya kemudian meremas botol bekas air mineral yang dia habiskan dalam satu kali tenggak itu. Seharian juga Lisa belum makan, Regarta tidak sedetikpun mau lepas dari gendongannya. Dan tega-teganya Adrian bertanya dia belum memasak dengan nada kesal. Lisa ingin mengamuk rasanya, tapi dia tahu bahwa marah-marah pada Adrian tidak ada gunanya. Lagipula keadaan tubuhnya juga tidak baik sekarang. Lebih baik Lisa diam saja agar tidak menguras energi. “Naik apa?” “Diantar mas Herdy.” Jawab Lisa lagi dan kali ini Adrian benar-benar kesal. “Udah berapa kali aku bilang kamu jangan berhubungan sama tetangga kita itu Lisa? Dia itu duda dan dia tertarik sama kamu.” Ucap Adrian kesal. Dan kali ini Lisa menoleh dengan tatapan marah yang baru pertama kali Adrian lihat. “Udah berapa kali juga aku bilang sama kamu kalau aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan sekertaris kamu itu? Aku juga tahu dia suka sama kamu.” Untuk pertama kalimya dalam sejarah rumah tangga mereka Lisa menjawab ucapan Adrian dengan kemarahan yang terasa begitu jelas. “Lisa kamu berlebihan!!” Nada Adrian naik satu oktaf. “Berlebihan? Kamu kemana waktu aku telponin kamu? Kamu kemana saat anak dan istri kamu butuh? Jadi maksud kamu biarin anak kamu kenapa-napa nggak ada yang anter ke dokter dibanding dianterin sama mas Herdy gitu?” Ucap Lisa dengan nada yang juga naik satu oktaf. Air matanya turun dan karena itu Adrian memilih diam. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba hinggap di hati Adrian mendengar kemarahan Lisa. “Kamu kelaperan padahal kamu habis makan malam kan? Apa kamu tahu kalau aku dari pagi nggak bisa makan apapun karena Rega nggak mau lepas dari gendongan aku. Rumah tangga itu saling bantu seharusnya kan? Tapi kamu selalu merasa sudah melakukan bagian yang lebih besar dari aku hanya karena kamu yang mencari nafkah. Pernah mau tahu apa yang aku lalui sendirian dengan anak yang sedang aktif-aktifnya sementara kamu maunya makanan selalu ada dan rumah selalu bersih?” Lisa tidak bisa lagi membendung amarahnya. “Kamu bahkan lebih suka kan belain sekertaris baru kamu itu dibanding aku. Kamu lebih suka pergi kemana-mana sama dia di banding sama aku. Kamu bilang aku seharusnya selalu jagain Rega, aku seharusnya di rumah, aku seharusnya ngertiin posisi kamu, aku seharusnya paham kalau kerjaan kamu banyak, tapi kamu nggak pernah ngertiin aku Adrian!!” Ucap Lisa lagi. “Kalau kamu suka sama dia, silahkan nikahin dia. Tapi ceraikan aku dulu dan jangan pernah berani sentuh Regarta.” “Lisa jaga ucapan kamu!!” Adrian mengucapakannya dengan nada yang cukup keras. Membuat Lisa kaget dan semakin menangis. Laki-laki itu menyesal setelahnya tapi istrinya sudah berjalan meninggalkannya sambil menangis menuju kamar Regarta. Karena terdengar suara tangisan Rega setelah suara keras Adrian tadi. “Rega bangun yah? Ayah sama Bunda berisik yah sayang? Bunda minta maaf yah sayang.” Terdengar suara Lisa yang begitu lembut sedang berusaha mendiamkan putranya yang sedang menangis. Sementara Adrian masih diam di tempatnya. Cukup kaget melihat respon Lisa tadi. Adrian baru pernah melihat Lisa yang semarah ini dan bodohnya dia malah membentaknya. Adrian menyesal tapi dia tidak tahan ketika Lisa membahas tentang perceraian. Belakangan ini suasana rumah tangga mereka memang sedang tidak baik karena Adrian selalu merasa Lisa tidak pengertian dan tiba-tiba menjadi cemburuan. Tapi sedetikpun Adrian tidak pernah ada pikiran ingin menceraikan Lisa. Tidak ada sedetikpun dia pernah berpikir seperti itu. Tapi kenapa Lisa seperti mudah sekali mengucapkan kalimat itu padanya? Adrian kembali mengusap wajahnya frustasi sambil mendesah lelah. Sungguh beberapa minggu ini dia lembur terus dan tubunnya juga sudah mulai ingin protes tapi sampai di rumah dia juga harus menghadapi kemarahan istrinya. Dia ingin berteriak untuk melepaskan semua beban di kepalanya tapi bentakannya tadi saja sudah membuat putranya menangis dan hingga sekarang belum mau berhenti. “Regarta bunda mohon, ini sudah malam sayang. Tidur yah?” Terdengar sayup-sayup suara Lisa sambil menangis. Dan karena itu Adrian melangkah menuju kamar putranya itu untuk melihat keadaan. Terlihat putranya sedang menangis kencang di dalam gendongan Lisa. Dan istrinya itu sedang berusaha mendiamkannya sambil menangis. “Rega sama ayah yuk! Sini gendong ayah.” Ucapnya berusaha membantu Lisa tapi putranya itu tidak mau. Regarta semakin menangis dan menempel pada Lisa. Tidak mau di gendong Adrian. Lisa kemudian menghapus air matanya, berusaha menguatkan tubuh dan mentalnya untuk menghadapi putranya yang sedang rewel itu. Mulai menyanyikan berbagai macam lagu anak-anak. Menimangnya di dalam gendongan, dan menepuk-nepuk pelan p****t Regarta agar anak itu diam. Tapi segala usaha itu tidak membuahkan hasil karena Regarta terus menangis. “Rega mau minum s**u? Ayah buatin s**u yah?” Ucap Adrian juga berusaha. Tapi Regarta terus menangis tidak peduli apapun. Ketika Adrian menyentuh keningnya terasa panas sekali. “Dia sudah minum obat?” Laki-laki itu bertanya. “Sudah.” Lisa menjawab singkat. Kemudian kembali berusaha mendiamkan putranya yang rewel itu. “Kenapa panasnya belum turun juga yah? Kamu ke dokter mana?” Adrian kembali bertanya. “Yang biasa kok, obatnya baru diminum sekali jadi mungkin memang belum terlalu kelihatan reaksinya.” Kali ini kalimat Lisa lebih panjang dan entah kenapa hal itu membuat Adrian sedikit lega sekalipun permasalahan diantara keduanya belum berakhir. *** Hingga jam lima pagi Regarta belum juga mau lepas dari gendongan Lisa. Panasnya berangsur turun tapi dia terus rewel. Sebenar menangis, sebentar diam. Seperti sedang merasakan rasa kurang nyaman di tubuhnya. Adrian sungguh merasa sangat bersalah karena sudah bersikap seperti semalam. Dia menyesal sudah membentak Lisa, dia menyesal sudah marah hanya karena istrinya belum masak padahal Lisa belum makan apapun sejak pagi. Laki-laki itu kemudian keluar menuju dapur, mengambil sisa telur di dalam kulkas dan merebusnya. Stidaknya lisa harus makan sedikit karena wajahnya sudah pucat sekali. Adrian takut istrinya itu sampai ikutan sakit dan segalanya akan berantakan nantinya. Beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali ke kamar sambil membawa telur rebus di tangannya dan sepiring nasi. Lisa terlihat memejamkan matanya di tempat tidur sambil tangannya terus mengelus punggung Regarta. Matanya terbuka ketika mendengar langkah Adrian. “Makan dulu, Cuma ada ini di kulkas.” Ucap laki-laki itu lembut. Tangannya menyuapkan nasi dan telur rebus ke arah Lisa. Laki-laki itu bersyukur karena Lisa menerimanya dan mau memakannya. Sebenarnya di rumah mereka seharusnya ada ART, tapi akhir-akhir ini beberapa kali mereka mempekerjakan ART selalu berakhir keluar