Bab 66: Bau Tak Sedap

1155 Kata
 “Astaghfirulloh,” lirih Mia. Tampak dari luar jendela hari sudah gelap. Seingatnya begitu Delia dan Valga berpamitan, ia masih bercakap dengan ibunya. Namun, ternyata ia terlelap. Mia mengucek mata. Ia regangkan sedikit otot lehernya. “Udah bangun?” tanya Akram yang baru keluar dari kamar mandi. “Mas,” ujar Mia tak percaya. “Pules banget kamu tidurnya.” Akram mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia tidak sempat pulang dan memilih mengguyur tubuhnya di kamar inap sang istri. “Mas dari tadi?” Akram berjalan pelan. Ia menarik tirai jendela agar tertutup rapat seraya melangkah lagi mendekati brankar tempat ia terbaring. “Iya. Dari habis.” “Sekarang jam berapa, Mas?” Mia semakin penasaran apa ia terlalu lama terlelap sampai tak sadar dengan keadaan sekitar. Akram meraih ponselnya di atas nakas. Sejak tadi ia letakkan di sana. Ia menunjukkan layar ponsel tersebut pada Mia. “Astgahfirulloh, aku nggak solat maghrib, Mas,” ujar Mia menyesal. “Nggak apa-apa. Namanya juga kelupaan. Lagian tadi emang nggak aku bangunin.” “Kok begitu, Mas? Harusnya bangunin.” Mia mulai panik. Ia menyibak selimutnya dan bersiap turun dari brankar. “Ngapain?” “Mau wudu lah. Aku mau solat.” Akram berdecak kesal. Padahal ia sudah berusaha menepuk lengan istrinya agar bangun tapi susah sekali. “Sekarang?” “Ya iya, lah, Mas,” jawab Mia kesal. Akram mendesah. Urusan solat bagi Mia memang yang utama. Akram pun meletakkan handuknya dan membantu istrinya ke kamar mandi. “Bisa nggak?” tanya Akram sedikit meragukan. “Bisa. Sama ibu juga begini.” Akram megangguk-angguk. Ia malas mendebat Mia. Dua hari ini yang menjaga gadis itu adalah Sufi. Akram tak tega dan meminta mertuanya untuk pulang. “Mukena,” ujar Mia sambil menunjuk mukenanya di atas sofa. “Harus pakai? Udah ketutup rapat kok itu,” tunjuk Akram pada jilbab yang dikenakan istrinya. “Ambilin, Mas. Minta tolong.” Akram tak menimpali. Ia berjalan menuju sofa dan mengambil mukena yang memang ada di sana. Kemudian menyerahkannya pada Mia. “Nih.” “Putar badan,” perintah Mia. Akram pun mencondongkan badan. “Apa?” “Mas putar badan. Aku mau copot kerudung dulu.” “Hemmmm, iya.” Akram mengikuti perintah Mia lagi. “Apa aku tunggu di luar aja?” tanyanya sambil membelakangi Mia. “Nggak usah. Sekarang balik.” Akram lagi-lagi mematuhi. Ia melihat penampilan istrinya yang hendak menunaikan kewajiban salat lima waktu sambil duduk. “Mas udah solat?” tanya Mia. Jika belum ia akan meminta suaminya menjadi imam. “Udah.” Hancur sudah harapan Mia. Ia hanya tersenyum tipis. Ia bersiap melakukan gerakan salat. Sementara Akram, menunggu di sudut yang sekiranya tidak mengganggu sambil memainkan ponselnya. [+628********* : Kram, ibu tadi lupa bilang. Mia dari pagi belum mandi.] Pesan dari nomor yang tak disimpannya itu sontak membuat mata Akram membulat. Dari pagi? [Akram : Yang benar Bu? Masa dari pagi?] [+628******** : Iya, Kram. Nanti bilangin ya. Paling nggak diseka itu badannya.] Akram menggeleng. Ini kenyataan. Gadis yang sedang khusyuk berdoa itu belum mandi.  Satu hal yang mengejutkan. Akram memainkan jemarinya di atas layar. Berusaha menyusun kalimat yang sekiranya sesuai dan enak dibaca. Namun, belum juga terkirim, pesan berikutnya sudah masuk kembali. [+628******** : Satu lagi Kram. Mia susah kalau disuruh makan. Tolong ingatin ya.] Akram sungguh tak percaya dengan apa yang disampaikan mertuanya itu. Dari pesan yang ia baca tampak jelas istrinya cukup manja. [Akram : Baik Bu. Nanti Akram ingatkan.] Tombol send Akram ketuk untuk kemudian menutup ikon home. Sang istri tampak sudah selesai menunaikan kewajibannya. “Biar aku aja,” ujar Akram seraya mengambil atasan mukena milik Mia. “Nggak usah, Mas. Aku bisa.” “Ntar infusnya ngalir nggak bener. Aku juga bisa kok nglipet mukena,” timpal Akram. Mia melepaskan pegangannya. Ia memang berusaha melipatnya sendiri karena tidak mau merepotkan Akram. “Makasih, Mas.” “Sama-sama.” Akram merapikannya lagi dan meletakkan di tempat semula. Tak lupa handuk basah yang tadi dipakai untuk mengeringkan rambut. “Perasaan aku udah mandi sama ganti baju tapi kok masih bau, ya. Apa di ruangan ini ada yang belum mandi dari pagi?” Akram mulai mengendus udara di sekitarnya. Ia harus bisa membujuk Mia. “Apa jin kali ya yang lewat nggak mandi?” Mia merotasi matanya. Ia yang berusaha cuek terpancing dengan ucapan Akram. Jin? “Emangnya jin mandi, Mas?” “Ya kali aja, jin mandi. Biar nggak bau gitu.” Akram semakin mendekatkan dirinya ke tubuh Mia. Ia mengendus-endus layaknya binatang dengan ketajaman idra penciuman. “Mas!” sentak Mia. “Apaan?” “Kok begitu?” “Kenapa emangnya?” “Iya, iya, aku belum mandi.” Mia pun kalah. “Oh, bukan jin?” Mia memelotot. “Jin?” Akram mengangguk. Ia mengibaskan tangannya tepat di depan hidung. Seolah bau badan Mia sangat parah. “Minta tolong perawat aja, Mas.” “Buat?” “Buat bantu aku. Seenggaknya ganti baju.” Akram mengerutkan kening. Tampaknya Mia benar-benar menghindari mengurus badannya sendiri. Akram pun menggeleng. “Ngapain kamu, Mas?” tanya Mia. Akram menggerakkan stand infus milik Mia. “Aku yang bantu.” Mia sontak menggeleng. “Nggak, Mas.” “Kenapa enggak? Aku serius mau bantuin.” “Nggak, pokoknya nggak.” Mia bersikeras dengan pendapatnya. Tidak mungkin ia membuka baju di depan Akram. Akram bersidekap. Ia berpikir sejenak agar amanah dari mertuanya tetap terjalankan tapi tanpa perlu drama berdua saja. Ia mengamati kondisi Mia. “Kamu... bisa kalau misal sendiri kan?” tanya Akram sambil menunjuk tangan kanan Mia. Drama membersihkan badan pun akhirnya terjadi. Akram berdiri di luar pintu kamar mandi sambil menanti perintah dari Mia. Jika gadis itu pada akhirnya mau dibantu maka Akram akan melakukannya. “Beneran bisa?” tanya Akram khawatir karena Mia diam saja. “Bisa.” “Rambut gimana? Udah kutuan belum?” “Kutuan?” teriak Mia. “Kali aja udah beternak di situ. Terakhir kramas kapan?” Akram melontarkan pertanyaan yang bisa saja menimbulkan gejolak aneh di hatinya. Mia tak menjawab. Ia sedang berusaha melepaskan pengait panjamas rumah sakit dengan tangan kanannya. Tidak mungkin meminta bantuan Akram. “Gimana? Kok lama?” tanya Akram lagi tak sabaran. Mia tetap diam. “Oke aja, kan? Jangan diem aja. Jangan tidur di situ,” ujar Akram. Di dalam kamar mandi Mia bersabar. Suaminya lebih cerewet dari biasanya. Ia menatap pantulan diri di cermin dan hanya tersenyum tipis. “Susah sekali,” lirihnya. “Mi, gimana? Bisa nggak?” tanya Akram lagi. Ia tak sabar karena masih harus memastikan istrinya makan malam dengan benar. “Kok lama, Mi? Aku masuk ya.” Mia tak menjawab. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia sendiri butuh bantuan, tapi ia takut memulainya. Ia ragu Akram akan memenuhi permintaannya. “Mia? Kamu nggak apa-apa, kan?” Mia masih terus setia menatap pantulan di depan cermin dan tak berminat menjawab pertanyaan Akram. Setetes air bening mengalir. Andai mereka pasangan wajar pada umumnya. Tidak mungkin sesulit ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN