Mia tertegun mendapati foto yang dikirimkan oleh Rios. Ia tahu ini berlebihan tapi ia tetap melakukannya.
"Kenapa, Nduk? Ada yang sakit?" tanya Sufi memastikan kondisi putrinya.
"Ndak, Bu. Ndak apa-apa."
"Tapi wajah kamu kok murung begitu."
Mia berusaha tersenyum meski hatinya sakit sekali. Bagaimana tidak saat ia melihat suaminya sendiri begitu dekat dengan perempuan lain.
"Bu...."
"Ya, Nduk."
"Mia mau ngomong sesuatu."
"Ngomong apa?"
Mia menarik napas sejenak. Ia harus menyiapkan mentalnya sebelum membahasnya dengan sang ibu. Ia harap ibunya mau memahami.
"Mia pengen kuliah, Bu."
"Kuliah, Nduk?"
Mia mengagguk. Sudah pasti Sufi terkejut. Mengingat, dulu ia tidak mau meski sudah ditawari kakaknya.
"Mia kok pengen nyoba, Bu. Kira-kira bagaimana?"
"Kamu yakin, Nduk? Sudah dipikirkan matang-matang?"
Mia terdiam. Ia tidak tahu apakah keputusannya itu benar-benar matang atau hanya karena emosi sesaat saja. Ia yang sejak awal tidak minat dengan kegiatan itu, sekarang menjadi sangat ingin hanya demi menghindari hal lain.
"Kamu udah tanya Kakak kamu? Kira-kira bagaimana?"
"Sudah, Bu. Kak Frans nyaranin buat Mia ambil course dulu."
"Apa, Nduk? Course?"
"Kursus maksudnya, Bu."
"Lah ngapain kursus segala, Nduk. Mau buat apa?"
Mia terdiam lagi. Ia sendiri belum tahu apa kegunaan itu semua. Ia mungkin hanya sedang gegabah dan terlalu mengedepankan egonya.
"Boleh ya, Bu."
"Loh, kok tanya Ibu. Ya tanya suami kamu boleh apa ndak. Sekarang izinnya kamu itu ke Akram, Nduk. Udah gak ke ibu sama bapak lagi."
"Ya, Bu. Besok Mia bicarakan sama Mas Akram."
"Nah, itu lebih baik. Sekarang makan dulu baru obatnya diminum."
Mia mengangguk kecil. Setidaknya ibunya sudah tahu niatnya. Jika nanti suaminya mengizinkan, ia hanya perlu meminta izin terakhir pada ayahnya.
Ada perih yang menjalar di hati Mia. Ia harus melakukan ini semua agar suaminya perlahan sadar. Awalnya ia hanya akan mengajarkan bagaimana rasanya tersakiti dan kecewa. Namun, siang ini ia sendiri yang kembali terluka.
Nasha dengan pakaian terbuka, duduk berdua dengan suaminya di atap gedung D and M. Kira-kira apa yang mereka lakukan? Mengapa di saat acara berlangsung keduanya justru ada di sana? Jantung Mia berkrenyut pedih.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" ujar Sufi dari dalam.
"Assalamualaikum," ucap seorang perempuan seraya mendorong pintu kamar inap Mia.
"Waalaikumsalam. Kak Delia?" Wajah Mia semringah.
Delia tersenyum. Ia berjalan masuk ke ruangan bernuansa putih itu bersama Valga.
"Sore, Tante," ucap Delia sambil menyalami Sufi.
"Sore. Ini kakaknya Akram?"
"Iya, Tante. Saya Delia. Ini suami saya Mas Valga."
"Valga, Tante."
"Sufi," jawab Sufi sambil tersenyum.
"Dikasih tau Kak Dania ya, Kak?" tanya Mia. Tidak mungkin Delia tahu dia sakit dari Akram.
Delia menggeleng seraya mendekat ke brankar Mia. "Nggak, Mi. Kemarin malah di WA Akram. Tapi baru sempatnya datang sekarang."
"Mas Akram?"
"Iya. Suami kamu yang WA. Kak Dania malah nggak tau aku mau ke sini. Tadi ketemu di D and M aja sama dia."
Perasaan Mia membuncah. Akram mulai menunjukkan perhatian untuknya. Akram yang memberitahukan tentang kondisinya. Bukankah itu hal baik? Mia meggeleng. Ia tidak boleh terlalu senang.
"Iya, Mi. Nggak bohong kakak."
Mia mengukir senyum. Ia sedikit kacau sampai-sampai mengharapkan hal yang berbeda. Di sisi lain ia senang karena suaminya perhatian, tapi ia juga tidak percaya.
"Biar saya aja, Tante," kata Delia menawarkan diri.
"Beneran ini?"
"Iya, Tante."
"Wah Alhamdulillah. Kalau begitu Tante solat dulu, ya, Delia. Ini Mia dari siang gak mau makan. Kepentok sampe jam tiga lebih ini."
"Ngga mau Tante?" timpal Valga. Ia menunjukkan ekspresi keterkejutan, sontak membuat Mia tak bisa menahan senyumnya.
"Iya, Nak."
"Hoho, gimana mau sembuh, Mi? Betah ya di rumah bagus?" tanyanya lagi sambil memandang ke sekeliling.
Gelak tawa dari Mia dan Delia pun tak terelakan. Sementara Sufi tersenyum simpul.
"Makasih, ya, Nak. Dari pagi Mia murung terus. Kayaknya kangen sama adik kalian makanya begitu."
"Ibu," pekik Mia.
"Hahahahhahahahaha! Maklum, Tante nganten anyar," timpal Valga.
Sufi mengangguk. Ia setuju dengan pendapat Valga yang humoris itu. Ia undur diri sejenak untuk melakukan kewajibannya. Sementara Mia ia titipkan pada Valga dan Delia. Sufi bersyukur. Mia diterima dengan baik oleh keluarga Akram.
*
Acara launching D and M adalah kegiatan padat pertama yang dilalui Akram setelah sekian lama. Tak ayal membuat tubuhnya sedikit lelah. Akram duduk seorang diri di salah satu kursi yang ada di area sepi di lantai dua. Ia menikmati pemandangan di luar dari jendela kaca yang besar. Ia memikirkan banyak hal.
Menjadi salah satu menantu juragan terpandang, mendapatkan segala fasilitas secara cuma-cuma tak membuat Akram menikmati kehidupannya. Namun, justru sebaliknya. Ia menganggap ini semua tak ubahnya beban berat yang harus ia emban. Akram menunduk dalam. Ucapan Hilmi tentang bagaimana ia bukan seorang profesional pun terngiang.
"Nih!" satu buah minuman dingin disodorkan oleh Frans.
Akram mendongak. "Thanks."
Frans membuka minuman kaleng miliknya. Ia mendudukkan diri di sebelah Akram meski tidak diminta. Satu tegukan Frans nikmati.
"Bapak kamu udah pulang?" tanya Frans sebagai pembuka obrolan mereka.
"Udah."
"Nggak kamu anterin?"
Akram menggeleng. Jika lebih dari satu pertanyaan, artinya obrolan itu akan berlanjut. Akram pun membuka minumannya dan meneguknya. Ia siap diajak bicara.
"Habis ini kamu pulang aja. Mia biar aku yang jaga. Kamu terlihat capek." Frans menunjuk bagaimana Akram duduk. Kaki adik iparnya itu lurus ke depan.
"Kakak angkat? Bukan kakak kandung?" Akram justru tertarik menanyakan itu. Satu hal yang cukup membuatnya penasaran.
Frans terkekeh. Akram pandai memainkan pertanyaan. Tidak seperti dugaannya. "Memangnya kenapa?"
"Tidak ada hubungan darah. Artinya bukan mahram dan ingin berdua saja?"
Frans memicing. Akram cukup berlebihan. "Memangnya kenapa?"
"Kau suka dengan Mia, kan?" todong Akram. Ia sedang kesal karena Frans mengundang Hilmi ke acara hari ini.
Frans menggeram. "Apa maksudmu?"
"Kalian boleh menjalin hubungan bahkan melakukan pernikahan. Tidak ada hukum yang akan memberatkan. Kamu perhatian, pengertian dan baik sama Mia. Apa aku salah?"
Tangan Frans mengepal. Mulut Akram tidak bisa dijaga. Tanpa perlu diberitahu seperti itu, ia juga paham ia boleh menyukai dan menikahi Mia. Namun, ia tidak akan bisa. Frans menenggak minuman dinginnya dan melemparkan kalengnya ke tempat sampah. Sangat tepat sasaran.
"Mia mau kuliah. Dia bakal ikut aku ke Swiss. Kalau dia izin ke kamu, kamu wajib mengizinkannya."
"Kuliah?"
"Ya. Buntut dari ketidakbisaan kamu mencintainya. Mia sudah mulai menyerah." Kini giliran Frans yang di atas angin.
"Apa maksudmu?"
Frans tersenyum licik. "Aku tau semua. Termasuk kalian yang belum pernah melakukannya. Jangan macam-macam dengan adikku yang bisa kunikahi itu."
"Kau!"
Frans mengangkat tangan. Tidak mungkin mereka saling baku hantam di depan karyawan. Sangat tidak baik. Frans menggeleng.
"Aku hanya memberitahumu. Jangan halangi Mia dengan dalih suami yang tidak rida. Izinkan dia. Biarkan dia berkembang sesuai dengan bakat yang dia miliki. Kamu..."
Akram menyimak kata-kata Frans meski itu terdengar sumbang di telinganya.
"Mia hobi gambar. Dia belum tau lebih condong ke mana. Aku harus bantu dia."
Akram meneguk minumannya lagi. Ia tak berminat menanggapi ucapan Frans.
Frans menjeda. Ia tatap dome berlogo huruf D and M ini. Salah satu rancangan yang dibuat adiknya.
"Tugas kamu cukup ngelola D and M dengan baik, Kram. Jika tidak bisa memberikan laba, minimal jangan buat dia bangkrut. Jangan sekali-kali kamu gagalkan rencana Mia karena status kamu sebagai suami," tukas Frans. Ia berdiri seraya meninggalkan Akram seorang diri. Akram terlolong.
Hati Akram mendidih. Hari ini tak hanya rival abadinya yang mengoloknya tapi juga kakak iparnya. Akram sadar, ia memang bukan seorang profesional. Tapi tidak seperti ini cara mengajarinya. Akram menenggak minuman itu sampai habis. Ia remas kalengnya hingga tak berbentuk. Gegas Akram meninggalkan area D and M.
Kuliah di Swiss? Yang benar saja.