tanpa alasan yang jelas. Adrian bahkan dengan jahatnya pernah berpikir kalau alasan para pekerja rumah tangga itu tidak betah adalah karena Lisa yang terlalu cerewet dan banyak maunya. Tapi kemudian kewarasannya hadir kembali mengingat selama ini dia tentunya sangat mengenal bagaimana karakter istrinya itu. “Nanti aku telpon mamah buat kirim mbak Wati buat bantu-bantu di rumah.” Ucap Adrian lagi. Lisa mengangguk saja. Dia sudah terlalu lelah. “Sini kasih aku Reganya, kamu tidur sebentar.” “Diia baru aja tidur nanti rewel lagi.” Ucap Lisa menolak. Suaranya terdengar lemah sekali dan membuat Adrian tidak tega. “Pelan-pelan aja.” Ucap Adrian dan kali ini Lisa menurut. Untung saja Rega tidak menangis dan masih tiddur hingga berpindah ke dalam gendongan ayahnya. “Kamu tidur dulu sekarang.” Perintah Adrian. Lisa memejamkan matanya tanpa menjawab. Sudah terlalu lelah menghadapi drama Regarta yang menguju kesabarannya seharian ini. Lisa tertidur cukup lama hingga kembali terbangun mendengar Regarta kembali merengek. Tapi rupanya Adrian sudah tidak ada di kamar itu. Jendela juga sudah terbuka dan matahari sudah terbit. Itu artinya Lisa tidur kurang lebih satu atau dua jam. Wanita itu kemudian memijit keningnya yang terasa sakit sebelum benar-benar beranjak dari tempatnya untuk menghampiri Adrian yang tampak kewalahan. “Boleh saya gendong pak siapa tahu mau diam.” Terdengar suara perempuan yang Lisa sudah tahu siapa. Sumber dari masalahnya dengan Adrian belakangan ini. “Nggak usah, dia nggak suka di gendong orang lain.” Jawab Adrian terus berusaha mendiamkan Regarta. “Istri bapak kemana emang?” Perempuan itu kembali bersuara. “Tidur, soalnya dari semalam dia baru istirahat.” Adrian kembali menjawab dan Lisa terus mendengarkannya sambil mengusir rasa tidak nyaman di kepalanya. Setelah kepalanya terasa lebih baik, Lisa kemudian bangkit dan beranjak menuju tempat dimana suami dan anaknya berada. “Ahh selamat pagi bu Lisa.” Ucap perempuan itu dengan ramah. Tapi Lisa tahu bagaimana perempuan itu sebenarnya ketika di belakang Adrian karena itu Lisa enggan menanggapinya. “Sini sama bunda sayang.” Ucap Lisa lembut sembari mengambil alih Regarta. Anak itu langsung diam begitu berada di pelukan Lisa. “Syang aku har—” “Berangkat kerja kan? Ya sudah berangkat aja nggak perlu mikirin rumah. Nggak penting juga buat kamu.” Jawab Lisa tanpa menoleh sambil meninggalkan ke dua orang itu. “Maaf bu tapi pagi ini pak Adrian harus had—” “Nggak usah ikut campuir, kamu itu orang lain.” Potong Lisa cepat. Adrian mendesah frustasi. Pekerjaan kali ini memang benar-benar tidak bisa di tinggalkan. Sebab scedjule kali ini sudah di undur dua kali dan jika kali ini mundur lagi maka akan gagal. “Aku akan pulang cepet dan tadi aku juga udah bilang sama mamah soal mbak Wati. Sebentar lagi juga datang.” Ucap Adrian lagi akhirnya. Lisa diam saja sambil menahan air matanya. Dulu Lisa pikir menikah dengan Adrian adalah keputusan yang tepat, tapi entah kenapa sekarang dia meragukannya. Nyatanya semua orang bisa berubah. Padahal dulu dia dengan naifnya percaya bahwa sampai kapanpun Adrian tidak akan berubah menjadi menakutkan karena keduanya saling mencintai. Lisa akhirnya sadar bahwa dalam membangun rumah tangga, cinta saja tidak cukup. Semua tidak akan ada artinya jika tidak ada kerja sama antara keduanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN